Konflik Lahan di Rempang Meruncing, Pemerintah Diminta Dengar Aspirasi Warga
Konflik lahan di Pulau Rempang, Batam, semakin runcing. Tokoh masyarakat dan akademisi meminta pemerintah membangun kawasan investasi terpadu di pulau itu tanpa menggusur warga.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Konflik lahan di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, meruncing. Hal itu dipicu rencana penggusuran permukiman warga terkait keinginan pemerintah menjadikan Rempang sebagai kawasan investasi terpadu.
Pada Senin (21/8/2023), ratusan warga memblokade jembatan yang menghubungkan Pulau Rempang dengan Pulau Batam. Mereka menolak kedatangan tim terpadu dari Batam yang akan mengukur lahan di Rempang.
Salah satu perwakilan warga, Dian Arniandi, mengatakan, pemerintah perlu lebih jelas menyosialisasikan rencana pembangunan kawasan investasi terpadu di Rempang. Warga meminta Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam menemui warga.
”Jangan tiba-tiba (pemerintah) datang mau mematok lahan untuk proyek. Tanggal 23 Agustus nanti, warga berencana unjuk rasa besar-besaran di Kantor BP Batam,” kata Dian.
Konflik ini bermula ketika BP Batam berencana merelokasi seluruh penduduk Rempang, yang berjumlah lebih kurang 7.500 jiwa. Hal itu dilakukan untuk mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang.
Di Pulau Rempang akan dibangun kawasan industri, jasa, dan pariwisata. Proyek yang digarap PT Makmur Elok Graha (MEG) itu ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada 2080.
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang, Muhammad Syuzairi, mengatakan, warga yang menolak relokasi adalah masyarakat di 16 titik kampung tua atau permukiman orang Melayu. Warga asli diyakini telah bermukim di pulau itu setidaknya sejak 1834.
”Sejak awal sudah jelas warga Rempang tidak mau digusur karena ini menyangkut marwah. Mereka tidak mau identitas dan jati dirinya sebagai orang Melayu pesisir hilang,” ujarnya.
Luas total 16 titik kampung tua itu tidak sampai 10 persen dari luas Pulau Rempang yang mencapai 17.000 hektar. Syuzairi menilai, seharusnya pembangunan kawasan investasi terpadu tetap dapat dilakukan tanpa menggusur warga.
”Kawasan investasi terpadu bisa dibangun berdampingan dengan permukiman warga. Ini juga akan menguntungkan investor karena jadi tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk ganti rugi lahan masyarakat,” ucapnya.
Menurut Syuzairi, selama ini pemerintah juga terlalu banyak melibatkan aparat penegak hukum untuk mengawal rencana pengembangan Pulau Rempang. Hal ini dinilai justru akan membuat konflik semakin runcing.
Dikonfirmasi terkait pemblokadean jembatan dan rencana unjuk rasa warga, Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait menyatakan belum dapat banyak memberikan tanggapan. Saat ini, BP Batam masih berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait.
Mendukung investasi
Tokoh masyarakat Pulau Rempang, Gerisman Ahmad, berulang kali menegaskan, warga mendukung rencana pengembangan itu. Namun, warga memohon agar pembangunan dilakukan tanpa meminggirkan masyarakat setempat.
Menurut dia, keputusan pemerintah memberikan seluruh lahan di Pulau Rempang kepada investor mencerminkan sikap yang tidak memihak rakyat. Warga Rempang merasa selalu menjadi korban dalam kebijakan pembangunan Kota Batam.
Setelah Batam-Rempang-Galang ditetapkan menjadi kawasan pelabuhan bebas pada 1970-an, seluruh lahan di pulau-pulau itu dikelola Badan BP Batam. Mayoritas warga hanya memiliki hak guna bangunan. Sertifikat tanah diberikan hanya kepada warga asli di Pulau Batam. Itu pun harus lewat proses verifikasi panjang.
Belakangan, pemerintah menuding warga Rempang tinggal secara ilegal karena status lahan di sana adalah hutan produksi konversi (HPK). Padahal, warga Melayu telah bermukim di pulau itu jauh sebelum Indonesia merdeka.
Syuzairi menilai sikap pemerintah itu membuat konflik di Rempang semakin meruncing. Menurut dia, pemerintah tidak berhak menyatakan warga tinggal secara ilegal karena tidak ada keputusan pengadilan terkait hal itu.
”Di Pulau Rempang ada sejumlah aset bangunan pemerintah yang dibangun di tanah hibah warga. Artinya, dulu pemerintah mengakui itu tanah milik rakyat, lalu mengapa sekarang berubah,” kata Syuzairi, yang pernah menjabat sebagai Asisten Pemerintahan dan Asisten Ekonomi Pembangungan Pemkot Batam itu.
Pada 13 Agustus, Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, meninjau rencana pengembangan Pulau Rempang. Dalam kunjungan itu Bahlil juga sempat berdialog dengan warga.
”Saya mengerti apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Namun, saya mohon masyarakat juga mengerti apa yang menjadi tujuan negara,” katanya lewat pernyataan tertulis.
Menurut Bahlil, pengembangan Pulau Rempang mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat. Dia juga mengajak Kepala BP Batam Muhammad Rudi mencari solusi terbaik atas masalah terkait pengembangan Pulau Rempang.
Ke depan, BP Batam akan menyiapkan 3.000 rumah di Pulau Galang untuk merelokasi warga dari Pulau Rempang. Rumah yang disiapkan adalah tipe 45 dengan lahan seluas 200 meter persegi.