BUMDes Wisata Bangun Ekonomi Desa di Kepulauan Banyak
Saat ini, dari 6.496 desa baru, ada 461 BUMDes yang masuk kategori berkembang. Sisanya masih rintisan dan tumbuh. Padahal, semakin banyak BUMDes, semakin banyak pula penyerapan tenaga kerja.
Desa-desa di Kepulauan Banyak, Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, dianugerahi keindahan laut kelas wahid. Melalui badan usaha milik desa atau BUMDes, potensi wisata dikelola untuk kemandirian ekonomi warga. Suasana di Pulau Panjang, Desa Pulau Baguk, Aceh Singkil, Selasa (4/7/2023) sore, terasa tenang. Beberapa anak-anak sedang bermain di pasir di pantai yang bersih.
Adi Suhardi (47), wisatawan asal Kota Medan, Sumatera Utara, duduk santai di bawah pohon kelapa sambil mengawasi anak-anaknya bermain. ”Di sini terasa tenang, sangat cocok jadi lokasi wisata keluarga,” kata Adi.
Pulau Panjang bagian dari gugusan 63 pulau di Kepulauan Banyak, Aceh Singkil. Secara administrasi, Pulau Panjang berada dalam wilayah Desa Pulau Baguk. Pulau Panjang tidak dihuni penduduk, tetapi hanya diperuntukkan sebagai obyek wisata.
Dengan menumpang kapal kayu, dari dermaga Pulau Baguk butuh waktu 10 menit untuk tiba ke Pulau Panjang.
Baca juga : Wisata Konservasi Jadi Andalan Aceh Singkil
Ini kali pertama Adi bersama keluarga berwisata ke Kepulauan Banyak. Dia rela menempuh perjalanan darat tujuh jam ditambah pelayaran tiga jam untuk bisa berlibur ke Kepulauan Banyak. ”Ombak di Pulau Panjang kecil dan pantainya landai, aman untuk anak-anak bermain di pantai,” kata Adi.
Dulu, Pulau Panjang hanya jadi perkebunan kelapa. Namun, sejak tahun 2017, pulau itu dibenahi untuk menjadi lokasi wisata. Pemerintah Desa Pulau Baguk menunjuk BUMDes Karya di desa itu untuk mengelolanya. Alhasil, pulau yang dulu sepi kini menjadi ramai.
Kepala Desa Pulau Baguk, Hardi, menuturkan, Kepulauan Banyak telah lama dikenal sebagai lokasi wisata. Beberapa pulau di sana, seperti Pulau Palambak, Rangit, Ujung Lolok, dan Bangkaru, selalu menjadi tujuan wisatawan, baik Nusantara maupun mancanegara. Sementara di Pulau Panjang nyaris tidak ada pengunjung.
”Padahal, Pulau Panjang ini punya potensi wisata yang tidak kalah dengan pulau-pulau lain. Di sini pengunjung bisa melihat matahari terbit dan tenggelam,” kata Hardi.
Hardi memiliki rencana untuk mengubah Pulau Panjang dari perkebunan kelapa menjadi lokasi wisata. Usulannya diamini oleh perangkat desa. Dengan menggunakan dana desa, lahan milik warga dibebaskan. Dari 100 hektar luas pulau, baru 3 hektar yang mampu dibebaskan.
Baca juga : Melihat Aceh dari Singkil
Pada 2018 dan 2019, BUMDes Karya Mandiri mendapatkan dana hibah dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sebesar Rp 2,5 miliar. Hibah tersebut diberikan sebagai dukungan kementerian untuk BUMDes. Anggaran itu digunakan untuk pembangunan bungalo, ruang pertemuan, kantin, spot foto, dan jalan setapak.
Pada tahun yang sama, Baitul Mall Provinsi Aceh menyalurkan zakat Rp 100 juta kepada sejumlah warga miskin di Desa Pulau Baguk. Zakat tersebut dijadikan penyertaan modal pemilik zakat dalam usaha wisata di Pulau Panjang dengan sistem bagi hasil. Dengan demikian, penerima zakat selamanya mendapatkan penghasilan.
Usaha wisata Pulau Panjang memiliki 10 unit bungalo dengan tarif Rp 400.000 hingga Rp 1 juta per malam. Jumlah pengunjung dalam sebulan mencapai 2.000 orang, tetapi tidak semua menginap di Pulau Panjang. Sebagian wisatawan menginap di wisma atau homestay di Desa Pulau Baguk.
Adapun pendapatan kotor sebulan mencapai Rp 200 juta. Pendapatan itu berasal dari penginapan, sewa ruang pertemuan, kantin, hingga jasa penyeberangan. Sebanyak 23 warga desa menjadi pekerja tetap di lokasi wisata Pulau Panjang.
Hardi menargetkan pada 2023 pendapatan kotor usaha wisata BUMDes Karya Mandiri sebesar Rp 1,5 miliar. Perhitungannya 10 persen atau Rp 150 juta akan menjadi laba bersih BUMDes.
Baca juga : Desa Wisata Jadi Tonggak Kebangkitan Ekonomi Indonesia
Pengelolaan wisata di Pulau Panjang membuat warga Pulau Baguk mendapatkan penghasilan dari sektor wisata dan perikanan. Dengan kata lain, kini wisata ikut menjadi sandaran ekonomi desa.
Sukri (45), pelaku usaha penginapan di desa itu, menuturkan, tahun 1990-an wisatawan mayoritas warga asing, tetapi kini lebih banyak wisatawan Nusantara. Dari usaha penginapan dia memperoleh pendapatan Rp 5 juta. Namun, jika sedang ada kegiatan wisata, pendapatannya lebih besar.
Usaha wisata BUMDes juga menjadi salah satu prioritas di Desa Haloban, Kecamatan Kepulauan Banyak Barat. Dua pulau mini Nago dan Rago-rago dikelola oleh BUMDes Haloban Bangkit sebagai destinasi wisata baru di sana. Mereka menamai obyek wisata tersebut Nago Resort.
Pulau Nago dan Rago-rago sejatinya tersambung gundukan pasir, tetapi saat air pasang kedua pulau itu terpisah. Sebuah jembatan kayu menjadi lokasi berfoto dengan latar samudra.
Baca juga : Menapak Tilas Kisah Cinta Zainuddin dan Hayati di Keindahan Nagari Sumpur
Tokoh pemuda dan mantan Direktur BUMDes Haloban Bangkit, Herlinsyah Putra, mengatakan, sejak 2020 BUMDes mulai mengelola pulau kecil itu sebagai obyek wisata. Saat musim liburan, sebulan jumlah kunjungan mencapai 200 orang.
”Saat ini sedang dalam proses pembangunan penginapan,” kata Herlinsyah.
Herlinsyah menuturkan, pendapatan dari pengelolaan obyek Nago Resort hanya cukup untuk operasional, tetapi dia optimistis untuk jangka panjang menjadi sumber ekonomi baru desa.
Dampak baik sektor wisata langsung dirasakan oleh warga. Wisma,homestay, penjual makanan, hingga jasa kapal ke pulau-pulau semua dikelola oleh warga. (Marthunis)
Penjabat Bupati Aceh Singkil Marthunis mengatakan, wisata bahari dan konservasi menjadi andalan komoditas wisata Aceh Singkil. Keindahan laut Kepulauan Banyak menjadi salah satu komoditas wisata Aceh Singkil. Untuk menarik wisatawan, setiap tahun pemkab mengadakan kegiatan wisata di sana.
Sejak 2017 hingga 2022, jumlah kunjungan ke Aceh Singkil meningkat. Pada 2017, jumlah wisatawan Nusantara 42.000 orang, melonjak menjadi 126.000 orang pada 2022.
Marthunis mengatakan, wisata menjadi sektor unggulan untuk meningkatkan ekonomi warga. Semakin banyak pengunjung semakin besar pula potensi perputaran uang di lingkungan warga.
”Dampak baik sektor wisata langsung dirasakan warga. Wisma,homestay, penjual makanan, hingga jasa kapal ke pulau-pulau semua dikelola oleh warga,” kata Marthunis.
Marthunis mendorong pemerintahan desa untuk mengambil peluang ekonomi dari sektor wisata dengan pengelolaan lokasi, kuliner, hingga kerajinan. Beberapa desa mulai serius mengelola wisata sebagai usaha milik desa.
Namun, pengembangan wisata Aceh Singkil terkendala akses. Akses ke sana hanya dapat ditempuh melalui jalur darat. Dari Banda Aceh, ibu kota provinsi harus ditempuh melalui jalan darat 14 jam perjalanan, sedangkan dari Medan dapat ditempuh tujuh jam. belum ada layanan penerbangan ke Aceh Singkil.
”Kami telah mengusulkan kepada Kementerian Perhubungan agar membantu pembenahan bandara supaya ada penerbangan,” kata Marthunis.
Baca juga : Warganet Indonesia Cenderung Menyukai Wisata ”Healing”
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong (DPMG) Aceh Zulkifli menuturkan, desa-desa harus kreatif memanfaatkan potensi yang ada untuk memperkuat ekonomi. Dana desa dapat dijadikan modal bagi BUMDes untuk mengelola usahanya.
”Setiap desa pasti punya potensi atau sektor unggulan, seperti wisata alam, pertanian, ataupun industri. Jika potensi ini dikelola dengan baik, angka kemiskinan di pedesaan akan turun,” kata Zulkifli.
Saat ini, dari 6.496 desa baru ada 461 BUMDes yang masuk kategori berkembang. Sisanya masih rintisan dan tumbuh. Padahal, semakin banyak BUMDes semakin banyak pula penyerapan tenaga kerja.
BUMDes Desa Pulau Baguk dan Haloban, Kabupaten Aceh Singkil, mulai bergerak memanfaatkan potensi wisata sebagai sumber baru ekonomi desa.
Baca juga : Kembali ke Desa Wisata