Menapak Tilas Kisah Cinta Zainuddin dan Hayati di Keindahan Nagari Sumpur
Keindahan Nagari Sumpur di Sumbar sudah tersiar ke penjuru negeri sejak 1938 lewat novel ”Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” oleh Buya Hamka. Kini, Sumpur bersolek jadi desa wisata berbasis kebudayaan dan keindahan alam.
Oleh
NIKSON SINAGA
·6 menit baca
Keindahan Kampung Batipuh di Sumatera Barat sudah tersiar ke penjuru negeri sejak 1938 lewat novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang ditulis Buya Hamka. Padang Panjang ke Sumpur ditimpa cahaya matahari, maka puncak Gunung Marapi dan Singgalang amat indahnya laksana disepuh emas. Begitu Hamka memuji keindahan Tanah Minangkabau itu.
Delapan puluh lima tahun berlalu, keindahan Batipuh hingga Kota Padang Panjang tiada berkurang. Menelusuri perjalanan dari Bandara Internasional Minangkabau, ke Kota Padang Panjang, hingga Batipuh di Kabupaten Tanah Datar, Rabu (21/6/2023), seperti menapak tilas kisah cinta Zainuddin dan Hayati, dua tokoh utama dalam novel sastra klasik itu.
Kini, Nagari (Desa) Sumpur bangkit menjadi desa wisata. Pariwisata Nagari di Sumpur ditopang keindahan alam Danau Singkarak, persawahan, kebudayaan Minangkabau yang masih kuat, cita rasa makanan Minang yang lezat, rumah gadang yang masih kokoh, hingga keseharian masyarakat yang menarik. Desa itu berkembang menjadi desa wisata minat khusus.
Perjalanan menuju Sumpur sangat menarik karena pemandangan yang indah dan diselingi destinasi wisata kuliner. Sumpur bisa ditempuh dengan penerbangan langsung Jakarta-Padang selama 1,5 jam. Dari Bandara Minangkabau dilanjutkan perjalanan darat 75 kilometer ke arah utara lebih-kurang 2,5 jam.
Di sepanjang perjalanan, pengunjung bisa menikmati makanan Minang yang sebenarnya sudah menjadi makanan nasional hampir di seluruh penjuru Nusantara. Namun, menikmati rendang, gulai ikan, atau sate padang di daerah asalnya tentu menjadi pengalaman tersendiri.
Di dekat Bandara Minangkabau, pengunjung dapat menikmati masakan Minang di sejumlah restoran atau rumah makan. Perjalanan menuju Nagari Sumpur pun bisa dilanjutkan setelah perut kenyang.
Setelah satu jam perjalanan dari Bandara Minangkabau, jalanan yang sebelumnya lurus berubah menjadi tanjakan dan tikungan tajam tiada henti. Di kiri dan kanan jalan tampak hamparan sawah bertingkat di lereng bukit dengan pohon pinang dan kelapa di pematangnya. Hamparan Bukit Barisan membiru di kejauhan.
Udara pun terasa sejuk memasuki Kota Padang Panjang yang berada 650-850 meter di atas permukaan laut. Di Padang Panjang, ada sebuah restoran sate yang sudah melegenda, yaitu Sate Mak Syukur. Wangi sate yang dipanggang dengan arang tempurung kelapa itu menggugah selera. Restoran yang bermula dari sate bakul pada 1941 itu seperti persinggahan wajib wisatawan yang sedang melintas di Padang Panjang ke arah Bukit Tinggi ataupun Tanah Datar.
Dari Padang Panjang ada pertigaan yang memisahkan perjalanan ke Bukit Tinggi dan Tanah Datar. Sekitar satu jam perjalanan dari Padang Panjang akan tiba di Nagari Sumpur, Kecamatan Batipuh dan Batipuh Selatan, Tanah Datar. Dalam kisah novel Hamka, Batipuh merupakan kampung yang pertama kali dituju Zainuddin setelah pulang dari Makassar.
Desa Wisata Nagari Sumpur
Tiba di Sumpur, wisatawan disambut hangat oleh warga yang sudah menunggu di tiga buah rumah gadang homestay. Warga menyambut pengunjung seperti keluarga yang baru pulang kampung. ”Homestay Rumah Gadang ini menjadi daya tarik utama berwisata di Nagari Sumpur. Dengan menginap di rumah gadang, kami bisa mengajak wisatawan mengenal kebudayaan Minangkabau dan mengikuti aktivitas masyarakat,” kata Zuherman, Ketua Kelompok Sadar Wisata Pesona Sumpu.
Pembangunan Desa Wisata Nagari Sumpur bermula dari kekhawatiran warga pada jumlah rumah gadang yang terus berkurang karena rusak, tidak dirawat, ditinggal pemilik, atau diganti menjadi bangunan baru. Dari awalnya lebih dari 250 rumah gadang di Sumpur berkurang menjadi sekitar 70 rumah saja. Rumah yang tersisa pun dipertahankan dengan menjadikannya destinasi pariwisata.
Zuherman bersama warga di Nagari Sumpur membuat satu kawasan sebagai destinasi wisata. Di sana terdapat beberapa rumah gadang, termasuk rumah gadang berusia 123 tahun yang menjadi ikon Sumpur. Dua lainnya merupakan rumah gadang yang dibangun ulang setelah lima rumah gadang terbakar pada 2013.
Di halaman rumah gadang beberapa orang perempuan sibuk memasak rendang di belanga besar dengan kayu bakar. Sambil menunggu makanan disajikan, para pengunjung menikmati pertunjukan silek atau silat Minangkabau, tari piring, hingga tari gelombang. Penari dan pemain silat tradisional itu merupakan anak-anak sanggar di Nagari Sumpur.
Wisatawan lalu diajak makan bajamba atau makan barapak. Ini adalah tradisi makan bersama dengan lesehan di ruang utama rumah gadang. Makanan disajikan di dalam satu jamba (nampan) untuk empat orang. Menunya adalah makanan tradisional Minangkabau, seperti rendang dan ikan bilih.
Wisatawan lalu diajak melihat aktivitas ekonomi masyarakat di Danau Singkarak. Di sana para nelayan menangkap ikan secara tradisional, yakni dengan manjaloh di ateh biduak (menebar jala dari atas perahu). ”Butuh kemampuan menyeimbangkan tubuh untuk menebar jala dari atas perahu kecil. Hanya Nagari Sumpur yang masih tetap mempertahankan cara menangkap ikan ini di Danau Singkarak,” kata Zuherman.
Para pengunjung yang ingin berkeliling Danau Singkarak juga diajak naik perahu kayu. Mereka bisa berkeliling di sekitar tepi danau sambil berfoto. Beberapa wisatawan mencoba menangkap ikan bilih yang merupakan ikan endemik Danau Singkarak dan Maninjau itu dengan jala.
Narasi sejarah yang kuat juga menjadi daya tarik desa wisata itu. Dari desa itu berasal sejumlah tokoh nasional yang cukup dikenal, seperti Muhamad Radjab, wartawan dan penulis buku Perang Paderi dan Semasa Kecil di Kampung. Dari kampung itu juga lahir Pahlawan Nasional dan pejuang kemerdekaan, Chatib Sulaiman, dan juga Triawan Munaf, musisi dan pengusaha nasional.
Wali Nagari (Kepala Desa) Sumpur Ade Hendrico mengatakan, pariwisata menjadi salah satu penggerak ekonomi desa mereka dalam beberapa tahun belakangan ini. ”Banyak masyarakat yang terlibat di semua kegiatan pariwisata mulai menyiapkan rumah gadang, memasak makanan, pertunjukan tarian dan silat tradisional, hingga aktivitas di Danau Singkarak,” katanya.
Ade mengatakan, saat ini Nagari Sumpur lebih banyak dikunjungi wisatawan yang mempunyai minat khusus pada kebudayaan dan sejarah Minangkabau. Sebagian besar pengunjung adalah siswa-siswi sekolah internasional dari Jakarta.
Hampir setiap bulan ada kunjungan studi dari sekolah di Jakarta yang membawa rombongan 80-100 orang. Mereka mempelajari kebudayaan Minangkabau dengan mengikuti aktivitas masyarakat.
Bupati Tanah Datar Eka Putra menyebut, Nagari Sumpur mempunyai potensi pariwisata yang sangat besar. Masyarakat sudah memulainya dengan membangun desa wisata. Nagari itu masuk 50 desa terbaik pada Anugerah Desa Wisata Indonesia 2021 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Meski demikian, sebagian besar ekonomi masyarakat masih ditopang dari hasil menangkap ikan dan menjual buah sawo. ”Dua hasil utama ini juga menjadi daya tarik wisata di Nagari Sumpur,” kata Eka.
Nagari Sumpur pun sudah dua kali dijadikan lokasi shooting untuk film Sengsara Membawa Nikmat pada 1991 dan juga Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck pada 2013. Kedua novel itu merupakan tonggak penting perjalanan sastra Indonesia.
Buya Hamka pun merekam keindahan Batipuh dalam sastra: Fajar lalu terbit dari jihat timur. Kicau murai di pohon kayu dan kokok ayam di kandang laksana serunai nafiri mengelu-elukan kedatangan maharaja siang yang menang dalam perjuangan. Awan di timur berbagai-bagai rona nampaknya laksana menunjukkan perayaan alam yang terjadi tiap-tiap pagi dan sore. Di waktu demikian, kelihatanlah orang-orang dusun keluar dari rumahnya, berselimut, berkain sarung, dan perempuan-perempuan berkain telekung dan menjinjing buli-buli…