Pabrik Terkendala Listrik, Nelayan di Mentawai Kesulitan Mendapatkan Es
Nelayan di kawasan Pulau Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumbar, kesulitan mendapatkan es untuk penyimpanan hasil perikanan. Pabrik es yang ada jarang beroperasi karena kekurangan suplai listrik.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Nelayan di kawasan Pulau Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, kesulitan mendapatkan es untuk penyimpanan hasil perikanan. Pabrik es yang berada di Sikakap, Kepulauan Mentawai, jarang beroperasi karena kekurangan suplai listrik dari Perusahaan Listrik Negara.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Pelabuhan Perikanan Wilayah III Sumatera Barat Yofrianto mengakui, pabrik es dengan kebutuhan listrik 120 kVA itu jarang beroperasi. Kondisi tersebut disebabkan kurangnya suplai listrik dari PLN.
”Sudah dua tahun begini. Kadang-kadang sanggup, (pabrik) dipaksakan hidup. Kadang-kadang kami berproduksi dalam sebulan hanya satu atau dua kali,” kata Yofrianto, Kamis (27/7/2023).
Kondisi pabrik yang jarang berproduksi itu membuat membuat nelayan di sekitar Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan kesulitan mendapatkan es. Padahal, keberadaan pabrik yang dikelola Dinas Kelautan dan PerikananSumbar itu sangat dibutuhkan nelayan karena bisa menghasilkan 15 ton es dalam sekali produksi.
Yofrianto menjelaskan, kendala suplai listrik itu sudah pernah disuarakan ke pemangku kebijakan. DKP Sumbar pernah meminta tambahan gardu dan mesin khusus untuk pabrik es itu. Gubernur Sumbar pun pernah menyurati pihak PLN 4-5 tahun lalu.
”Tibalah mesin itu dan beroperasi. Namun, mesin tambahan itu digunakan untuk menambah jaringan listrik untuk keperluan lain, bukan untuk pabrik es. Itu kendala kami. Kami sudah sampaikan ke pemerintah pusat,” kata Yofrianto.
Menurut Yofrianto, tidak kontinunya suplai listrik membuat pabrik es jarang beroperasi. Ketika beroperasi pun, proses produksi tidak efisien. ”Kalau suplai listrik normal, 18-24 jam sudah selesai sekali produksi. Kalau tidak normal, bisa 38-48 jam sekali produksi,” ujarnya.
Yofrianto berharap, pabrik es itu mendapat suplai listrik dari PLN secara normal. Alternatif lainnya, diharapkan ada bantuan pembangkit listrik tenaga surya bagi pabrik es. ”Dulu pernah diukur oleh pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tetapi belum ada realisasinya,” ujarnya.
Gunakan es bungkus
Jertianus Madogaho (47), nelayan sekaligus penampung gurita di Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, mengaku kesulitan mendapatkan es balok sejak pabrik di Sikakap itu jarang beroperasi. Ia pun terpaksa memakai es bungkus yang dibuat dengan freezer untuk menyimpan gurita.
”Kalau tidak ada es bungkus ukuran 1 kilogram itu, mungkin nelayan tidak bisa lagi menangkap dan menyimpan gurita. Kesulitan ini salah satu kendala nelayan,” kata Jerti ketika dijumpai di Desa Sinaka, Kamis (15/6/2023).
Masalahnya, Jerti menyebut, nelayan mesti mengeluarkan biaya lebih besar jika menggunakan es bungkus. Setiap pekan, Jerti butuh 150 kg es untuk menyimpan gurita. Kebutuhan itu bisa dipenuhi dengan tiga es balok ukuran 50 kg produksi pabrik atau 150 es bungkus ukuran 1 kg.
Harga es balok dari pabrik es di Sikakap adalah Rp 25.000 per balok, sedangkan harga es bungkus adalah Rp 1.000-Rp 2.000 per bungkus. Oleh karena itu, jika menggunakan es balok, Jerti hanya perlu mengeluarkan Rp 75.000. Sementara itu, jika memakai es bungkus, dia mesti membayar minimal Rp 150.000.
”Kadang-kadang kami juga beli es balok yang dibawa kapal ikan dari Padang. Harganya Rp 60.000 per balok,” ujar Jerti.
Muhammad Idris Maulana Salam (35), penampung gurita dan hasil perikanan lainnya di Desa Sinaka, menuturkan, es bungkus juga lebih cepat habis dibandingkan es balok. Akibatnya, jika es habis, ia terpaksa harus segera menjual hasil tampungannya ke Sikakap meskipun belum mencapai target. Biasanya, hasil tampungan dijual ke Sikakap sekali sepekan.
”Es bungkus kadang 3-4 hari sudah cair. Jika es habis, kami mau tidak mau harus ke Sikakap meskipun hasil tampungan masih sedikit. Biaya bensin ke Sikakap pergi-pulang Rp 1,5 juta. Itu yang membuat kami keluar biaya lebih besar,” ujar Idris yang juga menjabat Ketua Badan Permusyawaratan Desa Sinaka ini, Sabtu (17/6/2023).
Kadang-kadang kami berproduksi dalam sebulan hanya satu atau dua kali.
Kompas mencoba menghubungi Manajer Komunikasi dan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan PT PLN Unit Induk Wilayah Sumbar Yenti Elfina terkait permasalahan suplai listrik pabrik es ini. Walakin, belum ada jawaban. ”Boleh (dihubungi), nanti ya,” katanya saat dihubungi.
Penjabat Bupati Kepulauan Mentawai Fernando Jongguran Simanjuntak, Selasa (25/7/2023), mengakui, suplai listrik memang masih menjadi kendala. Tidak hanya bagi pabrik es, tetapi juga untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari. ”Kami akan berkoordinasi lagi dengan PLN terkait penyediaan listrik ini,” katanya.