Rawan Sisihkan Kehidupan Warga Pesisir, Warga Rempang Tolak Penggusuran di Rempang Eco City
Warga di Pulau Rempang, Batam menolak rencana penggusuran kampung-kampung adat untuk megaproyek Rempang Eco City. Sebagai masyarakat pesisir, mereka merasa selalu tersisih dalam kebijakan pembangunan di Batam.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
BATAM, KOMPAS — Pemerintah berencana membangun kawasan investasi terpadu di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Warga mendukung upaya pemerintah mengembangkan ekonomi, tetapi mereka tetap tegas menolak rencana penggusuran dalam proyek itu
Wali Kota Batam sekaligus Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam Muhammad Rudi menyatakan siap berdialog dengan masyarakat Pulau Rempang kapan saja jika dibutuhkan. Hal itu disampaikan Rudi saat menemui perwakilan warga di kantor camat setempat, Selasa (22/8/2023).
Sebelumnya, warga berkali-kali meminta Rudi datang ke Rempang. Mereka meminta Kepala BP Batam itu menyosialisasikan sendiri rencana pengembangan ekonomi di pulau itu yang akan berdampak menggusur permukiman warga asli.
”(Saya) bukan tak berani (menemui warga), melainkan tak tahu nak cakap apa. Hari ini, saya sudah (bisa) cakap apa adanya karena sudah diberi wewenang (dari pemerintah pusat) untuk menyampaikan ini,” kata Rudi.
Menurut rencana, di Pulau Rempang akan dibangun kawasan industri, jasa, dan pariwisata. Proyek bernama Rempang Eco City yang digarap PT Makmur Elok Graha (MEG) itu ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada 2080.
PT MEG diberi alokasi lahan seluas 17.000 hektar yang mencakup seluruh Pulau Rempang dan Pulau Subang Mas. Oleh karena itu, seluruh penduduk Rempang yang berjumlah lebih kurang 7.500 jiwa harus direlokasi.
Pulau Rempang nantinya akan dibagi menjadi tujuh kawasan. Masing-masing adalah kawasan industri, agrowisata, perumahan, pariwisata, pembangkit listrik tenaga surya, konservasi, dan cagar budaya.
Dalam pertemuan dengan sejumlah wartawan pada 17 April, komisaris dan juru bicara PT MEG Fernaldi Anggadha menyatakan, PT MEG adalah rekan BP Batam dan Pemkot Batam. PT MEG akan membantu pemerintah menarik banyak investor asing ataupun investor lokal untuk mengembangkan ekonomi di Pulau Rempang.
Fernaldi menambahkan, warga Pulau Rempang akan menjadi prioritas utama dalam rencana pengembangan pulau itu. Balai-balai pelatihan kerja akan segera dibangun agar warga setempat dapat memiliki keterampilan yang nantinya dibutuhkan untuk mengisi lowongan kerja di kawasan tersebut.
Meski demikian, warga tetap menolak rencana relokasi untuk pengembangan Rempang. Mereka merasa keputusan pemerintah memberikan seluruh lahan di pulau itu kepada investor mencerminkan sikap yang tidak memihak kepada rakyat.
Tokoh masyarakat Pulau Rempang, Gerisman Ahmad, dalam sejumlah kesempatan menegaskan, warga mendukung rencana pengembangan ekonomi itu. Namun, warga memohon kepada pemerintah agar pembangunan dilakukan tanpa menggusur perkampungan warga asli.
Di Pulau Rempang terdapat 16 kampung tua atau permukiman warga asli. Warga asli yang terdiri dari suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat diyakini telah bermukim di Pulau Rempang setidaknya sejak 1834.
”Kami bukan hewan ternak yang bisa dipindahkan begitu saja ke lokasi baru. Sebagai masyarakat pesisir, hidup kami bergantung pada laut. Siapa yang bisa jamin lingkungan di tempat baru nanti akan dapat menghidupi,” kata Gerisman pada 13 Juli lalu.
Korban pembangunan
Menurut Gerisman, warga Rempang selalu menjadi korban dalam kebijakan pembangunan Kota Batam. Setelah Batam-Rempang-Galang ditetapkan menjadi kawasan pelabuhan bebas pada 1970-an, seluruh lahan di pulau-pulau itu dikelola Badan BP Batam.
Mayoritas warga di tiga pulau tersebut hanya diberi hak guna bangunan. Sertifikat hak milik hanya diberikan kepada warga asli di Pulau Batam. Itu pun harus lewat proses verifikasi panjang.
Belakangan, pemerintah bahkan menyatakan, seluruh lahan di Rempang berstatus hutan produksi konservasi (HPK). Warga yang telah tinggal di pulau itu selama ratusan tahun dianggap telah bermukim secara ilegal.
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang, Muhammad Syuzairi, menilai sikap pemerintah yang tidak mengakui legalitas warga justru membuat konflik di Rempang semakin meruncing. Pemerintah tidak berhak menyatakan warga tinggal secara ilegal karena tidak ada keputusan pengadilan terkait hal itu (Kompas, 22/8/2023).
Puncaknya pada 21 Agustus, ratusan warga memblokade jembatan yang menghubungkan Pulau Rempang dengan Pulau Batam. Mereka menolak kedatangan tim terpadu dari Batam yang akan mengukur lahan untuk pengembangan Rempang.
Warga khawatir pengukuran tersebut akan digunakan pemerintah menjadi dasar untuk menggusur kampung mereka. Sejak awal warga tidak mau direlokasi karena menurut mereka itu akan membuat jati diri mereka sebagai orang Melayu pesisir luntur.
Menurut Syuzairi, luas 16 titik permukiman warga asli di Rempang tidak sampai 10 persen dari total luas pulau itu yang mencapai 17.000 hektar. Seharusnya pembangunan kawasan investasi terpadu tetap dapat dilakukan tanpa menggusur warga.
”Kawasan investasi terpadu bisa dibangun berdampingan dengan permukiman warga. Ini juga akan menguntungkan investor karena jadi tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk ganti rugi lahan masyarakat,” ucap Syuzairi, yang pernah menjabat sebagai Asisten Pemerintahan dan Asisten Ekonomi Pembangungan Pemkot Batam itu.
Menanggapi penolakan terhadap rencana relokasi, Rudi menyatakan, Pulau Rempang tetap harus dikosongkan. Kesepakatan mengenai pengembangan Rempang telah disepakati BP Batam, Pemkot Batam, dan PT MEG selaku perusahaan pengembang wilayah sejak 2004.
”Wali Kotanya dulu bukan saya. Sebagai wali kota yang sekarang saya akan berbuat semampunya. Kalau ada yang kira-kira dapat saya perbaiki itu akan saya lakukan,” ujarnya.
Rudi memahami perasaan warga yang selama ratusan tahun tinggal secara turun-temurun di Pulau Rempang. Ia berjanji proses relokasi akan dilakukan dengan cermat dan matang.
”Saya lagi nunggu keppres (keputusan presiden) untuk menyelamatkan warga, untuk mengeluarkan (ganti rugi) Rp 120 juta per rumah. Kalau keppres itu keluar, (relokasi) bisa mulai,” ucapnya.
Rudi menambahkan, proses relokasi akan dimulai ketika semua fasilitas rampung dibangun. Selain perumahan, pemerintah juga akan menyiapkan instalasi air pipa, listrik, jalan, telekomunikasi, dan dermaga nelayan.
Pada 13 Agustus, Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, meninjau rencana pengembangan Pulau Rempang. Dalam kunjungan itu, Bahlil juga berdialog dengan warga.
”Saya mengerti apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Namun, saya mohon masyarakat juga mengerti apa yang menjadi tujuan negara,” katanya lewat pernyataan tertulis.
Menurut rencana, warga yang direlokasi akan mendapatkan ganti lahan 500 meter persegi dan bangunan rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta. Warga juga akan mendapat sertifikat hak guna bangunan.