Konsep desa wisata berkelanjutan atau desa wisata hijau belakangan marak diperbincangkan pemerintah dan organisasi global. Konsep ini disebut-sebut bisa membantu pemulihan ekonomi dimulai dari tingkat desa.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
Pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 berdampak besar terhadap pengurangan pergerakan wisatawan. Padahal, inti dari industri pariwisata adalah pergerakan turis.
Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menunjukkan, pada tahun 2020, kunjungan wisatawan mancanegara turun 75,03 persen menjadi 4,05 juta orang, sedangkan wisatawan Nusantara turun 61 persen atau berkisar 120 juta-140 juta orang. Hal ini diperkirakan menyebabkan hilangnya devisa wisatawan mancanegara sebesar 15 miliar dollar AS dan perputaran uang dari dari wisatawan Nusantara sekitar Rp 115 triliun.
Meski ada kecemasan terhadap kesehatan, situasi pandemi yang belum jelas kapan berakhir memunculkan pilihan tetap berwisata pada lingkup wilayah yang lebih kecil. Dengan begitu, perputaran ekonomi tetap ada. Pemerintah Indonesia dan kalangan internasional, seperti Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO), secara gamblang menyebutnya sebagai desa wisata.
Desa wisata dipandang berpotensi menjadi destinasi pariwisata alternatif dengan penawaran aktivitas di alam disertai pembelajaran budaya dan kearifan masyarakat lokal. UNWTO bahkan tidak ragu meluncurkan inisiatif Best Tourism Villages — semacam penganugerahan desa wisata —lengkap dengan narasi promosi pariwisata, pelestarian warisan budaya, dan pembangunan berkelanjutan.
Sebenarnya, gagasan yang diusung itu bukanlah hal yang benar-benar baru. Tahun 2000-an konsep desa wisata sudah mulai marak. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri pengembangan Desa Wisata. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi pernah membuat Lomba Desa Wisata Nusantara pada tahun 2019. Ajang Indonesia Sustainable Tourism Award juga memberikan penghargaan pada komunitas pariwisata berkelanjutan yang ada di desa.
Dana triliunan rupiah digelontorkan, di antaranya mewujud sebagai dana desa. Desa wisata baru marak bermunculan. Mengutip buku Pedoman Desa Wisata yang disusun delapan kementerian/lembaga (September 2019) terdapat lebih dari 7.000 desa wisata di 34 provinsi.
Apakah semua desa wisata benar-benar tetap berdiri kokoh selama pandemi Covid-19 masih berjalan? Tentu saja tidak. Sebanyak 97 desa wisata yang menjadi responden penelitian Desa Wisata Institut pada tahun 2020, seperti dikutip dari laman masterplandesa.com, menyatakan kerugian ekonomi beragam, mulai kurang dari Rp 25 juta (48 desa), Rp 25 juta-Rp 100 juta (34 desa), dan lebih dari Rp 100 juta (15 desa). Sejumlah 3.539 warga yang bekerja dan beraktivitas di desa wisata tersebut kehilangan pekerjaan.
Warmadewa Research Center di Bali mencontohkan kisah Nusa Penida yang menggantungkan hidup pada pariwisata sejak popularitas Festival Nusa Penida tahun 2014. Rompok-rompok sebagai ruang agraris masyarakat desa pesisir di sana kebanyakan sudah beralih menjadi bungalo dan restoran yang disebut masyarakat desa sebagai bukti kemajuan. Kini, akibat pandemi Covid-19, momen kemajuan (pariwisata) tinggal sunyi. Kemuraman diperberat oleh utang cicilan di bank ataupun lembaga perkreditan desa yang tidak dapat ditunda.
Modernitas dan ekonomi pasar harus diakui sering kali memandang desa sebagai komoditas. Aktivis Perkumpulan Hiduplah Indonesia Raya (Hidora), Bachtiar Djanan Machmoed, dalam artikel ”Wisata Desa Bukan Desa Wisata” di buku Meniti Arus Lokal-Global:Jejaring Budaya Kampung (Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia, 2018), mengatakan, untuk menjadi ”obyek” wisata, tidak jarang desa menciptakan sesuatu yang bukan berasal dari budaya asli yang ada.
Desa pun menyesuaikan tren dan kebutuhan wisatawan. Konsep yang ditawarkan Bachtiar adalah mengemas potensi wisata dan budaya yang sudah ada di desa serta memberdayakan masyarakatnya. Wisatawanlah yang perlu digiring untuk belajar memahami, menghargai, dan tertular nilai yang diyakini masyarakat desa.
Senior Advisor Project Innovation and Investment for Inclusive Sustainable Economic Development (ISED) yang dijalankan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) dan Bappenas, Dian Vitriani, pernah menyampaikan, masih ada kecenderungan gagasan kebijakan pengembangan desa wisata semata-mata berbasis proyek demi memenuhi target kuantitas. Hal ini jelas menyalahi inti konsep pembangunan berkelanjutan yang didengungkan, baik dari sisi keberlanjutan ekologis, sosial ekonomi, hingga institusi desa.
Sumber daya masyarakat desa, menurut Fitri Ningrum selaku pendiri Culture, Art, Community Development, and Ecotourism Center, memegang peran sangat strategis. Sebelum pandemi Covid-19 sudah bertebaran konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan. Namun, malah terdapat pengelola desa wisata yang sekadar membuat produk atraksi ataupun manajemen akomodasi pariwisata sebatas mengikuti desa wisata lain.
Sejumlah aparat pemerintah desa juga cenderung berorientasi pada pembangunan infrastruktur fisik, bukan kualitas manusia, dan sering kali mengabaikan partisipasi warga dalam pengambilan ataupun pengawasan kebijakan di desa.
Istirahat
Pandemi Covid-19 semestinya dijadikan momentum bagi desa wisata untuk berupaya ”mengistirahatkan” destinasi. Makna ”istirahat” bisa berarti mempergunakan waktu selama masa pandemi untuk melakukan perbaikan fasilitas, peningkatan kapasitas, dan keterampilan sumber daya manusia desa demi bersiap menghadapi tren perilaku baru berwisata normal baru pandemi Covid-19.
Makna ”istirahat” juga bisa berarti mengerem laju pariwisata yang kerap kali kebablasan sambil menyiapkan setor ekonomi lainnya sebagai penyeimbang. Situasi pandemi Covid-19 diharapkan oleh sejumlah akademisi menjadi waktu yang pas untuk merenungkan kembali kebijakan serta eksekusi yang pas terkait dengan tata ruang dan pengelolaan pesisir secara komprehensif sehingga masyarakat desa mampu bertahan.
Pariwisata sejatinya salah satu sektor ekonomi produktif yang mengandung potensi menciptakan dampak secara luas, baik secara ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan, serta terdistribusi sampai ke pelosok masyarakat desa. Konsep pembangunan berkelanjutan untuk desa wisata ataupun kini disebut desa wisata hijau bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial di masyarakat desa secara berkelanjutan.
Dengan tidak merusak lingkungan dan eksploitasi sumber daya yang sudah terbatas, tujuan itu akan tercapai. Kesejatian ”pariwisata” terwujud.