Kala Dua Kepala Daerah di Sultra Terjerat Suap Dana PEN
Pinjaman dana PEN merupakan hal yang dibenarkan dalam aturan. Akan tetapi, dalam perjalanannya, dana ini lebih banyak menjadi bancakan bagi daerah untuk mendapat manfaat tertentu dan lekat dengan tindak koruptif.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·6 menit baca
Dalam rentang setahun, dua kepala daerah di Sulawesi Tenggara terjerat kasus suap dana Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN. Teranyar, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Bupati Muna La Ode Rusman Emba jadi tersangka setelah mantan Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur, terpidana sejak tahun lalu. Kasus suap ini masih berlanjut dan terus diselidiki.
Bupati Muna La Ode M Rusman Emba ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dana PEN oleh KPK sejak pekan lalu. Selain Rusman, KPK juga menetapkan kontraktor swasta La Ode Gomberto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Muna Laode M Syukur Akbar, dan bekas Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Mochammad Ardian Noervianto sebagai tersangka.
Pada Senin (17/7/2023), Rusman menjalani pemeriksaan sebagai saksi di Kepolisian Daerah Sultra dan belum ditahan. Rusman diperiksa bersama 14 orang lainnya. Sebagian besar adalah pegawai di lingkup Pemerintah Kabupaten Muna, mulai dari Sekretaris Daerah Muna Eddy, Kepala Bappeda Muna La Mahi, Plt Kadis PUPR Muna M Aswan Kuasa, hingga Kabid Anggaran BKAD Muna La Ode Abdul Salam. Tidak ketinggalan juga, sejumlah pihak dari Kemendagri hingga pihak swasta turut diperiksa.
”Hari ini beliau (Rusman Emba) diperiksa di Polda Sultra sebagai saksi dalam kasus suap dana PEN Muna,” kata Juru Bicara KPK Ali Fikri, dihubungi dari Kendari, Senin (17/7/2023). Sehari setelahnya, KPK melanjutkan pemeriksaan untuk saksi lain.
Pemeriksaan ini, tutur Ali, adalah kelanjutan penyidikan kasus korupsi dana PEN di Muna setelah proses pentersangkaan sebelumnya. Meski begitu, ia belum menjelaskan detail dan peran para tersangka, termasuk proses penahanan.
Rusman Emba di sela-sela pemeriksaan di Polda Sultra mengatakan menghargai proses penyidikan yang tengah berlangsung. Ia meyakini KPK akan mengambil keputusan yang profesional dalam kasus ini. Ia juga meyakini tidak bersalah meski telah ditetapkan sebagai tersangka.
”Saya dituduh melakukan suap-menyuap terhadap Saudara Ardian. Saya tidak pernah bertemu dengan beliau dan tidak pernah memerintahkan apa yang dituduhkan. Tentunya nanti akan ada proses pembuktian,” ucapnya.
Rusman mengakui mengajukan dana PEN pada 2021 ke pemerintah pusat. Total nilai yang diajukan dan disetujui sebesar Rp 233 miliar. Sebanyak Rp 210 miliar telah cair dan digunakan pada 2022.
Anggaran tersebut dialokasikan untuk berbagai kegiatan, mulai dari pembangunan jalan, aliran air bersih, lapangan bola, hingga pabrik jagung.
”Penyidikan KPK, ada pemberian suap terhadap Saudara Ardian dalam pengajuan dana PEN tersebut. Saya tidak pernah tahu dan tidak pernah memerintahkan terkait apa yang dituduhkan tersebut,” katanya.
Bancakan
Kasus dana PEN memang bukan kali ini saja terjadi di Sultra. Pada 2022, KPK menetapkan sejumlah orang menjadi tersangka, mulai dari mantan Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur, Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM Muna Sukarman Loke, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Muna Laode M Syukur Akbar, bekas Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Mochammad Ardian Noervianto, hingga seorang pihak swasta, yakni La Ode Rusdianto Emba. Rusdianto adalah adik dari Rusman Emba.
Dalam persidangan terhadap Andi Merya pada September 2022, Andi Merya bersama Rusdianto diduga memberikan uang Rp 3,4 miliar kepada Ardian Noervianto, Sukarman Loke, dan La Ode M Syukur Akbar. Rinciannya, Andi Merya memberikan uang kepada Ardian Rp 1,5 miliar, kepada Sukarman Rp 1,7 miliar, dan La Ode Rp 175 juta.
Pemberian uang ini dilakukan terkait permintaan Pemkab Kolaka Timur untuk mendapatkan dana PEN daerah sebesar Rp 151 miliar. Sekitar Maret 2021, Andi Merya menyampaikan keinginan untuk mendapatkan dana tambahan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Kolaka Timur kepada Rusdianto.
Rusdianto pun menyampaikan keinginan Andi Merya tersebut kepada Sukarman yang memiliki jaringan di pemerintahan pusat. Selanjutnya, Sukarman menyampaikan informasi tersebut kepada Laode yang juga sedang mengurus pengajuan pinjaman PEN Kabupaten Muna.
Syarat untuk mendapatkan dana PEN harus ada surat pertimbangan atas usulan pinjaman PEN pemerintah daerah dari Menteri Dalam Negeri yang didahului oleh surat dari Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah. Adapun Laode merupakan teman satu angkatan Ardian di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).
Setelah Ardian, Sukarman, dan Laode menerima uang dari Andi Merya, baru kemudian Ardian menerbitkan dan menandatangani surat yang ditujukan kepada Mendagri sekretaris jenderal perihal pertimbangan atas usulan pinjaman PEN Pemkab Kolaka Timur tahun anggaran 2021.
”Yang pada pokoknya menyatakan bahwa pemerintah daerah Kolaka Timur dipertimbangkan dapat menerima pinjaman paling besar Rp 151 miliar yang sudah diajukan terdakwa sejak tanggal 14 Juni 2021,” kata jaksa penuntut umum KPK, Andhi Ginanjar (Kompas, Jumat, 16/9/2022).
Pinjaman dana PEN daerah merupakan dukungan pembiayaan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemda untuk percepatan pemulihan ekonomi di daerah yang terimbas pandemi. Pinjaman ini bagian dari program PEN. Dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan, pada 2021, alokasi dana pinjaman PEN daerah yang bersumber dari APBN sebesar Rp 10 triliun dan yang bersumber dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebesar Rp 5 triliun.
Berdasarkan Pasal 10 Ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah, Mendagri memberikan pertimbangan atas permohonan pinjaman PEN daerah yang diajukan pemda dan menyampaikannya kepada Menteri Keuangan, dalam hal ini Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, sebelum memperoleh persetujuan.
Kisran Makati dari Pusat Kajian dan Advokasi HAM Sultra menerangkan, dana PEN yang merupakan pinjaman dibenarkan dalam aturan. Akan tetapi, dalam perjalanannya, dana ini lebih banyak menjadi bancakan bagi daerah untuk mendapat manfaat tertentu dan lekat dengan tindak korupsi.
KPK diharapkan betul-betul menelusuri kasus dana PEN ini, tidak hanya di Kolaka Timur dan Muna. Sebab, sebagian besar daerah di Sultra juga mengajukan pinjaman dengan angka yang variatif. Modus untuk mendapatkan keuntungan dari dana PEN yang terjadi di dua daerah tersebut bisa saja sama dengan daerah lain di Sultra.
Anggaran senilai ratusan hingga triliunan rupiah turun ke daerah dalam bentuk pinjaman. Beberapa dalam sekali tahap, ada juga yang bertahap. Nilai tersebut lalu dialokasikan dalam berbagai program yang belum tentu dibutuhkan daerah.
”Padahal, seperti yang sudah jadi rahasia umum baik di Sultra maupun daerah lain, proyek itu dekat dengan tindak koruptif. Jadi, andaikan saja ada Rp 100 miliar dana PEN, dengan fee proyek yang jadi rahasia umum, kepala daerah bisa mendapatkan belasan hingga puluhan miliar,” kata Kisran, Kamis (20/7/2023),
Contoh terakhir adalah kasus yang menjerat mantan Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur. Seorang kepala daerah mengeluarkan miliaran rupiah agar dana PEN daerahnya bisa disetujui Kemendagri.
”Untuk apa keluarkan uang miliaran kalau di situ tidak ada unsur manfaatnya untuk pribadi. Kan, begitu logika berpikirnya,” tambahnya.
Oleh sebab itu, ia berharap KPK betul-betul menelusuri kasus dana PEN ini, tidak hanya di Kolaka Timur dan Muna. Sebab, sebagian besar daerah di Sultra juga mengajukan pinjaman dengan angka yang variatif. Modus untuk mendapatkan keuntungan dari dana PEN yang terjadi di dua daerah tersebut bisa saja sama dengan daerah lain di Sultra.