Menjaga Momentum Pura Mangkunegaran Bersinar
Sinar Pura Mangkunegaran kembali moncer setahun terakhir. Ide-ide segar dan perubahan lebih baik dihadirkan pemimpin muda, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara X.
Pada 2022, Mangkunegara X bertakhta menggantikan ayahandanya, KGPAA Mangkunegara IX, yang berpulang pada 2021. Memimpin Pura Mangkunegara di usia 25 membuka jalan baginya untuk menggairahkan lagi kegiatan kebudayaan. Apalagi, gairahnya memajukan kebudayaan itu didukung dari berbagai pemerintah daerah hingga pusat.
Kompas berkesempatan berbincang mengenai pandangan, capaian, hingga rencana selanjutnya dari Mangkunegara X di Pura Mangkunegaran, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (26/7/2023). Berikut petikan wawancaranya.
Sejak bertakhta, apa saja yang dilakukan hingga Mangkunegaran berkembang pesat?
Kita dalam mengembangkan Mangkunegaran butuh proses. Ini juga waktunya bukan instan, setiap langkah berprogres dari waktu ke waktu.
Tujuan awalnya, kita menghidupkan dulu supaya Mangkunegaran kembali aktif dan bersinar lebih dahulu. Apa pun yang kami lakukan waktu itu supaya kegiatan-kegiatan, terutama kegiatan kebudayaannya, bisa lebih hidup dan lebih aktif di awal waktu itu. Dengan demikian, kami semakin bisa menarik banyak orang untuk bisa berpartisipasi, datang ke sini, serta menjadi bagian dari Mangkunegaran.
Untuk itu, kami buat program-program kebudayaan. Kebetulan waktu itu, jumenengan (upacara kenaikan takhta) bertepatan dengan beberapa acara adat. Tidak terlalu jauh selangnya. Setelahnya, langsung bertemu ruwahan (upacara mengenang leluhur Pura Mangkunegaran). Kebetulan juga diselenggarakan salah satu pertemuan G-20 di Surakarta. Setelah itu, ada peringatan 1 Sura. Kami juga membuat misi budaya internasional, juga dapat kesempatan membangun yang sekarang kita kenal dengan Taman Pracima.
Ini semua saya rasa, kerja keras dan momentumnya serba bertepatan. Alhamdulillah, semuanya bisa bersinkronisasi dengan baik. Apa yang terjadi saat itu menjadi pijakan awal bagi kami untuk meningkatkan lebih jauh lagi.
Baca juga: Gula Itu Bernama Pura Mangkunegaran...
Pertama kali masuk melihat Mangkunegaran seperti apa? Lalu, kenapa memilih jalur demikian untuk mengembangkan Pura Mangkunegaran?
Saya melihat Mangkunegaran dari kecil, ya. Jadi saya melihat Mangkunegaran ini sesimpel, ini adalah rumah saya. Kalau kita bicara secara kondisinya waktu itu, setelah jumenengan tentunya, kami sempat vakum untuk beberapa waktu. Ini juga merupakan suatu transisi untuk menghidupkan kembali Mangkunegaran. Karena, cukup lama kegiatan di Mangkunegaran tidak aktif, mungkin 7-8 bulan. Dari situ, kondisinya ya menghidupkan kembali menjadi yang paling penting.
Tantangannya apa? Bagaimana bisa menghadirkan kesegaran bagi Pura Mangkunegaran dengan banyak pengunjung muda saat ini?
Tantangan selalu ada setiap hari. Tetapi, tantangan yang mungkin kita sedang coba lakukan yang terbaik itu untuk regenerasi sebetulnya. Itu sebetulnya sesuatu yang harus diselesaikan karena yang namanya kebudayaan itu harus turun-temurun, diteruskan pada yang lebih muda dan seterusnya supaya bisa terus lestari dan berkembang.
Ternyata yang datang ke Mangkunegaran, melihat Mangkunegaran, hingga belajar tentang Mangkunegaran, yang berpartisipasi dan berkontribusi di Mangkunegaran, ini justru banyak yang muda-muda. Dari pengunjung pariwisata, kita melihat anak-anak yang magang dari beberapa mitra perguruan tinggi, di perpustakaan dan pariwisata ini ternyata anak-anak muda yang bermotivasi dan punya semangat yang sama.
Kami juga bisa melihat dari abdi dalem-abdi dalem muda juga sudah mulai berpartisipasi dan berkecimpung juga di Mangkunegaran. Ini sesuatu yang sangat positif. Dari bidang kesenian, makanan, dan macam-macam. Bahkan, sampai bidang kebersihan. Ini semua regenerasinya sudah mulai kelihatan dan berjalan. Ini yang saya rasa paling penting untuk jangka panjang.
Bicara perihal regenerasi, kondisi abdi dalem saat ini seperti apa?
Regenerasi itu harus berjalan. Itu bagian dari kelanjutan suatu lembaga. Terlebih lagi, ini adalah suatu pusat budaya. Yang sekarang sedang terjadi, di Pura Mangkunegaran, adalah kombinasi antara yang lebih sepuh dan yang lebih muda. Keduanya saling bertemu.
Pasti ada tantangan sendiri. Tetapi, kembali lagi, ini semua untuk tujuan yang lebih besar lagi, yaitu keberlanjutan dari Mangkunegaran. Dari sini, kebijakan yang kami ambil adalah bagaimana antar generasi ini bukan menciptakan suatu jarak, tetapi justru mengisi satu sama lain. Yang lebih sepuh pasti punya sesuatu yang tidak dimiliki yang muda. Begitu pula sebaliknya. Ini tinggal bagaimana bisa bersinergi dan saling mengisi satu sama lain.
Baca juga: Pura Mangkunegaran, Modernisasi Surakarta yang Mendahului Restorasi Meiji di Jepang
Contohnya dari saya sendiri. Sekarang usia saya 26 tahun. Abdi dalem di Mangkunegaran ada yang usianya boleh jadi tiga kali lipat dibandingkan saya. Tentu, banyak yang saya pelajari dari Romo (Mangkunegara IX). Banyak yang saya lihat dari pengalaman 26 tahun ini. Tetapi, selama 50 tahun sisanya, ini banyak juga hal yang saya tidak lihat. Banyak hal yang tidak tercatat. Padahal, ada cerita-cerita dan masukan baru dari mereka. Saya sebagai anak muda juga senang mendengarkan cerita dan masukan.
Di sini, antara generasi punya kelebihan dan kekurangan. Tinggal bagaimana masing-masing saling mengisi. Dari situ, bisa membawa kontribusi yang lebih untuk Mangkunegaran.
Selain destinasi wisata, Pura Mangkunegaran ini juga pusat kebudayaan Jawa. Belakangan, banyak gelaran nasional maupun internasional diadakan di sini. Kenapa demikian?
Tempat kami cukup luas, berada di pusat Kota Surakarta juga. Ini sesuatu sekali. Bagaimana Mangkunegaran sebagai tempat bisa bermanfaat untuk masyarakat. Salah satunya menyelaraskan dengan program Pemkot Surakarta yang menggencarkan gelaran event.
Dengan situasi yang semakin hidup ini, kegiatannya juga semakin semarak. Saya rasa kegiatan ekonomi dan kebudayaan juga kian meningkat. Sebagai pusat kebudayaan, memang itulah fungsi dan amanah utama kami. Jadi bagaimana Mangkunegaran itu bisa menjadi suatu tempat untuk berkarya, merayakan kebudayaan bersama-sama. Tidak hanya Jawa, bahkan seluruh Indonesia dan dunia.
Ternyata yang datang ke Mangkunegaran, melihat Mangkunegaran, hingga belajar tentang Mangkunegaran, yang berpartisipasi dan berkontribusi di Mangkunegaran, ini justru banyak yang muda-muda.
Setahun ini kunjungan wisata dan event di Mangkunegaran memang melonjak pesat, ya?
Apalagi setelah pandemi, ya. Sebetulnya sebelum pandemi, saya rasa kegiatan event di Mangkunegaran lumayan juga. Tetapi, tidak semarak seperti sekarang. Memang, kalau kita lihat jumlah wisatawan sekarang luar biasa. Angkanya mungkin naik lima kali lipat dibandingkan sebelum pandemi.
Ini kita melihat semakin aktifnya suatu kota. Bukan hanya tentang Mangkunegaran, tetapi bagaimana Surakarta hari ini menjadi magnet yang luar biasa. Ternyata, terlihat betul. Kami salah satu yang bisa melihat efeknya secara langsung. Hari ini, tidak sedang musim liburan saja, kegiatannya juga cukup banyak. Tinggal bagaimana kita bisa terus merawat dan mempertahankan momentum ini.
Bagaimana praktik berkesenian di Pura Mangkunegaran?
Kami membina beberapa departemen kesenian, khususnya di bidang tari, karawitan, dan pedalangan. Oh iya, satu lagi ada keroncong. Tiga yang tadi berjalan sudah cukup lama. Mungkin keroncong menjadi yang lebih baru. Kelihatannya baru tahun lalu.
Lewat departemen kesenian, kami ingin mengembangkan mereka dan mendorong para pelaku seni berkembang melalui Mangkunegaran. Harapannya ini juga menjadi satu tempat belajar. Itu yang paling penting sebenarnya. Karena, melalui belajar, pengetahuan bisa disampaikan ke masyarakat lebih luas. Dari situ harapannya, semakin lestari dan semakin berkembang.
Baca juga: Mangkunegara X, Sang Penerus
Kanjeng Gusti juga memiliki mempunyai misi kebudayaan dengan lawatan ke luar negeri seperti Singapura, Thailand, Australia, hingga Paris. Apa yang ingin diperoleh lewat upaya itu?
Kami ingin mengenalkan kebudayaan Jawa yang adiluhung ini kepada masyarakat seluas mungkin. Ini tidak terbatas dengan masyarakat nasional maupun internasional. Karena, kami percaya, kebudayaan itu sifatnya tidak terbatas ruang dan waktu. Justru ini menjadi suatu aset dan keunikan yang tidak bisa kita temukan di tempat lain sebetulnya.
Ketika kami menjalankan misi kebudayaan di tempat-tempat itu, responsnya sangat menyenangkan. Sangat positif, baik dari warga Indonesia yang ada di sana maupun dari orang-orang lokalnya. Mereka senang sekali. Ini semacam jadi pengenalan awal untuk kebudayaan Jawa, khususnya terhadap Mangkunegaran.
Ternyata dari perjalanan-perjalanan itu banyak kemitraan dan jaringan yang kami bentuk di sana. Makanya, bisa terjadi juga kemarin ini simposium internasional. Ya, kita bisa melihat bahwa segala sesuatu ketika kita jalankan ternyata selalu ada kelanjutannya. Apa yang akan hadir setelahnya selalu ada. Ini yang terus kami bina. Keterbukaan dan keinginan untuk bisa bertemu dengan beberapa pihak membuahkan hasil positif.
Bentuk perkembangan paling kentara di Mangkunegaran adalah revitalisasi bangunan lama. Salah satu yang paling anyar diresmikan ialah Taman Pracima. Kenapa titik itu dipilih sebagai yang paling awal?
Sebetulnya, membangun taman sudah dilakukan oleh eyang-eyang juga. Mungkin dari zaman Mangkunegara IV, beliau membangun Taman Ujung Puri, yaitu taman belakang Pura Mangkunegaran. Mangkunegara VI dan Mangkunegara VII membangun Taman Pracima yang kita kenal hari ini. Beberapa taman juga ada di luar Mangkunegaran, seperti ada Villa Park serta Taman Balekambang. Memang trennya itu dari dulu Mangkunegaran, yang saya lihat, beberapa kali senang membangun taman.
Lalu, kenapa saya membangun taman di era hari ini? Secara filosofis, taman itu menjadi tempat bersenang-senang, berkumpul, juga tempat yang sifatnya hangat serta memberikan kenyamanan. Itulah kenapa jadi taman ini sebetulnya perwujudan fisik dari cita-cita besar kami melalui kebudayaan Mangkunegaran. Bagaimana masyarakat melalui kebudayaan yang kami bagikan dan pancarkan di sini, masyarakat juga bisa mendapatkan rasa kesenangan dan kehangatannya itu tadi seperti berada di suatu taman.
Jadi, taman ini merupakan perwujudan fisik dari visi kami, apa yang ingin kami pancarkan melalui kebudayaan dari Mangkunegaran. Kehangatan, kenyamanan, kebahagiaan, keguyuban. Lebih kurang seperti itu.
Taman Pracima terinspirasi dari Mangkunegara VI dan Mangkunegara VII, berdasarkan gambar kerja, kajian, serta dokumentasi yang kami kumpulkan. Ada juga unsur-unsur simbolis. Misalnya, kenapa taman bunga? Bunga ini satu persembahan untuk Mangkunegara IV dengan karya beliau, Gending Puspowarno. Kemudian, juga ada 10 air mancur dengan satu yang besar di tengah. Yang tengah ini melambangkan sosok pendiri Mangkunegaran, yaitu Mangkunegara I. Lalu, ada sembilan air mancur lainnya melambangkan pembangunan berlangsung di era Mangkunegara X.
Namun, yang paling utama adalah bagaimana energi yang ingin kita pancarkan di Pura Mangkunegaran ini seperti suatu taman itu tadi.
Setelah ini, adakah titik-titik lain yang akan direvitalisasi lagi?
Tentu rencana ada. Masih banyak area di Pura Mangkunegaran yang membutuhkan perhatian lebih. Nanti kita lihat perkembangannya seperti apa. Kita lihat, di depan ada (gedung) kavaleri, ada juga beberapa titik lain yang saya rasa jika kita kembangkan akan membawa suatu warna baru di Kota Surakarta. Bisa menarik masyarakat dan wisatawan untuk datang serta berkegiatan di sini.
Dukungan pemerintah terlihat cukup serius bagi Pura Mangkunegaran. Apakah ini termasuk faktor krusial di balik pesatnya perkembangan pura ini?
Sangat krusial. Di era hari ini, kami meyakini bahwa untuk maju memang membutuhkan kerja sama, kolaborasi, dan sinergi. Apalagi jika kita bicara soal kebudayaan. Kebudayaan tidak terlepas dari masyarakatnya. Tentunya, semakin banyak yang nyengkuyung, mau terlibat, dan peduli, itu pasti dampaknya akan lebih besar.
Kolaborasi ini juga akan mengangkat kualitas dan keunikannya masing-masing. Tetapi, apa yang terjadi hari ini, bagaimana perkembangan Mangkunegaran hari ini, itu tidak terlepas dari kolaborasi. Misalnya dengan pemerintah, kami senang sekali.
Saya rasa Mas Gibran (Wali Kota Surakarta) juga komunikasi dan visinya cukup sejalan. Bagaimana selama ini kita bisa saling mendukung program satu sama lain sebetulnya suatu hal positif. Harapannya, masyarakat Surakarta juga senang dengan apa yang kami lakukan. Kemudian, kementerian dan pemerintah pusat, juga pemerintah provinsi semuanya berjalan dengan baik.
Setelah memimpin lebih dari satu tahun, apakah itu semua sudah sesuai harapan? Apa saja yang masih kurang?
Mungkin masih banyak yang kurang. Cita-citanya juga masih banyak. Namanya juga masih muda. Kami masih optimis. Semoga bisa terus bertahan. Kami harus bertahan. Saya rasa yang saya lakukan masih jauh dibandingkan Romo (Mangkunegara IX) dan eyang-eyang. Saya baru satu tahun ini, belum ada apa-apa. Romo dan eyang-eyang pencapaiannya sudah luar biasa. Mangkunegaran masih ada sampai sekarang dengan segala pasang surutnya itu sudah sesuatu yang luar biasa.
Saya sebagai seorang penerus dan anak muda yang masih cukup energik, dan cukup optimis, jelas masih banyak yang harus bisa kita lakukan. Harapan saya sebenarnya cukup simpel. Yang penting apa yang saya lakukan di sini bisa membuat masyarakat senang. Itu saja. Senang dan juga bisa ikut bangga bahwa kita sebagai masyarakat Jawa, atau khususnya masyarakat Kota Surakarta ini, masih mempunyai suatu kebudayaan dan suatu pusat kebudayaan di Mangkunegaran, yang menjadi bagian dari identitas kita semua.
Yang penting, apa yang kami lakukan di sini, masyarakat dan publik itu senang, kita juga sudah cukup senang. Yang penting bikin senangnya ini tidak hanya satu tahun saja, kan? Semoga bisa untuk berpuluh-puluh tahun ke depan. Harapannya ratusan tahun ke depan. He-he-he.
Rencana ke depan, apa yang masih ingin dilakukan?
Rencana masih banyak, paling dekat pengembangan perpustakaan. Itu menjadi satu program penting karena terkait dokumen-dokumen yang usianya ratusan tahun. Ini butuh atensi dan perawatan yang mendalam.
Pengembangan museum juga sedang kami lakukan. Harapannya, Agustus atau September bisa kami buat dulu pameran temporer. Jadi, ketika pengunjung datang ke Mangkunegaran juga ada engagement dan interaksinya dengan cerita-cerita sejarah.
Sebagai destinasi, kami akan mengembangkan hal-hal baru. Tidak akan pernah berhenti karena ini bukan pekerjaan untuk saya. Ini adalah jalan hidup. Jadi, memang kami di sini berkarya terus saja melalui kebudayaan yang menjadi fondasi kami. Harapannya, dari sini dampak terhadap masyarakat bisa positif.