Kisah Sepetak Sawah di Tengah Kepungan Nikel
Persawahan ini adalah ”harta” Karmin bersama puluhan petani lainnya. Ia mengaku tidak akan menjual sawah ini untuk kepentingan perusahaan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F25%2Fc61f17a2-edbf-4f3f-aa9f-17efa5cc34d0_jpg.jpg)
Hamparan persawahan warga yang berbatasan dengan industri pengolahan nikel di Desa Paku Jaya, Kecamatan Bondoala, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, Kamis (30/3/2023).
Padi berumur dua bulan menghijau di hamparan persawahan di Desa Paku Jaya, Kecamatan Bondoala, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Pelepahnya mulai tinggi meski belum berisi bulir padi. Berjarak sekitar lima kilometer ke arah timur, asap membubung, membawa sisa pembakaran dari pabrik peleburan nikel.
Tanpa alas kaki, Karmin (54) berjalan lincah di atas pematang. Kakinya kokoh menjejak pematang yang mengantar ke kediamannya di Paku Jaya. Terik matahari memanggang hari, Kamis (30/3/2023).
Di ujung pematang, ia berhenti di pintu air irigasi. Tangannya lincah membuka pintu air lebar-lebar. Ranting dan dedaunan yang tersangkut disingkirkan. Ia memandang hamparan sawah di depannya yang menghijau jauh ke timur. ”Baru dua bulan. Semoga bisa panen bagus,” kata kakek satu cucu ini.
Meski pada bulan Ramadhan, ia tetap rutin mengecek sawah walau tidak seintensif pada hari biasa. Hamparan sawah menghijau yang menyejukkan mata menjadi penghibur lelahnya. Burung berbagai jenis melintas dari arah timur. Di arah timur itu pulalah, menjulang puluhan cerobong pabrik. Asap putih dan abu-abu membubung tinggi dari cerobong itu.
Pagi hingga kembali pagi, asap putih, yang sesekali hitam, keluar dari cerobong tersebut. Cerobong tersebut merupakan pembuangan asap pembakaran dari pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter nikel yang berada di kawasan Virtue Dragon Nickel Industrial Park (VDNIP). Di kawasan ini, berdiri dua perusahaan pengolahan nikel skala besar, yaitu Virtue Dragon Nickel Industry dan Obsidian Stainless Steel.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F25%2Ff44b00ab-87a2-49a9-b33c-7aa0fa78ca3b_jpg.jpg)
Karmin (54), berjalan menuju sawah miliknya di Desa Paku Jaya, Konawe, Sulawesi Tenggara, Kamis (30/3/2023).
Perusahaan yang investasinya asal China tersebut berdiri sejak 2014, disusul pembangunan smelter yang beroperasi pada 2019. Sebuah investasi yang didukung penuh pemerintah sehingga menjadikan kawasan lokasi pabrik di Kecamatan Morosi dan sekitarnya ini sebagai Proyek Strategis Nasional.
Setelah tiba di teras rumah, Karmin bercerita, sejak awal perusahaan dibuka, sejumlah lahan warga bersalin rupa menjadi area pabrik, jalanan, dan lainnya. Lahan tersebut sebelumnya berupa tanah kosong, tambak, dan persawahan. Tak ayal, kawasan persawahan yang tersisa di wilayah ini tidak seperti dulu lagi.
Datang ke kawasan ini sejak awal 2000-an, ia tahu betul kondisi persawahan di wilayah tempatnya menetap ini. Sebagian lokasi masih berupa semak belukar, yang perlahan dibuka menjadi persawahan.
Baca juga: Dominasi China atas Ekspor Nikel Sultra
”Kalau dibanding dulu, tentu untuk bersawah masih lebih bagus dibandingkan sekarang. Kalau kami di sini agak jauh dari pabrik, jadi tidak terlalu berdampak. Paling asap (smelter) sesekali kalau tertiup angin,” jelasnya. Kondisi itu berbeda dengan sawah milik warga yang berdekatan dengan pabrik.
Saat ini, ia memiliki sawah seluas lima hektar. Sawah ini dikelola sendiri meski sesekali memanggil bantuan tetangga untuk membantu bekerja. Sekali menggarap sawah, ia membutuhkan modal sekitar Rp 15 juta. Dana tersebut digunakan untuk membeli bibit, pupuk, pestisida, dan keperluan panen.
Dalam sekali panen, ia bisa mendapatkan hasil bersih sekitar Rp 50 juta. Setiap tahun, ia menanam dua kali. Hasil dari sawah itu digunakan untuk keperluan sehari-hari dan investasi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F25%2Fda74c8cf-5778-45f0-a9be-667570e92c15_jpg.jpg)
Plang bertuliskan Sawah Dijual terpasang di sebuah hamparan persawahan di Desa Paku Jaya, Konawe, Sulawesi Tenggara, Kamis (30/3/2023).
Persawahan ini adalah ”harta” Karmin bersama puluhan petani lainnya. Ia mengaku tidak akan menjual sawah ini untuk kepentingan perusahaan. Beberapa tahun lalu, ia terpaksa menjual dua hektar sawahnya karena keperluan anak untuk menikah. Dua anaknya bekerja di perusahaan tambang sebagai sopir dan teknisi. Satu anak lainnya belum bekerja.
Berjarak 100 meter dari kediaman Karmin, Edimanto (31), warga Paku Jaya lainnya, sibuk mencacah daging kambing. Kambing tersebut sebelumnya disiapkan untuk Idul Adha mendatang. Akan tetapi, karena terlihat sakit, kambing terpaksa dipotong.
Edimanto saat ini hanya mengandalkan ternak dan kerjaan serabutan. Telah hampir dua tahun ini tidak memiliki pekerjaan tetap setelah keluar dari perusahaan smelter yang berdiri dekat kampungnya. Ia memilih keluar karena persoalan gaji yang tidak jelas dan beban kerja yang tinggi.
“Kerja sembarang (serabutan) saja. Mau cari kerja yang lain juga tidak tahu mau kerja apa,” kata ayah satu anak ini sembari tekun memotong daging.
Baca juga: Ekspor Olahan Nikel Sultra Capai Rp 71 Triliun
Ia bercerita, keluarganya dulu memiliki banyak sawah. Saat kecil, ia sering membantu pekerjaan di sawah. Akan tetapi, perlahan, lahan tersebut dijual sedikit demi sedikit hingga akhirnya tak bersisa lagi kini.
Seharusnya, tutur Edimanto, warga di sekitar tambang dan perusahaan nikel bisa berdaya dan sejahtera, baik dengan bekerja langsung di perusahaan maupun untuk penyediaan logistik. Akan tetapi, ia kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup harian. “Hanya dapat debunya saja,” tuturnya singkat.

Dampak pertambangan dan smelter terjadi di banyak tempat di provinsi ini. Di Kabupaten Kolaka, warga memprotes ratusan hektar lahan sawah mereka yang rusak akibat lumpur tebal. Aliran lumpur diduga imbas pertambangan nikel yang berada tidak jauh dari lahan pertanian mereka. Sawah yang menjadi tumpuan hidup puluhan tahun rusak seketika.
Di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, konflik lahan terjadi bertahun-tahun. Sebagian warga mempertahankan lahan perkebunan mete, cengkeh, dan kelapa mereka di tengah ekspansi tambang nikel. Meski warga telah menang terkait aturan tata ruang, penerobosan lahan terus terjadi.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra Andi Rahman mengungkapkan, Sultra yang menjadi primadona nikel Tanah Air tidak memberikan dampak positif kepada masyarakat. Malah, ekses negatif dari pertambangan dan industri terus dirasakan masyarakat.
Sederhananya begini, dengan ratusan izin tambang dan sejumlah smelter yang telah dan akan berdiri, perubahan apa yang dirasakan masyarakat?
Sebuah pulau kecil di Kabupaten Bombana, yaitu Pulau Kabaena, misalnya, terus dikeruk selama bertahun-tahun. Dampak pertambangan, baik itu banjir maupun laut yang tercemar, terus terjadi. Pendapatan utama masyarakat, yaitu nelayan dan pertanian, semakin tergerus. Di sisi lain, infrastruktur dasar seperti jalan tidak pernah baik.
“Sederhananya begini, dengan ratusan izin tambang dan sejumlah smelter yang telah dan akan berdiri, perubahan apa yang dirasakan masyarakat? Apakah infrastruktur dasar sudah baik? Apakah masyarakat sejahtera? Kenyataannya tidak, dan malah masyarakat menanggung dampak yang panjang,” terang Rahman.
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah memberikan perhatian penuh terhadap daerah yang menjadi lumbung nikel, seperti di Sultra. Pembatasan kegiatan dan pengawasan ketat harus dilakukan terus-menerus.
”Petani dan nelayan itu sumber pencarian masyarakat yang utama. Kalau tanah dan laut mereka rusak, lalu mereka mau kerja apa? Sudah saatnya pemerintah tidak melihat Sultra sebagai ruang investasi saja dan tidak mendalilkan ekonomi semata,” tambahnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F25%2Fd0cab45c-f206-4ebd-920e-d34685f7c5ed_jpg.jpg)
Hamparan persawahan warga yang berbatasan dengan industri pengolahan nikel atau smelter di Desa Paku Jaya, Konawe, Sulawesi Tenggara, Kamis (30/3/2023).
Sekretaris Daerah Sultra Asrun Lio menyampaikan, turunnya sumbangsih sektor pertanian tentu menimbulkan kekhawatiran. Sebab, bidang pertanian dan kelautan menjadi tumpuan masyarakat di Sultra selama bertahun-tahun.
Namun, di sisi lain, pertambangan bisa memberikan manfaat besar jika dikelola maksimal. Pihaknya juga tengah mengembangkan sektor lain yang bisa menjadi penghasilan masyarakat, baik sektor pariwisata maupun UMKM, seiring pengembangan pertanian dan kelautan.
Pembangunan yang berkelanjutan bagi masyarakat tentu menjadi harapan, terlebih tepat hari ini Sultra merayakan ulang tahun ke-59 sebagai provinsi. Bagi Karmin dan petani lainnya di Sultra, mereka hanya ingin terus bertani dan menjaga lahan mereka. ”Hanya ini yang kami punya untuk makan, untuk anak-anak. Itu sudah cukup,” tuturnya.
Baca juga: Industri Pengolahan Tumbuh Signifikan, Sektor Pertanian Sultra Mengkhawatirkan