Jejak Panjang Pengolahan Sampah Banyumas, dari ”Maggot” hingga Teknologi Maju
Sampah masih menjadi pekerjaan rumah bagi Banyumas, Jawa Tengah. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasinya. Budidaya ”maggot” hingga pembangunan tempat pengolahan sampah terpadu dilakukan demi solusi jangka panjang.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Petugas memanen maggot di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (16/8/2021).
Sejak tempat pembuangan akhir sampah di Kaliori, Kabupaten Banyumas, jebol dan diprotes warga karena mencemari lingkungan pada 2018, daerah di Jawa Tengah selatan ini terus berupaya mencari solusi. Pembangunan pusat daur ulang sampah serta tempat pengolahan terpadu di setiap kecamatan hingga budidaya maggot dipilih untuk mengolah 1.000 ton sampah per hari yang dihasilkan 1,7 juta penduduk.
”Pertamanya jijik pegang maggot dan sampah, tapi lama-lama sudah terbiasa,” kata Tri Gonggo Waluyo (52), petugas pembudidaya maggot atau larva dari lalat tentara hitam (black soldier fly, disingkat BSF) di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Sokaraja, Banyumas, Senin (16/8/2021).
Bau sampah menyengat dan deru mesin pemilah sampah organik-anorganik menjadi keseharian bagi Tri bersama 24 pekerja lain. Tri dan Dimas Mahesa (17) bertugas menjadi pembudidaya maggot atau belatung yang ditampung di 96 bak penampungan masing-masing berukuran 2 meter x 1 meter. Belatung inilah yang menyantap sampah organik segar, mulai dari sampah dedaunan hingga sampah dapur rumah tangga.
”Dulu pakai sarung tangan, tapi ribet. Sekarang langsung saja pakai tangan,” ucap Dimas saat memanen maggot.
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Budidaya maggot di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (16/8/2021).
TPST Sokaraja menerima 20 ton sampah per hari dari 1.000 keluarga di wilayah Kecamatan Sokaraja. Dari 20 ton sampah ini, 50 persen atau 10 ton adalah sampah organik. Sampah-sampah inilah yang menjadi makanan bagi maggot. Budidaya maggot di TPST ini bekerja sama dengan PT Green Prosa yang sudah berjalan tiga bulan dan akan berlangsung setahun.
Selain TPST Sokaraja, perusahaan ini juga menjalin kerja sama dengan TPST Karangcegak di Kecamatan Sumbang, Banyumas. TPST ini menerima buangan sampah buah dan sayur-mayur dari Pasar Wage Purwokerto sehingga kapasitas sampah mencapai 2-3 kali lipat dibandingkan TPST Sokaraja.
Direktur Utama PT Green Prosa Arky Gilang menyebutkan, di TPST Sokaraja, setiap hari bisa didapat 1,5 kuintal maggot dan 5 kuintal kasgot atau bekas maggot yang merupakan bakal kompos atau pupuk organik untuk pertanian. Sementara di TPST Karangcegak, Kecamatan Sumbang, per hari bisa didapat 2,5 kuintal maggot dan 1 ton kasgot.
Manajer Marketing PT Green Prosa Mujiburrahman menunjukkan maggot kering di Desa Banjaranyar, Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah, Senin (16/8/2021). Per kilogram maggot kering itu dijual Rp 45.000-Rp 50.000 untuk pakan ikan hias.
Gilang menyebutkan, harga maggot hidup segar untuk pakan ikan bawal dan lele di pasar lokal berkisar Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram (kg). Harga itu lebih murah jika dibandingkan harga pelet yang berkisar Rp 13.000-Rp 14.000 per kg.
Maggot segar itu dijual kepada peternak ayam, sedangkan maggot kering dijual kepada pembudidaya ikan di kawasan Banyumas. Selain itu, ada pula olahan maggot kering yang dijual Rp 45.000-Rp 50.000 per kg.
”Per hari bisa produksi 2 kuintal maggot kering. Ini dijual ke wilayah Jabodetabek dan wilayah Indonesia timur, seperti NTT dan Bali, untuk pakan ikan hias, seperti koi, dan ikan predator channa,” paparnya.
Kepala Bidang Pengelolaan Persampahan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyumas Wardoyo menyampaikan, dengan jumlah penduduk di Banyumas sebanyak 1,7 juta jiwa, sampah yang dihasilkan per hari mencapai sekitar 1.000 ton. Dari jumlah itu, baru sekitar 600 ton yang dapat dikelola.
Untuk itu, budidaya maggot ini nantinya akan direplikasi di 24 TPST dan pusat daur ulang (PDU) sampah di Banyumas. ”Tantangannya adalah meminimalkan residu dari TPST dan PDU. Yang tidak bisa dimanfaatkan baru masuk TPA,” katanya.
Manajer Marketing PT Green Prosa Mujiburrahman menunjukkan kandang lalat tentara hitam untuk budidaya maggot di Desa Banjaranyar, Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah, Senin (16/8/2021).
Setor sampah
Dari catatan Kompas, selain pembangunan TPST dan PDU, pemerintah pernah mengajak semua aparatur sipil negara menyerahkan sampah plastiknya supaya dikelola dinas lingkungan hidup.
Aturan itu dituangkan melalui Surat Edaran Bupati Banyumas Nomor 660/7376/2016 tentang kewajiban PNS dan tenaga kontrak Pemerintah Kabupaten Banyumas mengumpulkan sampah anorganik minimal 1 kg per bulan. Pemerintah melibatkan 16.000 pegawai negeri sipil dan pegawai kontrak untuk memilah sampah.
Dengan jumlah penduduk di Banyumas sebanyak 1,7 juta jiwa, sampah yang dihasilkan per hari mencapai sekitar 1.000 ton. Dari jumlah itu, baru sekitar 600 ton dapat dikelola.
Selain itu, pemerintah setempat juga mendatangkan pemusnah sampah dengan cara dibakar bernama priolisis. Alat bernama IPI AWS 50 Mobile tersebut harganya mencapai Rp 680 juta dan dapat membakar 1 meter kubik sampah dalam satu jam.
Abu pembakaran tersebut juga bisa dimanfaatkan sebagai media tanam. Selain priolisis, pemerintah juga membeli sembilan alat pencacah dan pemilah sampah.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyumas Junaidi menyampaikan, sampah bisa terpilah menjadi organik sebagai pakan maggot, anorganik, serta RDF (refuse derived fuel). ”RDF ini bisa menjadi bahan substitusi pengganti batubara. RDF bisa dipakai untuk bahan bakar di pabrik semen. Satu kilogram RDF harganya Rp 1.500,” katanya (Kompas.id, 24 November 2020).
Kini, yang masih berlangsung, pemerintah sedang membangun tempat pembuangan akhir berwawasan lingkungan dan edukasi (TPABLE) seluas 3,5 hektar di Desa Wlahar Wetan, Kecamatan Kalibagor, Banyumas. Tempat pembuangan akhir senilai Rp 44 miliar ini nantinya akan dilengkapi pabrik plastik, budidaya maggot, serta kolam renang. Targetnya, tempat ini beroperasi akhir 2021 (Kompas.id, 31 Juli 2021).
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Sarang lalat tentara hitam untuk budidaya maggot di PT Green Prosa, Desa Banjaranyar, Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah, Senin (16/8/2021).
Bupati Banyumas Achmad Husein mengatakan, kehadiran TPABLE ini diharapkan bisa menyelesaikan permasalahan sampah di Kabupaten Banyumas. Selama ini, sampah diolah di tempat pengolahan sampah terpadu di setiap kecamatan, tetapi masih menyisakan residu.
”Setiap hari ada 130 truk sampah di Banyumas. Sampah itu masuk ke KSM (kelompok swadaya masyarakat di TPST dan PDU) sehingga nantinya ada 30 truk yang masuk ke TPA ini,” kata Husein (Kompas.id, 31 Juli 2021).
Sinergi masyarakat dan pemerintah dibutuhkan untuk mengolah sampah menjadi berkah.
Upaya panjang Pemerintah Kabupaten Banyumas mengolah sampah ini sejalan dengan semangat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mendorong masyarakat mengelola sampah sejak dari hulu supaya tidak membebani lingkungan.
Pengelolaan di hulu itu diupayakan Pemerintah Kabupaten Banyumas dengan mendirikan pusat daur ulang sampah di tingkat desa dan kecamatan. Sinergi masyarakat dan pemerintah dibutuhkan untuk mengolah sampah menjadi berkah (Kompas.id, 7 Desember 2020).
Pembangunan tempat pembuangan akhir berwawasan lingkungan dan edukasi di Desa Wlahar Wetan, Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (31/7/2021). Biaya pembangunan TPA ini mencapai Rp 44 miliar.
”Visi kota, visi daerah, ke depan dalam pengelolaan sampah harusnya memang minim TPA (tempat pembuangan akhir). Kalau bisa nir-TPA, tidak ada TPA. Mengapa? Apalagi di Jawa, tanah semakin susah, semakin mahal sehingga memang harus bergerak ke hulu, bagaimana semaksimal mungkin harus mengurangi sampah,” kata Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar, Sabtu (7/12/2019), di Purwokerto, Banyumas.
Jalan panjang pengolahan sampah ini butuh kerja sama banyak pihak, baik masyarakat maupun pemerintah. Seluruh sumber daya dibutuhkan, mulai dari tenaga manusia untuk memilah sampah, pemanfaatan teknologi maju pemusnah sampah, hingga kemampuan alamiah belatung mengurai sampah. Jalan panjang ini kiranya mengantar warga Banyumas tak lagi melihat sampah sebagai musibah, tetapi berkah.