Yuli Hasan, ”Ecoprint” untuk Menjaga Warna Baik dari Alam
Yuli Hasan mengembangkan mode berbahan alam ”ecoprint”. Tidak hanya memberikan penghasilan, cara ini ikut berkontribusi menjaga alam.
Ketika usaha pakaian Yuli Hasan (46) jatuh terimbas pandemi Covid-19, alam ikut menolongnya. Lewat ecoprint, ia mencetak produk mode berbahan alam. Karyanya yang ramah lingkungan pun beredar di pameran bergengsi nasional. Kini, gilirannya merawat Bumi yang mulai sakit.
Juli 2023 menjadi salah satu bulan sibuk bagi Yuli. Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan jenama Swarna Alam ini mengikuti tiga pameran prestisius. Awal Juli, ada Karya Kreatif Jawa Barat yang digelar Bank Indonesia Jabar, lalu Ciayumajakuning Entrepreneur Festival (CEF).
Digelar Kantor Perwakilan BI Cirebon, CEF jadi ajang promosi produk UMKM dari Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan atau Ciayumajakuning. Akhir Juli, produknya juga tampil dalam Karya Kreatif Indonesia, acara tahunan BI pusat.
”Maaf, ya, berantakan. Belum sempat beres-beres dari pameran,” kata Yuli saat ditemui di rumahnya di Jalan Ketilang, Kelurahan Larangan, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Selasa (1/8/2023). Di ruang tamunya, terpajang aneka produk mode berbasis ecoprint.
Baca juga : Pesan Konservasi dalam Motif Batik Bakau
Ecoprint merupakan teknik mewarnai kain dan membentuk motif menggunakan bahan alam, seperti dedaunan, bunga, dan ranting pohon. Motif daun mangga sampai ketapang itu tidak hanya menempel di kain, tetapi juga di gaun, tas, topi, jaket, serta sepatu dengan warna beragam.
Di dindingnya, terpajang sertifikat dan foto aneka kegiatan. Mulai dari menjadi pemateri di acara kampus hingga partisipan dalam Ecoprint Fashion Week 2023 dan The Borobudur International Ecoprint Flag 2022. Bahkan, ada foto dirinya bersama Wury Ma’ruf Amin, istri Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Berbagai capaian itu tidak datang seketika. Yuli mulai bersentuhan dengan produk mode tahun 2013. Saat itu, ia kerap menjahit pakaian hingga menjual batik. Difasilitasi Pemerintah Kota Cirebon, ia sempat membawa produknya ke The Jakarta International Handicraft Trade Fair (Inacraft) 2019.
Sayangnya, pandemi Covid-19 awal 2020 meruntuhkan semangatnya di dunia mode. ”Enggak ada pesanan sama sekali, apalagi pameran. Padahal, sebelum itu saya sampai lembur tiga hari menjahit pesanan. Suami saya yang biasa di proyek juga tidak punya kerjaan,” ungkapnya.
Tidak ingin terpuruk, ia bereksperimen membuat ecoprint. Ia mengenal teknik itu saat mengikuti Inacraft. Bagi Yuli yang tidak bisa membatik, ecoprint jadi solusi membuat pakaian. Bermodal pengetahuan dari internet dan pengalamannya, ia membeli 10 lembar kain sepanjang 25 meter.
”Hasilnya, 10 kain itu gagal, enggak layak jual,” ucapnya tersenyum. Tidak menyerah, Yuli mencari komunitas ecoprint di media sosial. Dari sana, ia mengenal sejumlah perajin di sejumlah daerah dan mengikuti pelatihan daring tentang ecoprint. Ia pun rela membayar untuk mengikuti workshop.
”Udah enggak terhitung berapa orang jadi tempat belajar dan berapa teknik yang saya pelajari,” kata alumnus Politeknik Negeri Bandung ini.
Ia juga tak tahu, berapa banyak kain, daun, hingga bunga yang digunakan pada awal membuat ecoprint. Namun, pastinya, keahliannya bertambah.
Setelah berbulan-bulan mencoba, produknya akhirnya laku. Pertengahan 2020, ada pelanggan yang memesan enam karyanya untuk seragam hajatan. Saat itu, harga per pakaian Rp 350.000. Percaya dirinya mulai muncul. Namun, ia belum puas dan tetap ikut workshop via daring.
Yuli juga berkeliling ke koleganya hingga sejumlah dinas untuk menawarkan produknya. Ternyata, belum banyak yang paham tentang ecoprint. Pamor ecoprint pun belum setenar batik. ”Kalau batik ada Hari Batik. Memangnya ada Hari Ecoprint?” ujarnya tersenyum.
Dibandingkan batik cetak, pakaian ecoprint memang lebih mahal. Untuk sehelai kain ukuran 2,5 meter x 1,15 meter, misalnya, Yuli membanderolnya Rp 500.000 hingga lebih dari Rp 2 juta. Salah satu biaya tertinggi ada pada kain serat alam yang bisa lebih dari Rp 1 juta sehelai.
Namun, persoalan pemasaran ini mulai terpecahkan ketika Kantor Perwakilan BI Cirebon mendampingi Yuli awal 2021. Ia mendapat pelatihan soal pemasaran produk secara digital, bertemu dengan sejumlah desainer, hingga mengikuti pameran ke sejumlah kota.
Kesempatan itu ia manfaatkan untuk menjelaskan soal ecoprint. Yuli pantang menembak harga tinggi atau mengurangi kualitas produk saat pameran.
”Kalau seperti itu bisa jadi bumerang bagi pelaku usaha. Pelanggan tidak suka. Saya mau produk yang eksklusif, premium. Kainnya saja berbahan serat alam yang harganya mulai Rp 250.000 per lembar,” ujarnya.
Baca juga : Batik Pasuruan Berpewarna Alam
Ramah lingkungan
Tidak hanya itu, Yuli juga memastikan produk ecoprint ramah lingkungan. Tidak ada bahan kimia berbahaya. ”Bahannya juga tidak buat kulit iritasi,” katanya menunjukkan telapak tangannya yang mulus.
Sejumlah bahan yang ia pakai adalah batu tawas, soda kue, serta aneka jenis daun. Ia memastikan tidak ada limbah berbahaya yang mencemari lingkungan dari produk ecoprint. Bahkan, karyanya bisa dipakai berulang kali dalam waktu lama dan mengurangi limbah fashion.
”Baju dari pabrik, misalnya, hanya digunakan dua tahun. Tapi, kalau baju ecoprint bisa bertahan empat tahun. Limbah tekstil (fashion) itu, kan, salah satu penyuplai limbah terbesar di dunia,” ungkapnya.
Limbah fashion memang termasuk penyumbang polusi terbesar di dunia. Secara global, industri tekstil menghasilkan emisi karbon 1,2 miliar ton per tahun (Kompas.id, 16/4/2023). Kondisi ini turut memicu pemanasan global yang berdampak pada hujan lebat hingga kebakaran hutan.
Tidak sekadar mencari cuan dari produk ecoprint, ibu tiga anak ini juga ”melahirkan” aneka tanaman. Setidaknya 10 jenis pohon untuk bahan ecoprint sudah ditanam, seperti pohon ketapang, pepaya, hingga pohon lanangyang sudah jarang ditemukan di Cirebon.
Semakin banyak kain yang ia produksi, kian banyak pula pohon yang ditanam. Tidak hanya di depan rumahnya, pohon itu juga ditanam di pinggir jalan. Pupuknya pun alami, salah satunya dari kotoran kucingnya. Meski masih kecil, pohon itu turut menghijaukan Cirebon yang panas.
”Sekarang, kalau jalan-jalan, yang dilihat itu pohon-pohon,” ucap Iswahyudi, suami Yuli, diiringi tawa. Pasangan ini kini lebih senang mencari daun saat berwisata ke sejumlah daerah, seperti Kuningan dan Yogyakarta. Bahkan, mereka memungut daun yang berserakan.
Yuli berharap usaha rumahannya bisa terus berkembang, berkontribusi pada pelestarian alam, serta memberdayakan warga. Saat ini, ia belum memiliki karyawan tetap. Namun, ketika pesanan membeludak, ia kerap melibatkan dua hingga empat tetangganya untuk membuat produk ecoprint.
Dalam sebulan, ia mampu memproduksi 30 lembar kain ecoprint. Ia juga berinovasi membuat suvenir hingga sepatu dengan teknik ecoprint. ”Cita-cita saya adalah membuka lapangan kerja dari usaha ini dan bikin kampung ecoprint entah di mana saya berada,” ujarnya.
Baca juga : Mode Berkelanjutan Menjaga Napas Bumi
Yuli Hasan
Lahir : Cirebon, 2 Juli 1977
Pendidikan:
- SDN Ketilang Cirebon
- SMPN 6 Kota Cirebon
- SMKN 2 Cirebon
- Politeknik Negeri Bandung