Hutan Lebih Baik Dikelola Masyarakat Adat
Masyarakat adat selalu menjadi korban investasi di kawasan hutannya sendiri. Menjelang peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional, mereka berseru jika hutan lebih baik dikelola oleh mereka.
Warga Kelurahan Petuk Bukit menelusuri hutan mereka yang tersisa karena diimpit oleh sejumlah perusahaan, di Kecamatan Rakumpit, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Sabtu (5/8/2023). Hutan itu merupakan peninggalan leluhur mereka yang selalu mereka jaga sampai saat ini.
Hutan lebih baik dikelola oleh masyarakat adat. Begitu seruan komunitas adat di Petuk Bukit, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang saat ini tengah berjuang menjaga hutan titipan leluhur mereka. Wilayah itu kini terimpit perusahaan kayu hingga perkebunan sawit.
Lebih kurang lima tahun lamanya, Gumerson Sawal (66) dan warga Kelurahan Petuk Bukit, Kota Palangkaraya, Kalteng, risau. Hal itu dimulai sejak orang-orang perusahaan datang ke ladang dan hutan mereka lalu memasang patok dan plang perusahaan. Mereka mengklaim sudah mendapatkan izin.
Gumerson bingung. Belum pernah ada informasi apa pun soal kedatangan mereka, apalagi soal investasi. Tiba-tiba patok dipasang.
Meski belum beroperasional 100 persen, Gumerson yakin investasi di kampungnya itu bakal membawa konflik sosial di tengah masyarakat. Ia yakin lantaran cara investasi masuk tanpa permisi membuat warga kesal.
”Perusahaan masuk tidak bilang dengan masyarakat di sini, apalagi dengan penjaga dan pelindung hutan di sini sesuai adat dan budaya kami. Ini bisa jadi sumber penyakit,” kata Gumerson yang juga menjabat sebagai Ketua Majelis Agama Hindu Kaharingan di Rakumpit, Senin (7/8/2023).
Bagi Gumerson, cara yang dilakukan pemerintah dan pengusaha di wilayah leluhurnya itu bisa berdampak buruk, tak hanya dari sisi lingkungan, tetapi juga dari sisi spiritualitas. Menurut dia, investasi di hutan baik berupa perusahaan hutan tanaman industri (HTI) maupun perkebunan sawit akan banyak mengubah hutan, memotong pohon tua, dan lain sebagainya.
Masyarakat adat Dayak, lanjut Gumerson, percaya bahwa setiap makhluk hidup memiliki gana atau roh, termasuk di dalam rumput yang diinjak, maupun pohon yang ditebang. Untuk itu, perlu ritual dan menjalankan tradisi untuk setidaknya permisi kepada para roh.
”Mereka tidak menghiraukan adat, padahal kami hampir setiap tahun itu membuat ritual di hutan seperti sesajen atau syukuran atas keselamatan warga di sini,” ungkap Gumerson.
Warga Kelurahan Petuk Bukit, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, memegang spanduk dengan harapan mereka bisa mengelola sendiri hutan yang selama ini mereka jaga karena merupakan titipan leluhur mereka, di Kecamatan Rakumpit, Kota Palangkaraya, Kalteng, Sabtu (5/8/2023).
Sebelumnya, pada Sabtu (5/8/2023), Gumerson mengajak Kompas dan beberapa tamu lainnya untuk mengunjungi lokasi hutan yang kini terimpit perusahaan. Lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah Gumerson. Hanya perlu waktu 20-30 menit untuk mencapai ke lokasi.
Di tempat itu jalan masuk ke hutan merupakan tanah berpasir yang dikenal sebagai kerangas, atau salah satu jenis tanah di hutan hujan tropis khas Kalimantan Tengah. Saat masuk rombongan kami berpapasan dengan truk pengangkut kayu. Gumerson melirik sopir pembawa truk yang buru-buru membawa laju truk meninggalkan rombongan kami di pinggir jalan.
Gumerson bilang, sejak dulu banyak aktivitas illegal logging di tempat itu. Ia sudah beberapa kali berusaha untuk menjaga hutan di kampungnya, namun hutan yang begitu luas bahkan tak bisa terus diawasi oleh seluruh warga di Petuk Bukit.
Aktivitas ilegal sudah lama jadi musuh Gumerson, meskipun pelakunya mungkin orang-orang di sekitar kampung. Namun, permasalahan soal investor ini menjadi masalah baru bagi mereka.
ILUSTRASI. Rumah betang di Desa Kubung, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, pada Agustus 2018.
Hal serupa juga disampaikan Kamran, salah satu warga Petuk Bukit. Menurut dia, warga tak paham di mana batas kawasan hutan. Ia tahu bahwa wilayah di Petuk Bukit banyak masuk kawasan hutan karena diberi tahu oleh pemerintah kelurahan yang melarang warga beraktivitas di dalam hutan.
Namun, hal itu tak adil baginya karena perusahaan juga datang membawa patok batas dan beraktivitas di lokasi yang tak jauh dari ladang-ladang mereka di kawasan hutan. Baginya, aturan itu hanya berlaku untuk mereka masyarakat kecil.
”Kami tidak mau nasib kami sama seperti daerah lain di Kalteng yang saat ini sedang konflik dengan perusahaan, masyarakat marah kemudian rusuh lalu ditangkap, kami gak mau seperti itu,” kata Kamran.
ILUSTRASI. Salah satu pertunjukan tari di pertunjukkan budaya di Taman Pasuk Kameloh, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Minggu (12/3/2023). Tarian itu disebut nerau ami rui dalam bahasa Dayak Maanyan, yang bercerita tentang aktivitas orang Dayak di hutan.
Kearifan Lokal
Gumerson dan Kamran selama lima tahun terakhir mencoba mencari solusi atas kekhawatiran mereka. Dari banyak pihak yang mereka temui, Gumerson dan Kamran mendapatkan jawaban serupa yakni perhutanan sosial.
Mereka telah mengidentifikasi lahan hutan adat mereka dan setidaknya memiliki 5.000 hektar atau hampir seluas Kota Jakarta Pusat. Identifikasi itu didasari oleh sejarah lahan dan kepemilikan yang berhubungan erat dengan sejarah Kelurahan Petuk Bukit.
”Kami mau jadikan ini hutan adatkah, atau hutan kemasyarakatan, atau apa pun yang penting ini kami kelola sendiri dan kami jaga,” ungkap Gumerson.
Masyarakat adat Dayak, lanjut Gumerson, menghormati hutan sebagai bagian dari hidup mereka. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana mereka mengelola hutannya. Di kawasan itu, masyarakat masih berburu di hutan, mengambil hasil hutan bukan kayu, mulai dari getah pohon nyatu (Palaquium, Sp), getah damar, dan banyak tanaman herbal.
Gumerson (66), Ketua Majelis Agama Hindu-Kaharingan di Petuk Bukit, Kecamatan Rakumpit, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, menunjukkan peta citra satelit yang menunjukkan hutan mereka terimpit oleh berbagai jenis izin usaha, mulai dari kehutanan hingga perkebunan, Sabtu (5/8/2023). Mereka berharap hutan yang tersisa itu bisa dilindungi dengan skema perhutanan sosial.
Mantir adat di kampung itu selalu mencari tanaman obat untuk warga yang membutuhkannya. Mantir adat biasa ditemui warga pertama kali saat mengalami sakit, sebelum mereka ke rumah sakit. Selain itu, tanaman pangan mulai dari beras ladang, sayur-mayur, hingga lauk ada di hutan.
Kami tidak mau nasib kami sama seperti daerah lain di Kalteng yang saat ini sedang konflik dengan perusahaan, masyarakat marah kemudian rusuh lalu ditangkap, kami gak mau seperti itu.
Direktur Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibi menjelaskan, sejauh ini pihaknya belum pernah menemui praktik pengelolaan hutan sebaik kearifan lokal yang dilakukan masyarakat adat. Dengan kearifannya, masyarakat adat tidak merusak hutan.
”Ketika di suatu daerah didiami masyarakat adat, maka di situ pula kita bisa temukan hutan yang hijau dan air yang bersih,” ungkap Habibi.
Kondisi itu, lanjut Habibi, menunjukkan bahwa masyarakat adat terbukti mampu mengelola hutan secara berkelanjutan. ”Masyarakat adat tidak hanya melihat sumber daya alam dari aspek ekonomi semata, tetapi juga sosial budaya serta religiusitas,” katanya.
Habibi menambahkan, di kondisi berlawanan, berbagai kebijakan dan perizinan yang dikeluarkan pemerintah justru merusak sumber daya alam dan lingkungan di Pulau Kalimantan. Pihaknya melihat dari data Map Biomas Indonesia, melalui citra satelit, Kalimantan kehilangan hutan mencapai 4,92 juta hektar atau setara 67 kali luas negara Singapura selama periode tahun 2000 sampai 2019.
Hilangnya jutaan hektar hutan di Kalimantan tersebut disebabkan adanya alih fungsi hutan di antaranya untuk industri perkebunan, pertambangan, dan industri bubur kertas atau HTI. Selain itu, tambah Habibi, kondisi itu diperburuk dengan kebijakan perubahan fungsi hutan untuk mendukung berbagai proyek strategis nasional, baik di bidang pertanian dan infrastruktur maupun di bidang energi.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah Rizky Badjuri mengungkapkan sebelumnya bahwa pihaknya bersama pemerintah pusat saat ini sedang melakukan pendataan perkebunan melalui satuan tugas khusus. Pemerintah bahkan menciptakan sistem pelaporan digital untuk membantu para pengusaha perkebunan. Data itu menjadi penting dan dinilai bisa mengurangi konflik di antara masyarakat, termasuk masyarakat adat dengan perusahaan.
”Ini tata kelola, dan kami harap dengan perbaikan tata kelola pasti bisa mengurangi konflik agraria di tengah masyarakat, sehingga ada manfaatnya,” ungkap Rizky.
Kalteng, lanjut Rizky, saat ini merupakan wilayah dengan kontribusi paling besar untuk negara dari kelapa sawit sehingga perlu menjadi fokus pemerintah dalam perbaikan tata kelola. Ia berharap dengan adanya sistem tersebut, data yang dimiliki bisa menjadi satu.
Paparan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian di Kegiatan Self Reporting Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (6/7/2023).
Hal itu, menurut Rizky, jadi pemicu konflik. Adanya satu data ini diharapkan bisa mengurangi konflik lahan antara perusahaan dan pemerintah maupun negara.
Dari data Satgas Tata Kelola Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara terdapat 3.374.041 hektar tutupan sawit di kawasan hutan di Indonesia. Untuk 237.511 hektar sudah terbit SK pelepasannya, 913.350 hektar sedang dalam proses penetapan SK, sedangkan 2.223.180 hektar belum diproses. Khusus di Kalteng terdapat 632.133,96 hektar kebun sawit berada di kawasan hutan. Kawasan itu lebih luas dari Pulau Bali.
”Sosialisasi ini harus sampai ke tingkat desa sehingga mereka bisa menguasainya juga,” ucapnya.
Baca juga: Saat Bapak Ditangkap dan Dituduh Mencuri di Kebun Sendiri