Penetapan Hutan Adat di Gunung Mas, Angin Segar Masyarakat Adat Dayak
Penetapan 15 hutan adat di Kabupaten Gunung Mas jadi napas segar bagi masyarakat adat lainnya di Kalimantan Tengah. Banyak pihak berharap penetapan itu bisa menular ke daerah lainnya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Minah (35) menjual madu hutan ke warga di sekitar Desa Simpur, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Senin (6/7/2020). Madu hutan itu diambil dari hutan sekitar. Desa tersebut sedang mengajukan hutan adat agar komunitas adat bisa mengelola sendiri hutannya.
PALANGKARAYA, KOMPAS — Penetapan 15 hutan adat di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dinilai sebagai langkah maju pemerintah yang diharapkan bisa dilakukan di setiap kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah. Kini, Kalteng memiliki 16 hutan adat yang dikelola oleh masyarakat hukum adat.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI menetapkan 15 hutan adat untuk 15 masyarakat hukum adat (MHA) di Kabupaten Gunung Mas dengan total luas mencapai 68.326 hektar. Dengan begitu, Kalimantan Tengah kini memiliki 16 hutan adat dengan luas mencapai 68.428 hektar. Luas itu lebih sedikit dari luas DKI Jakarta.
Rinciannya, 68.326 hektar di Kabupaten Gunung Mas dan 102 hektar di Kabupaten Pulang Pisau. Hutan adat tersebut diserahkan kepada 15 masyarakat hukum adat (MHA) yang telah diakui Pemerintah Kabupaten Gunung Mas, di antaranya MHA Rungan, MHA Dayak Ngaju Lewu Tehang Manuhing Raya, MHA Dayak Ngaju Lewu Tumbang Bahanei, dan MHA Dayak Ngaju Lewu Tumbang Malahoi.
Selain itu, MHA Dayak Ot Danum Himba Atang Ambun Liang Bungai, MHA Dayak Ot Danum Lowu Tumbang Hatung, MHA Dayak Ngaju Lewu Tumbang Kuayan, MHA Dayak Ot Danum Lowu Tumbang Anoi, MHA Dayak Ot Danum Lowu Tumbang Mahuroi, dan MHA Dayak Ot Danum Lowu Lawang Kanji.
Lalu, MHA Dayak Ot Danum Lowu Karetau Sarian, MHA Dayak Ot Danum Lowu Karetou Rambangun, MHA Dayak Ot Danum Lowu Tumbang Maraya, MHA Dayak Ot Danum Lowu Tumbang Posu, dan MHA Dayak Ot Danum Lowu Tumbang Marikoi. Sementara 102 hektar hutan adat lainnya ada di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau dengan nama Hutan Adat Pulau Barasak.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Berbagai peralatan berladang khas masyarakat adat Dayak Ngaju di Desa Tumbang Oroi, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, pada Sabtu (24/9/2022) ditunjukkan dalam peringatan Hari Tani Nasional 2022. Mereka khawatir perkakas mereka hanya jadi tontonan karena sudah lama tak bisa berladang.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong mengungkapkan, penetapan itu merupakan capaian positif di Hari Masyarakat Adat Internasional. Melalui penetapan hutan adat itu, ia berharap bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat hukum adat di wilayah tersebut. Hutan adat diharapkan bisa memberikan manfaat nyata untuk hari ini dan kehidupan di kemudian hari.
”Saya harap Gunung Mas bisa menjadi contoh dan memotivasi bupati dan wali kota di Kalteng untuk mendukung dan mendorong lahirnya hutan-hutan adat di wilayahnya masing-masing,” katanya saat dihubungi dari Palangkaraya, Rabu (9/8/2023).
Alue mengungkapkan, pemerintah daerah bisa memulainya dengan pembuatan peraturan daerah MHA atau SK bupati tentang MHA, juga wilayah adatnya. Hal itu menjadi penting karena, menurut Alue, masyarakat adat bisa menjaga hutan dan menjadi penyeimbang globalisasi juga modernisasi yang kadang tidak sesuai dengan kondisi geografis, budaya, dan kehidupan sosial masyarakat di sekitarnya.
Direktur Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibi mengungkapkan, penetapan hutan adat di Kabupaten Gunung Mas dilakukan berdasarkan komitmen pemerintah daerah dan tim terpadu yang selama ini berupaya mendapatkan hutan adat. Melalui upaya itu, Gunung Mas mendapatkan perhatian dari KLHK, terutama Wakil Menteri Alue Dohong. Hal itu seharusnya bisa dilakukan di wilayah lain di Kalteng.
Penetapan hutan adat itu, kata Habibi, merupakan langkah maju pemerintah yang diharapkan bisa menular ke daerah lainnya, seperti di Kabupaten Lamandau, Sukamara, dan Kabupaten Katingan, juga kabupaten/kota lainnya di Kalteng. Wilayah-wilayah tersebut sampai saat ini masih berjuang untuk mendapatkan hak yang sama dengan pengakuan dan perlindungan wilayah adatnya.
”Ini penting karena di Kalteng ini ada banyak masyarakat adat yang perlu diakui dan dilindungi negara. Untuk itu, berdasarkan aturan yang ada, dibutuhkan keputusan kepala daerah dan peraturan daerah,” ucap Habibi.
Dalam penetapan hutan adat, lanjut Habibi, jika hutan adat berada di luar kawasan hutan, masyarakat adat cukup diakui dengan keputusan kepala daerah yang merupakan komitmen yang tidak berat. Jika hutan adat berada di dalam kawasan, MHA yang mengusulkan itu diakui menggunakan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.
”Banyak wilayah di Kalteng yang dalam perjuangannya tak jarang menemui jalan buntu, bahkan berujung penjara, Daerah-daerah ini perlu mendapatkan perhatian lebih, terutama dari pemerintah daerahnya,” kata Habibi.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Di hutan Kinipan, selain berburu dan meramu, warga juga membuat perahu untuk transportasi sungai. Dayak Tomun di Desa Kinipan merupakan keturunan dari Kerajaan Sarang Paruya.
Ketua Pelaksana Harian Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Kalteng Ferdi Kurnianto mengungkapkan, butuh 11 tahun lebih komunitas adat di Gunung Mas mendapatkan pengakuan dan pengesahan hutan adatnya. Sudah berkali-kali ganti pemerintah daerah baru, pun pemerintah pusat, baru kali ini mendapatkan hutan adat tersebut.
”Kesulitan paling utama itu, ya, komitmen pemerintah daerah, sudah lama sekali mereka perjuangkan (hutan adat) itu. Itu pun kalau dari sisi luas belum semuanya disahkan jadi hutan adat,” kata Ferdi di Palangkaraya, Rabu (9/8/2023).
Banyak dinamika yang terjadi selama 11 tahun, lanjut Ferdi, memperjuangkan hutan adat mulai dari musyawarah kampung, pemetaan partisipatif wilayah adat, permohonan usulan pengakuan, dan banyak lagi.
Ini penting karena di Kalteng ini ada banyak masyarakat adat yang perlu diakui dan dilindungi negara. Untuk itu, berdasarkan aturan yang ada, dibutuhkan keputusan kepala daerah dan peraturan daerah.
Dilihat dari catatan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), lembaga yang selama ini membantu masyarakat adat mengidentifikasi hutan adatnya juga membuat peta indikatif di Indonesia, dari total 1.336 wilayah adat yang teregistrasi di BRWA, sebanyak 219 wilayah adat sudah ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah dengan luas mencapai 3,73 juta hektar di seluruh Indonesia. Masih ada sekitar 23,17 juta hektar wilayah yang belum ada pengakuannya dari pemerintah daerah.
Mendapatkan hutan adat, lanjut Ferdi, bukan merupakan akhir dari perjuangan dan kepastian kesejahteraan, tetapi menjadi bekal untuk tahap selanjutnya. ”Penting untuk masyarakat adat ini melihat dan menata kembali ke dalam, baik soal kolektivitas sosial dan ekologi atau kondisi lingkungannya, pengakuan saja tidak cukup kuat jika tidak diperkuat dari dalam komunitas atau kampung itu sendiri,” ucapnya.