Letupan dalam Secobek Gami dan Kisah yang Mengiringinya
Gami yang semula menjadi santapan warga di pesisir Bontang bermetamorfosis seiring dengan banyaknya peminat dari luar daerah. Seporsi sambal gami kini bisa dimaknai sebagai perjumpaan hangat orang dengan beragam latar.
Seorang juru masak memanaskan sejumlah cobek dari tanah liat di atas kompor yang menyala. Beberapa saat kemudian, minyak dituangkan di atas cobek yang mulai panas. Setelah itu, berturut-turut sang juru masak memasukkan berbagai bahan, yakni irisan cabai rawit dan cabai keriting, tomat, terasi, garam, gula pasir, bawang merah, dan vetsin.
Setelah diaduk rata dan bahan di atas cobek sedikit layu, protein nabati ditambahkan ke setiap cobek sesuai pesanan. Ada yang ditambahkan udang, telur, ayam, dan ikan laut. Setelah semua masak, saat sambal meletup-letup melumuri lauk, sang juru masak mengangkat cobek beserta isinya dan membawa ke meja makan.
Itulah sambal gami khas Bontang, Kalimantan Timur, yang saat ini jamak dijumpai di rumah makan. Bak sajian hot plate ala resto, sambal gami dihidangkan bersama cobek panas yang menguarkan aroma sambal bercampur lauk dengan asap yang membubung. Tampilannya yang unik itu menambah pengalaman kami siang itu, berkelindan dengan keinginan untuk segera menikmati sajian itu dengan nasi hangat.
Saat disantap, ada kompleksitas rasa yang berbaur: sedikit asam dari tomat, pedas yang pas dan menggigit lidah, serta umami dari perpaduan gula, garam, vetsin, dan terasi. Rasa ikan bawis (Siganus canaliculatus) yang berbalur gami di Rumah Makan Anjungan Indah menjadi santapan yang tak bisa dilewatkan begitu saja di Kota Bontang, Jumat (9/6/2023) siang.
Rusdiana, pemilik Rumah Makan Anjungan Indah yang telah menjual gami sejak 1996, mengatakan, sambal gami adalah salah satu hidangan yang hampir selalu ada di rumah-rumah warga di Kota Bontang, terutama di daerah pesisir, pemukiman nelayan. Dengan kondisi tersebut, sambal gami kerap dinikmati bersama lauk dari hasil laut, seperti udang, cumi, ikan laut, dan telur ikan.
Beberapa nelayan bahkan membawanya sebagai bekal saat melaut. Sambal itu kerap dinikmati dengan hasiil tangkapan ikan si nelayan. Saat tak habis dikonsumsi dalam sehari, gami masih bisa disimpan di suhu ruangan sekitar seminggu untuk dikonsumsi di lain hari.
”Keluarga kami yang berasal dari Bontang Kuala, memasaknya harus pakai terasi Bontang Kuala,” kata Rusdiana antusias.
Baca juga: Masjid Tua Al-Wahhab, Cawan Akulturasi Kota Bontang
Bontang Kuala yang Rusdiana maksud adalah sebuah perkampungan tua di pesisir Bontang, sebagian besar penduduk merupakan nelayan tradisional. Salah satu produk khas yang dihasilkan warga di sana adalah terasi udang rebon. Terasi itu bentuknya bulat dengan diameter sekitar 5 sentimeter.
Ia menduga gami dan terasi tersebut merupakan produk budaya dari pertemuan banyak warga di masa silam. Bontang Kuala dihuni oleh orang-orang dengan leluhur keturunan Bajau dan Bugis. Bahasa yang digunakan di perkampungan tua itu pun bahasa campuran dari kedua suku itu.
Uniknya, tradisi yang kerap dilakukan dalam pernikahan, ucapan syukur, atau yang lain, seperti percampuran antara tradisi masyarakat Banjar, Bugis, dan Kutai. Dengan sejarah panjang hidup berdampingan dengan berbagai latar belakang itu, warga Bontang bisa dikatakan lentur dengan hal baru.
Gami menjadi salah satu contoh nyata. Ismail (31), warga Kelurahan Berbas Pantai, Bontang Selatan, mengatakan, sambal gami juga dinikmati oleh keluarganya yang keturunan Bugis. Di masa kecil, ia mengenang, gami disajikan hampir setiap hari maupun di hari-hari besar saat keluarga berkumpul.
”Lauknya apa saja. Karena kami di daerah pesisir, lauknya hasil laut, seperti udang, ikan, cumi, atau telur ikan,” kata Ismail.
Baca juga: Butet Kartaredjasa, Muhibah Kebudayaan ke Bontang
Abdul Galib (56), suami Rusdiana, bercerita, saat membuka rumah makan pada 1996, ia menemui banyak konsumen dari berbagai latar belakang, terutama dari luar Pulau Kalimantan. Mereka adalah pekerja dan keluarga pekerja dari dua perusahaan besar yang beroperasi di Bontang mulai tahun 1970-an, yakni PT Pupuk Kaltim dan PT Badak. Relasi antara penjual dan konsumen itu kemudian menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru menu gami.
”Ada yang bilang, ’bisa ndak kalau lauknya ayam?’ Sebab, dia tidak makan seafood. Kenapa tidak? Dari sana (gami) berkembang sesuai minat konsumen. Ada yang senang telur ayam, ikan mas, dan lain-lain. Jadi, gami ini bisa dipadukan dengan lauk apa saja,” kata Galib.
Hal serupa juga terjadi dalam hidangan passero yang bahan utamanya mirip dengan sambal gami. Bedanya, passero lebih kental dan rasanya pedas manis. Di restoran milik Galib dan istri, passero disajikan lebih modern dengan hot plate. Di situ tersedia pula passero baronang.
Bawis
Pesisir Bontang adalah perairan dangkal. Di Kampung Malahing, berjarak sekitar 3 kilometer dari pesisir Bontang, padang lamun dan karang bisa terlihat dari atas perahu. Dari atas jembatan kayu bisa dilihat bintang laut, kuda laut, dan sejumlah ikan yang melintas dengan tenang lantaran perairannya dangkal dan jernih.
Khusus di padang lamun, terlihat sejumlah ikan bawis berkumpul di antara helai-helai tanaman lamun, memakan sesuatu yang menempel di sana. Pada waktu tertentu, ikan bawis banyak dijumpai dan ditangkap oleh nelayan di sekitar padang lamun menggunakan belat, alat tangkap tradisional berbahan kayu dan jaring.
”Kalau sedang musimnya, bawis banyak dicari untuk gami,” kata Ketua RT 30 Kampung Malahing, Nasir.
Ikan bawis ini panjangnya berkisar 18 sentimeter dengan berat sekitar 100 gram. Saat disajikan dengan gami, tekstur bawis amat lembut dengan sedikit duri. Beberapa orang yang ditemui merekomendasikan gami bawis untuk disantap saat berkunjung ke Bontang.
Hidangan secobek gami tak sekadar santapan. Berbagai paduan lauk, perkembangan gami, dan cerita lain yang menyertainya bisa bermakna luas. Itu bisa menjadi pijakan untuk melihat Kota Bontang yang kini menjadi tempat hidup dan tempat yang dihidupi oleh orang dari berbagai latar belakang suku, agama, budaya, dan ras. (Abdul Galib)
Ketua Lembaga Adat Bontang Kuala Yusran Thaiyib menuturkan, gami sejatinya bukanlah makanan istimewa atau diutamakan di Bontang. Namun, rasanya yang nikmat di lidah orang-orang luar Bontang membuat gami kini semakin populer. Bahkan, gami saat ini dapat ditemukan di rumah makan di sejumlah daerah di Pulau Jawa.
Baca juga: Nasir Lakada, Satu-Dua Pondok Jadilah Kampung Malahing
Kendati lauk yang disajikan dengan gami sudah berkembang, menurut Yusran, ikan bawislah yang paling cocok dihidangkan dengan gami. ”Itulah kekhasan Bontang. Sebab, di sejumlah daerah lain sulit menemukan ikan bawis. Di Jawa dan Sulawesi juga tidak ada. Tapi di sekitar Semporna (Malaysia) ada ikan bawis. Di sana perairannya seperti Bontang,” kata Yusran.
Selain gami bawis, kata Yusran, makanan favorit dari Bontang Kuala ialah sagal dengan bahan baku ikan pari pilihan, seperti pari bakau dan daun. Potongan-potongan ikan pari disajikan dengan kuah berbumbu. Namun, sagal kalah populer dibandingkan gami yang mudah ditemukan di berbagai rumah makan.
Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Kota Bontang Ahmad Aznem mengatakan, pemerintah sedang menyiapkan penataan Bontang Kuala dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bontang. Kuliner seperti gami bawis pun menjadi salah satu daya tarik Bontang yang hendak diangkat.
Saat ini, Pemkot Bontang juga sedang mengajukan sambal gami bontang sebagai Pengetahuan Tradisional dalam Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Saat ini masih berproses. Selain itu, ikan bawis juga diajukan sebagai Potensi Indikasi Geografis dalam KIK.
Baca juga: Masjid Tua Bontang dan Ingatan mengenai Pertemuan Banyak Budaya
Di luar upaya itu, menikmati gami sambil berbincang dengan orang-orang yang hidup di sekitarnya menjadi lebih kompleks. Setelah mengobrol dengan Galib dan istrinya—juga menyantap berbagai hidangan gami—ternyata gami bisa dinikmati dengan berbagai macam lauk. Tentu saja rasanya amat memanjakan lidah dan memuaskan.
Bagi Anda yang tidak cocok dengan makanan laut, Anda tak perlu khawatir. Anda bisa menjumpai dengan mudah aneka menu gami yang dipadukan dengan ayam, ikan air tawar, atau telur ayam di rumah makan sekitar Bontang.
Hidangan secobek gami itu, bagi Galib, tak sekadar santapan. Berbagai paduan lauk, perkembangan gami, dan cerita lain yang menyertainya bisa bermakna luas. Itu, katanya, bisa menjadi pijakan untuk melihat Kota Bontang yang kini menjadi tempat hidup dan tempat yang dihidupi oleh orang dari berbagai latar belakang suku, agama, budaya, dan ras.
”(Gami) Simbol perdamaian itu,” kata Galib.