Paradoks Hilirisasi di Lumbung Nikel
Paradoks terjadi dalam situasi ekonomi di Sulawesi Tenggara dan daerah lumbung nikel lainnya. Di tengah berjalannya hilirisasi bahan tambang primadona itu, kemiskinan justru meningkat.
KENDARI, KOMPAS — Memiliki cadangan nikel terbesar di Indonesia dan ditambang secara masif selama beberapa dekade, masyarakat di Sulawesi Tenggara justru masih jauh dari sejahtera. Harapan mulai tumbuh saat hilirisasi berjalan. Namun, kemiskinan di ”Bumi Anoa” ini, juga di lumbung nikel lainnya, justru bertambah. Ketimpangan pun kian melebar.
Selama puluhan tahun, nikel adalah mineral yang diminati banyak negara. Produknya berupa baja tahan karat yang dipakai di banyak bidang. Pesona nikel semakin mentereng seiring penggunaannya dalam industri kendaraan listrik, khususnya bahan baku baterai.
Lumbung nikel di Indonesia yang tersebar di Sulawesi dan Maluku semakin masif ditambang. Hal ini tidak terkecuali di Sulawesi Tenggara, pemilik cadangan nikel terbesar di Indonesia, yang diperkirakan mencapai 1,8 miliar ton.
Medio 2017, pemerintah menggelorakan hilirisasi nikel untuk menambah manfaat bahan tambang tersebut. Saat itu, telah dimulai pembangunan fasilitas pengolahan nikel skala besar di wilayah ini. Sebelumnya, nikel hanya diekspor secara mentah berupa ore atau bijih mineral yang berwujud tanah.
Investasi terbesar sejauh ini berada di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, yang telah mencapai miliaran dollar AS. Di lahan lebih dari 2.000 hektar tersebut dibangun fasilitas smelter atau pemurnian nikel milik perusahaan asal China.
Hilirisasi semakin digelorakan seiring pelarangan ekspor bijih nikel yang berlaku pada awal 2020. Sejumlah smelter juga dibangun, baik di Konawe, Konawe Utara, Kolaka, maupun Konawe Selatan. Beberapa sedang direncanakan, dengan total sebanyak lima kawasan industri. Hal yang sama terjadi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, hingga Maluku.
Akan tetapi, meski puluhan tahun nikel dikeruk dan kini diolah, kondisi masyarakat di Sultra tidak banyak berubah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kemiskinan di Sultra hanya turun satu poin selama enam tahun terakhir, yakni dari 12,81 persen pada 2017 menjadi 11 persen pada 2022.
Hilirisasi terjadi, tapi belum mampu menyumbang banyak untuk perekonomian.
Angka ini jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional yang berada di posisi 9,57 persen pada 2022. Medio Maret 2023, angka kemiskinan di Sultra bahkan kembali melonjak mencapai 11,43 persen dengan total 321.530 jiwa.
Angka kemiskinan ini terjadi merata, termasuk di wilayah-wilayah sentra nikel. Daerah yang memiliki cadangan nikel melimpah, seperti Kolaka, Kolaka Utara, Konawe Utara, Konawe Selatan, dan Konawe, justru tidak menunjukkan perbaikan.
Di Konawe Utara, misalnya, daerah dengan izin usaha pertambangan (IUP) nikel terbanyak, angka kemiskinan pada 2022 mencapai 13,53 persen. Angka ini tidak berbeda pada 2017 yang di angka 13,93 persen.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sultra Johannes Robert mengemukakan, paradoks memang terjadi dalam situasi ekonomi di wilayah ini. Pertumbuhan ekonomi tinggi, angka investasi melonjak, dan bagi hasil pajak juga tinggi. Semuanya di atas rata-rata nasional. Akan tetapi, selama lima tahun terakhir, angka kemiskinan juga masih di atas 11 persen, yang tentunya di atas rata-rata nasional.
”Ini situasi yang kita hadapi. Hilirisasi terjadi, tapi belum mampu menyumbang banyak untuk perekonomian. Lima tahun terakhir angka kemiskinan di Sultra berada di atas 11 persen,” kata Robert, Jumat (4/8/2023).
Baca juga: Hilirisasi Nikel Semakin Gemerlap, Kemiskinan di Sultra Justru Melonjak
Hal itu dikemukakannya seusai diskusi bertema ”Percepatan Hilirisasi Industri sebagai Prime Mover Ekonomi Nasional untuk Indonesia Maju Berdaulat dan Berkelanjutan”, di Kendari, Sultra. Diskusi ini diselenggarakan Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) bersama Universitas Halu Oleo, Kendari.
Untuk itu, menurut Robert, percepatan hilirisasi penting dilakukan. Sebab, hal ini mendorong banyak sektor ikut bergeliat, baik itu makanan, jasa, transportasi, logistik, hingga perumahan. Tidak hanya itu, industri turunan juga berkembang.
Saat ini, terang Robert, hilirisasi baru berjalan di satu kawasan industri yang ada di Sultra. Itu pun masih terbatas pada produk tingkat awal, belum sampai ke tahap akhir. Dengan empat kawasan industri yang sedang dalam pembangunan dan perencanaan, diharapkan ke depan kesejahteraan masyarakat turut meningkat.
Sekretaris Jenderal Kementerian Tenaga Kerja Anwar Sanusi, dalam diskusi itu, mengungkapkan, hilirisasi industri yang berjalan telah menyerap banyak tenaga kerja lokal. Di hilirisasi nikel, misalnya, persentase tenaga kerja lokal lebih banyak terserap dibandingkan tenaga kerja asing.
Kita tentu ingin agar masyarakat lokal tidak hanya menjadi penonton, tetapi ikut andil dalam hilirisasi industri yang berlangsung di daerah.
Meski begitu, ia mengakui, sebagian besar masih sebagai tenaga buruh dan belum pada level menengah ke atas. Hal ini terjadi karena keahlian yang dimiliki memang harus ditingkatkan secara maksimal.
”Kita tentu ingin agar masyarakat lokal tidak hanya menjadi penonton, tetapi ikut andil dalam hilirisasi industri yang berlangsung di daerah. Oleh karena itu, upaya untuk peningkatan kemampuan terus diupayakan,” kata Anwar, yang juga Wakil Ketua Umum Kagama.
Beberapa upaya yang dilakukan, ia menambahkan, adalah mendorong industri terkait untuk menyediakan fasilitas pendidikan dan pelatihan di sektor masing-masing. Hal ini terus digaungkan agar peran penyediaan tenaga kerja terampil semakin masif.
Di sisi lain, pemerintah juga terus mengintensifkan pelatihan dan pendidikan. Pemerintah pusat dan daerah dituntut bekerja keras menyiapkan masyarakat dengan kualitas mumpuni dan dibutuhkan oleh sektor industri di wilayah masing-masing.
Baca juga: Tenaga Kerja Asing Jadi Buruh Kasar di Perusahaan Pengolah Nikel
”Jadi, pekerja lokal kita itu bukan sekadar tukang, melainkan berkontribusi ke level yang lebih tinggi. Itu yang terus kita dorong,” terangnya.
Paradoks hilirisasi nikel yang terjadi di Sultra juga terlihat di daerah lain yang juga lumbung mineral ini. Peningkatan angka kemiskinan tertinggi kedua ada di Sulawesi Tengah, yang naik 0,11 persen poin dari 12,30 persen menjadi 12,41 persen. Sulawesi Selatan, yang juga wilayah penghasil nikel, mengalami kenaikan angka kemiskinan 0,04 persen poin dari 8,66 persen menjadi 8,70 persen.
Kemiskinan juga terpantau naik di wilayah penghasil dan pengolah nikel lainnya, seperti Maluku Utara. Per Maret 2023, kemiskinan di Maluku Utara naik 0,09 persen poin dari 6,37 persen pada September 2022 menjadi 6,46 persen.
Naiknya angka kemiskinan itu kontras dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang dicapai wilayah-wilayah tersebut setelah hilirisasi nikel. Ekonomi Sulteng pada tahun 2022 tumbuh dua digit sebesar 15,17 persen dan pada triwulan I-2023 sebesar 13,18 persen.
Baca juga: Kemiskinan Naik di Sentra Pengolahan Nikel, Efek Ganda Hilirisasi Belum Optimal
Sementara, ekonomi Sultra tumbuh 5,53 persen pada tahun 2022 dan pada triwulan I-2023 tumbuh 6,48 persen. Demikian pula, ekonomi Maluku Utara tumbuh 22,94 persen pada 2022 dan 16,5 persen pada triwulan I-2023 (Kompas, 21/7/2023).
Dihubungi terpisah, Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Halu Oleo, Syamsir Nur, menjabarkan, angka kemiskinan dan ketimpangan yang meningkat di wilayah ini menunjukkan timpangnya pembangunan dan aktivitas ekonomi. Terlebih lagi, jumlah penduduk miskin yang bertambah sebagian besar berada di kota.
Padahal, ia melanjutkan, tingkat urbanisasi semakin tinggi akibat daya tarik kota juga semakin gemerlap. Di perdesaan, daya dorong agar masyarakat keluar pun semakin tinggi akibat alih fungsi lahan hingga program pemerintah yang tidak tepat.
Hal itu terjadi akibat semakin melentingnya pertambangan dan industri pengolahan nikel selama beberapa tahun terakhir. Wilayah yang kaya akan nikel ini diolah dan terus mengalami perubahan, baik secara ekonomi maupun lanskap wilayah.
Meskipun hilirisasi nikel dilakukan, tidak otomatis akan membuat masyarakat sejahtera.
Daerah yang dulunya wilayah pertanian dan kelautan perlahan bergantung pada pertambangan dan industri pengolahan skala besar. Selama hampir dua dekade terakhir, peranan sektor pertanian dan kelautan terus turun.
”Meskipun hilirisasi nikel dilakukan, tidak otomatis akan membuat masyarakat sejahtera. Yang harus diintensifkan untuk hilirisasi adalah sektor unggulan yang menjadi penopang utama masyarakat, yaitu pertanian, perkebunan, dan kelautan. Inilah kekayaan sesungguhnya masyarakat di Bumi Anoa ini,” ucap Syamsir.
Menteri Investasi/BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan, hilirisasi adalah instrumen yang berdampak besar terhadap perekonomian secara luas. Tidak hanya terhadap peningkatan angka penerimaan negara, tetapi juga pada pemerataan ekonomi.
Hilirisasi nikel, misalnya, membuat nilai ekspor melejit berkali lipat dalam lima tahun terakhir. Sebelum kebijakan hilirisasi, nilai ekspor bahan mentah nikel nilainya hanya Rp 15 triliun.
Baca juga: Ekspor Olahan Nikel Sultra Capai Rp 71 Triliun
Saat ini, nilai ekspor nikel setelah menjadi produk setengah jadi atau produk akhir meningkat drastis menjadi Rp 360 triliun. Investasi saat ini juga tidak lagi terfokus di Jawa, tetapi telah menyebar ke banyak daerah yang membawa implikasi positif.
”Hilirisasi tidak hanya untuk nikel, tetapi juga pada sektor lainnya. Ke depan, kita ingin investasi yang berkualitas. Mulai dari keterlibatan pengusaha daerah untuk mengambil bagian, isu lingkungan di mana industrialisasi terjadi lalu masyarakat terkena dampak, dan selanjutnya adalah energi hijau untuk masa depan,” kata Bahlil.
Hilirisasi nikel memang telah berproses dengan angka yang terlihat menyilaukan mata. Namun, bagi Edimanto (31), warga Desa Paku Jaya, Konawe, yang lahir dan besar di sekitar kawasan industri Morosi, merasa tidak banyak mendapatkan manfaat.
Telah hampir dua tahun ini dia tidak memiliki pekerjaan tetap setelah keluar dari perusahaan smelter yang berdiri dekat kampungnya itu. Ia memilih keluar karena persoalan gaji yang tidak jelas dan beban kerja yang tinggi.
Baca juga: Kisah Sepetak Sawah di Tengah Kepungan Nikel
Akhir Maret lalu, ia bercerita, keluarganya dulu memiliki banyak sawah. Saat kecil, ia sering membantu pekerjaan di sawah. Akan tetapi, perlahan, lahan tersebut dijual sedikit demi sedikit hingga akhirnya tak bersisa lagi.
Seharusnya, tutur Edimanto, warga di sekitar tambang dan perusahaan nikel bisa berdaya dan sejahtera, baik dengan bekerja langsung di perusahaan maupun untuk penyediaan logistik. Akan tetapi, ia kini malah kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup harian. ”Hanya dapat debunya,” tuturnya singkat.