Berlatih ”Ecoprint” di Bank Sampah Srayan Makarya, Purwokerto
Di Bank Sampah Srayan Makarya, Purwokerto, anggota dan pengurus tidak melulu mengurusi sampah, tetapi juga mendapat pelatihan dan wawasan baru, termasuk pelatihan ”ecoprint”.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
Beralaskan terpal biru, sejumlah anggota dan pengurus Bank Sampah Srayan Makarya menyusun aneka dedaunan dan bunga pada selembar kaus putih. Di sela-sela menerima dan menimbang setoran pilahan sampah untuk dijual kembali, mereka meningkatkan keterampilan untuk memproduksi kaus ecoprint bersama tim dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
”Alhamdulillah ini jadi keistimewaan bagi saya,” kata Mudakir (51), salah satu anggota yang sehari-hari bertugas menjemput sampah di Bobosan, Purwokerto Utara, Banyumas, Jawa Tengah, Minggu (27/8/2023).
Sambil berjongkok dan mematut-matut daun jarak, daun minyak kayu putih, juga bunga dari pohon belimbing wuluh, Mudakir yang juga memiliki usaha tambal ban tampak luwes menyusupkan daun-daun itu ke bagian depan serta kedua sisi lengan kaus putih itu.
”Ini nanti hasilnya boleh dibawa pulang,” katanya sambil tersenyum.
Sejak bergabung dengan bank sampah ini pada 2018, Mudakir bersyukur bisa turut serta menjaga lingkungan sekitar dengan mengumpulkan sampah-sampah untuk didaur ulang. Dengan memakai kendaraan roda tiga, dia biasa berkeliling wilayah Bobosan, Sokaraja, Sumbang, dan Kalibagor untuk menjemput sampah para nasabah.
”Saya senang bisa ikut mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mengelola sampah dan saya juga mendapatkan penghasilan dari sampah. Selain itu, saya juga bersyukur bisa bersilaturahmi dengan anggota kelompok di sini,” kata ayah dua anak yang per bulan bisa mengumpulkan Rp 500.000-Rp 1 juta ini.
Lewat sejumlah pelatihan dan perjumpaan dengan beragam komunitas di bank sampah ini, Mudakir yang merupakan lulusan sekolah dasar ini juga mendapatkan tambahan wawasan serta keterampilan yang bermanfaat bagi diri dan keluarganya. Hal serupa juga dirasakan Juariah (43), anggota yang bertugas menimbang dan memilah sampah di bank sampah ini.
”Saya ibu rumah tangga. Suami saya kerja ojek. Anak saya ada tiga. Dengan kegiatan di sini bisa membantu pemasukan keluarga,” tutur Juariah yang juga lulusan SD dan bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp 500.000 sebulan.
Setelah selesai menata dedaunan dalam selembar kaus, kaus itu digulung lalu diikat dengan rafia. Kemudian, kaus itu dikukus selama dua jam. Pengukusan itu memicu timbulnya warna-warna alamiah dari daun yang tadi sudah ditata. Untuk mendapatkan hasil maksimal, kaus itu bisa diangin-anginkan atau dijemur 7-14 hari.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Agung Praptapa, menyampaikan, pelatihan eocprint ini merupakan bagian dari pengabdian kepada masyarakat yang digelar Fakultas Ekonomi dan Bisnis serta di bawah koordinasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Jenderal Soedirman.
”Isu enviromental, kan, sekarang sangat kuat. Selera orang juga sudah mengarah ke yang alami. Tren ini coba kami tangkap dan latih kepada masyarakat. Printing yang tadinya pabrikasi, sekarang memanfaatkan daun-daun,” kata Agung.
Ia menyebutkan, lewat pelatihan ini, pihaknya juga membangun kesadaran bahwa semua kegiatan itu bisa menjadi atau memiliki nilai ekonomi.
”Ternyata pembuatan barang sederhana ini ada nilai ekonominya dan ternyata orang juga suka. Kami juga berkomunikasi dengan masyarakat, seperti apa tren ke depan,” kata Agung yang juga Direktur Program Internasional FEB Unsoed.
Humas dan Manajer Pelatihan Bank Sampah Srayang Makarya Suciatin menyampaikan, selain pelatihan ecoprint, pihaknya juga pernah menggelar pelatihan ekoenzim serta biopori. Setidaknya ada 15 pengurus dan tim pelatih yang disiapkan untuk menularkan virus pengolahan dan pemanfaatan sampah serta bahan-bahan alami di sekitar lingkungan.
”Untuk ecoprint ini sudah ada yang dijual kepada tamu-tamu yang berkunjung ke sini. Harganya mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 500.000 per kain,” kata Suciatin.
Di sini nasabah memilah sampah, menabung emas. Jadi, kami mengedukasi masyarakat bahwa memilah sampah dari rumah, lalu menabung di sini menjadi tabungan emas.
Menurut dia, bank sampah ini per bulan bisa menarik dan mengelola sampah dari barang-barang bekas berkisar dari 1 kuintal hingga 3 kuintal. Dulu saat dibentuk, anggota bank sampah hanya berasal dari RT sekitar, berjumlah 50 orang. Kini, jumlahnya mencapai 140 anggota aktif yang tersebar hingga ke sejumlah daerah di Banyumas. Salah satu kekhasan bank sampah ini adalah, karena bekerja sama dengan PT Pegadaian, sampah yang ditukarkan di tempat ini bisa menjadi tabungan emas.
”Di sini nasabah memilah sampah, menabung emas. Jadi, kami mengedukasi masyarakat bahwa memilah sampah dari rumah, lalu menabung di sini menjadi tabungan emas,” ujarnya.
Suciatin mengisahkan, bank sampah ini lahir dari keprihatinan warga pada 2018 saat marak penyakit demam berdarah akibat lingkungan yang kotor sebagai sarang nyamuk. Atas keprihatinan itu, dirintislah Bank Sampah Srayan Makarya, yang berarti bekerja bersama-sama untuk mengatasi problematika kebersihan lingkungan.
Seiring berjalannya waktu, para anggota dan pengurus juga dibekali dengan aneka pelatihan tambahan untuk meningkatkan keterampilan serta menambah penghasilan dari hal-hal yang bersinggungan dengan lingkungan sekitar.
Gerak napas bank sampah ini juga selaras dengan upaya besar Kabupaten Banyumas yang terus mendorong warganya mengelola sampah dengan pendirian hanggar sampah atau tempat pengolahan sampah terpadu di setiap kecamatan.
Di bidang persampahan, Bupati Banyumas Achmad Husein, seperti dikutip dari Kompas.id (15/2/2023), menyebutkan, kini terdapat 29 kelompok swadaya masyarakat (KSM) yang mengelola sampah dengan 1.200 tenaga kerja. Sampah organik dijadikan kompos dan pakan maggot. Adapun botol bekas dijual lagi untuk daur ulang. Untuk maggot, di Banyumas per hari bisa diproduksi 3,5 ton maggot.
Dari KSM, sampah yang tersisa sekitar 9 persen lalu masuk ke TPABLE, yaitu Tempat Pemrosesan Akhir Sampah Berbasis Lingkungan dan Edukasi. Di sini pemrosesan sampah memakai mesin, antara lain sampah diolah menjadi refuse derived fuel (RDF) sebagai bahan bakar pengganti batubara dan juga paving block plastik.
Menurut Husein, pengelolaan sampah mulai dari hulu, tengah, hingga hilir ini pada prinsipnya harus memberikan keuntungan atau ada pembeli.
Melalui Bank Sampah Srayan Makarya, sampah tidak lagi dipandang jadi masalah, bahkan malah jadi tabungan emas. Mereka yang berkecimpung di bank sampah pun tidak melulu mengurusi sampah, tetapi berkat kerja sama dengan banyak pihak, mereka juga mendapatkan keterampilan dan wawasan baru demi menyiapkan kehidupan yang lebih baik.