Sulut Upayakan Pelaku Kekerasan Seksual Diancam Penjara di Nusakambangan
Pemprov Sulut mengupayakan agar pelaku kejahatan terhadap perempuan dan anak, utamanya kekerasan seksual, dipenjara di LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Biaya penerbangan diganti Pemprov agar pelaku kapok.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara bertekad memberantas kekerasan terhadap anak, terutama di institusi pendidikan. Para korban diharapkan berani melaporkan kekerasan yang menimpanya, baik melalui instansi pemerintah maupun forum anak daerah. Pemprov Sulut bahkan mengupayakan pelaku kejahatan terhadap perempuan dan anak, utamanya kekerasan seksual, dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah
Wakil Gubernur Sulut Steven Kandouw mengatakan, upaya perlindungan anak di Sulut telah mendapatkan pengakuan secara nasional. Hal ini terbukti dari penganugerahan Provinsi Layak Anak dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang diberikan pada akhir Juli 2023.
”Ini hasil kerja sama seluruh stakeholder (pemangku kepentingan), pekerjaan yang perlu totalitas dari kabupaten/kota, terutama kepala dinas terkait. Saya juga berterima kasih kepada teman-teman kepolisian yang sangat responsif menangani kasus-kasus kekerasan perempuan dan anak,” kata Steven dalam perayaan Hari Anak Nasional 2023 di Manado, Senin (21/8/2023).
Kendati begitu, Steven mengakui, tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dan anak masih sangat marak di Sulut. Karena itu, ia menyatakan akan mengupayakan agar pelaku kejahatan terhadap perempuan dan anak, utamanya kekerasan seksual, dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap. Lapas tersebut dikhususkan untuk pelaku kejahatan kelas berat, seperti narkotika dan terorisme.
”Pak Gubernur sudah bicara dengan Kepala Kanwil Kemenkumham (Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM) Sulut. Biaya penerbangan nanti dibiayai Pemprov, supaya efek jeranya dirasakan, biar kapok. Ini jadi warning (peringatan) untuk para pelaku,” katanya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Sulut Wanda Musu menyatakan, dari 144 laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang diterima instansinya, 60 persen merupakan kekerasan terhadap anak. Para korban dari sedikitnya 64 kasus kekerasan terhadap anak sedang mendapat pendampingan.
Salah satu kasus yang menjadi fokus Dinas PPPA Sulut, melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Sulut, adalah pencabulan yang dilakukan Clinton Antolonga (29), guru honorer di SD Negeri Kalasey, Minahasa, terhadap 14 siswa. Kejahatan itu ia lakukan selama September 2022-Juni 2023.
”Kalau kita lihat kasus-kasus yang ada, sekolah-sekolah itu rentan sekali (menjadi tempat) pelecehan terhadap anak. Anak-anak ditakut-takuti sehingga mereka tidak melapor. Contohnya yang di Kalasey itu, sudah (sejak) satu tahun yang lalu, baru terungkap sekarang,” kata Wanda di sela-sela perayaan Hari Anak Nasional 2023 di Manado.
Yang paling pokok adalah bagaimana mereka (anak-anak) bisa bergerak dengan bebas tanpa ada rasa takut menjadi korban kekerasan.
Berkaca dari kasus tersebut, lanjut Wanda, semakin jelas bahwa kasus kekerasan perempuan dan anak adalah fenomena gunung es. Banyak korban yang tidak melapor karena takut mencoreng nama keluarga atau kehilangan sumber pemasukan keluarga karena tak jarang pelaku kekerasan adalah kepala keluarga.
Wanda menyatakan, penciptaan ruang aman di institusi pendidikan menjadi prioritas Pemprov Sulut hingga 2024. Sesuai tugasnya, hal ini akan diupayakan melalui sosialisasi di sekolah ataupun perguruan tinggi di Sulut dengan menggandeng organisasi-organisasi perempuan.
Hal ini merupakan tindak lanjut dari 17 rekomendasi yang diusulkan Forum Anak Daerah (FAD) Sulut yang baru saja melaksanakan pergantian kepengurusan. Rekomendasi ini mencakup penciptaan ruang publik yang aman bagi anak untuk beraktivitas.
”Kemudian ada juga rekomendasi menyiapkan ruang terbuka yang bebas asap rokok, juga menyediakan puskesmas-puskesmas di daerah-daerah kabupaten/kota layak anak. Tetapi, yang paling pokok adalah bagaimana mereka (anak-anak) bisa bergerak dengan bebas, tanpa ada rasa takut menjadi korban kekerasan,” ujar Wanda.
Laporan polisi
Maraknya kekerasan terhadap anak dan perempuan tampak pula dari banyaknya laporan yang diterima kepolisian, utamanya di Manado. Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Manado Komisaris Sugeng Wahyudi Santoso mengatakan, setiap hari pihaknya menerima sedikitnya dua laporan polisi terkait kejahatan tersebut.
”Jadi, kalau setiap bulan kurang lebih ada 60 laporan yang diterima, dan itu diampu tujuh penyidik kami. Namun, ada beberapa kasus yang kami selesaikan melalui jalur mediasi atau restorativejustice (keadilan restoratif), yaitu KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang sifatnya ringan atau kasus kenakalan anak,” kata Sugeng.
Kendati begitu, ia menjamin kepolisian tidak bersikap lunak terhadap kasus persetubuhan, pencabulan, KDRT yang menyebabkan korban menderita luka berat, atau kekerasan yang mengancam nyawa anak. ”Kebanyakan kami lanjutkan ke penyidikan, lalu ke kejaksaan. Kasus yang menonjol dan menimbulkan dampak fisik serta psikis kepada korban, itu mesti kami proses,” tuturnya.
Baru-baru ini, ia memimpin Satreskrim Polresta Manado dalam proses hukum kekerasan seksual yang menimpa CT (alm), bocah 10 tahun penderita leukemia. Selama lebih dari setahun, kepolisian kesulitan menetapkan tersangkanya, hingga terungkap bahwa pelakunya adalah sang ayah tiri yang berinisial MB (34).
Atas keberhasilan itu, Sugeng mendapatkan penghargaan dari Pemprov Sulut. Namun, Sugeng menyatakan, Polresta Manado akan lebih aktif dalam upaya pencegahan. Kepala Polresta Manado Komisaris Besar Julianto Sirait ia sebut sudah membentuk polisi RW dan menugaskan bhayangkara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat (bhabinkamtibmas) untuk turut mewaspadai kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Sementara itu, Holy Greet Salam (16), siswa SMA Kristen 1 Tomohon yang mengetuai FAD Sulut, berharap aspirasi dan hak-hak anak di Sulut dapat terpenuhi dengan baik. Ia pun bertekad mengampanyekan pemberantasan kekerasan terhadap anak dan perempuan, terutama kekerasan seksual, yang ia yakini semakin marak di Sulut.
FAD pun ia sebut akan memfasilitasi laporan-laporan dari para korban. ”Itu tugas dan tanggung jawab forum sebagai pelopor dan pelapor. Kalau mau mengurangi kekerasan terhadap perempuan dan anak, itu tergantung kita sebagai korban, apa mau melawan atau tidak. Pastinya forum akan turun tangan,” ujarnya.