Panas-Dingin Listrik Mengalirkan Sejahtera bagi Warga
Listrik PLN menerangi pabrik es hingga jalannya usaha perkebunan buah naga di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pasokan listrik ikut menyejahterakan warga di sekitarnya.
Listrik tidak hanya memberi cahaya, tetapi juga mengalirkan energi bagi perekonomian warga. Di Jawa Barat, listrik mendukung usaha pabrik es hingga destinasi wisata kebun buah naga.
Hanya dengan memencet tombol, Jois Harsa (27) menggerakkan tuas mesin pabrik es di Desa Samudera Jaya, Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut, Kamis (25/5/2023). Alat itu mampu mengangkat lima balok es dengan suhu 0 sampai minus 5 derajat celsius seberat lebih dari 100 kilogram.
Balok es itu lalu jatuh ke kolam dan terpisah dari wadahnya. Es sepanjang 1,2 meter dan lebar 20 sentimeter itu lalu dipotong menjadi beberapa bagian agar mudah diangkut. Setelah itu, tempat es balok yang kosong tadi kembali diisi air dan disimpan di mesin pendingin selama 12 jam.
Namun, tak perlu menanti selama itu. Masih ada tujuh wadah berisi 35 balok es yang bisa diambil bertahap.
Beginilah cara kerja mesin pabrik es bantuan PT PLN Unit Induk Distribusi Jabar itu. Motekar, badan usaha milik desa setempat, mengelola pabrik itu sejak Oktober 2022.
“Dalam bahasa Sunda, motekar itu artinya harus bisa segalanya,” ujar Jois, Direktur BumDes Motekar.
Baca juga: Alam Sukabumi Tempa Atlet Arung Jeram dan Peselancar Dunia
Selain mengoperasikan pabrik es, pihaknya juga menjual ikan hingga pupuk. Bangunan pabrik juga berimpit dengan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Samudera Sabilulungan.
Jois menuturkan, ide membangun pabrik es sesuai kebutuhan nelayan dan pedagang ikan. Kala itu, mereka mengandalkan penjual es balok di Pameungpeuk, sekitar 40 menit dari desa. Selain jauh, warga juga terbebani ongkos transportasi.
Lewat Yayasan Al Furqon di Bandung, pihaknya mengajukan pabrik es untuk program tanggung jawab sosial PLN. Gayung bersambut, PLN menyetujuinya.
“Kami pikir pabrik es ini (bantuan) yang tidak langsung habis dan bisa merata kepada masyarakat,” ujar Jois.
Kehadiran pabrik es pun menjawab persoalan warga. Selain lebih dekat, harga es di pabrik itu lebih murah, yakni Rp 25.000 per balok ukuran 30 kilogram.
Padahal, di Pameungpeuk, sekitar 40 kilometer dari Caringin, harganya mencapai Rp 50.000 per balok ukuran 50 kg.
“Pernah ada 60 kg daging ayam busuk karena kurang cepat dimasukkan ke freezer. Sejak ada pabrik es, tidak pernah lagi ada seperti itu,” kata Magister Peternakan Universitas Padjadjaran ini. Usaha warga yang menjual minuman dingin pun ikut berkembang.
Bukti manfaat pabrik itu tampak dari tingginya permintaan terhadap es balok. Menurut Jois, saat musim panen ikan, sekitar 60 es balok bisa terjual dalam sehari.
Artinya, potensi pendapatannya Rp 1,5 juta per hari. Angka itu dua per tiga dari upah minimum Garut per bulan, Rp 2,1 juta.
Saat nelayan jamak melaut, seperti November hingga Januari, mereka bisa mengantre hingga empat jam demi menunggu es membeku. “Bahkan, ada pedagang di Pameungpeuk meminta enam ton es per tiga hari. Padahal, kapasitas kami baru 1 ton per hari,” ujarnya.
Nunung Nurhayati (38), pedagang ikan di Rancabuaya, mengatakan, pabrik es itu menghemat pengeluarannya. “Kalau dulu ambil satu es balok di Pemeungpeuk habis Rp 80.000, termasuk ojeknya. Sekarang, paling Rp 25.000 untuk es balok dan bensin Rp 10.000,” katanya.
Bahkan, dagangannya lebih cepat laku karena bantuan es. “Konsumen kan suka ikan yang segar-segar. Makanya, dikasih es. Sekarang, saya bisa jual sampai 50 kilogram ikan per hari. Kalau simpan di freezer, jual 10 kilogram ikan saja susah. Semoga kapasitas pabrik es meningkat,” katanya.
Tidak hanya itu, pabrik dengan laba bersih sekitar Rp 4 juta per bulan itu rencananya menjadi pendapatan asli desa. “Tidak menutup kemungkinan nanti hasil dari pabrik es untuk bangun jalan atau kebutuhan warga yang lainnya,” ujar Kepala Desa Samudera Jaya Dadang Hermawan.
Bahkan, menurut Jois, pabrik es bakal menjelma “laboratorium” bagi sekitar 200 peserta didik di PKBM Sabilulungan. Apalagi, selama ini, banyak warga yang merantau karena terbatas keterampilan.
“Mereka nanti bisa belajar buat es atau bagaimana membuka usaha es,” ujarnya.
Manajer PT PLN Unit Pelayanan Pameungpeuk Tri Pamuji berharap, kehadiran pabrik es satu-satunya di Garut bagian selatan itu dapat mendukung usaha warga. Selain pabrik es, PLN juga tengah membangun sebuah madrasah dan cold storage di kawasan tersebut.
Namun, ia mengakui, infrastruktur kelistrikan di Jabar selatan masih menemui tantangan. Saat cuaca buruk, misalnya, pemadaman listrik sulit terhindarkan. Tiang listrik yang tidak jauh dari laut juga rentan berkarat. Meski demikian, pihanya rutin merawat komponen itu.
Lampu buah naga
Jika di Caringin dingin es memberikan sejahtera, di Desa Bayongbong, Kecamatan Bayongbong, Garut, hangat lampu “menghidupkan” Kebun Naga Poernama. Seperti Rabu (14/6/2023) malam, deretan lampu menerangi hampir 13.000 pohon buah naga.
Selain menghangatkan tanaman, cahaya lampu turut memperindah destinasi agrowisata tersebut. Apalagi, kebun itu berada di sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut.
Dari ketinggian, pengunjung menikmati kerlap-kerlip lampu dan permukiman Bayongbong. “Ini satu-satunya kebun buah naga dengan pemandangan indah,” ujar Milani Biru (25), salah satu pengelola.
Ide membuat kebun buah naga di dataran tinggi datang dari pemilik lahan, Heri Poernama, tahun 2017. Usaha itu pun berkembang hingga pada tahun 2020 menjadi destinasi wisata. Selain restoran dan spot swaftoto, lokasi itu juga menyediakan vila hingga wisata petik buah naga.
Ini satu-satunya kebun buah naga dengan pemandangan indah,
Aneka makanannya pun menggunakan buah naga. Misalnya, jus buah naga atau Drego Monster hingga nasi goreng dan spagheti dengan campuran buah naga.
“Orang Garut itu suka yang manis dan asem. Jadi, kami bikin sendiri menunya,” ujarnya.
Menurut Milani, setiap bulan, 1.000-1.500 orang berkunjung ke tempat yang berjarak 65 kilometer dari Kota Bandung itu. Tidak hanya dari Garut, wisatawan juga datang dari Bandung serta Jakarta. Acara keluarga, arisan, hingga perpisahan sekolah digelar di sana.
Namun, tidak hanya buah naga yang dicari. Banyak pengunjung datang untuk merasakan sensasi kebun buah naga yang diterangi terang lampu.
Pengelola kebun, Arum Yunia Lestari (26), mengatakan, keberadaan lampu lebih dari sekadar alat estetika. Kehadirannya sangat dibutuhkan untuk menghangatkan dan memberikan panas lebih banyak untuk pohon naga.
”Pohon naga ditanam di dataran rendah yang cuacanya lebih panas. Untuk mendapat suasana yang sama dibutuhkan hangat lampu, terutama di malam hari. Tanpa lampu, pohon sulit tumbuh. Meski tumbuh, pohon enggan berbunga dan berbuah,” katanya.
Saat ini, ada 3.200 tiang di Kebun Poernama. Setiap tiang dipasang empat pohon yang bisa menghasilkan rata-rata 10 kilogram setiap panen. Adapun satu lampu dipasang di setiap dua pohon. Dalam sehari, lampu dinyalakan pukul 18.00-01.00. Waktu itu dinilai ideal untuk menghangatkan tanaman.
”Lampunya sengaja dipilih berwarna kuning. Harapannya, sinar lampu masih bisa tembus meski ada kabut,” katanya.
Meski berdaya guna dan indah dipandang, biaya yang harus dikeluarkan tidak murah. Dalam sebulan, dibutuhkan 16.000 watt. Jika menghitung, listrik subsidi 450 watt, kebutuhannya setara dengan 35 rumah tangga yang dihuni 4-5 orang.
Dengan daya sebesar itu, biaya yang dikeluarkan mencapai Rp 2,5 juta-Rp 3 juta. Jumlah itu lebih dari 50 persen biaya operasional listrik di kebun purnama.
Apalagi, masih ada kendala terkait listrik. Mati lampu, misalnya, beberapa kali terjadi. Pengelola kebun berharap, ada teknisi yang berkala memantau kelistrikan di kebun.
Sembari berharap bisa terus menjalin kemitraan dalam pengelolaan listrik, Rifan Arisandi, pengelola kebun lainnya, mengatakan, inovasi juga dilakukan. Salah satunya penggunaan lebih banyak unsur hayati untuk pertumbuhan buah naga.
Selain mengurangi penggunaan unsur kimia, pupuk dan pestisida alami diyakini bakal tetap menyuburkan lahan sembari menghemat penggunaan listrik. ”Konsepnya tengah kami rancang tahun ini bekerja sama dengan petani komoditi lain di Garut,” katanya.
Inovasi tanpa henti sangat dibutuhkan menjaga kelangsungan usaha di kebun buah naga. Terlebih lagi, listrik dan metode pertanian lain di kebun itu tidak hanya menjaga kehidupan buah naga, tetapi juga turut merawat asa warga setempat.
Saat ini, kebun itu menjadi mata pencarian setidaknya bagi 18 orang. Salah satunya Sandi Harviansyah (24), warga Desa Bayongbong yang kini jadi barista di sana.
Sebelumnya, pada 2017-2020, Sandi adalah pekerja pabrik pembekuan udang di Tangerang, Banten. Selain gaji hingga yang bisa menyentuh Rp 6 juta per bulan, ia juga sudah punya jabatan dengan 15 anak buah. Namun, ia harus jauh dari orangtua, terlebih saat pandemi Covid-19.
“Saya tidak bisa pulang karena PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat). Padahal, bapak saya sakit stroke. Akhirnya, saya resign (mengundurkan diri),” katanya.
Setelah pulang kampung, ia mendengar lowongan kerja di restoran kebun buah naga. Ia pun mendaftar. Awalnya, Sandi bekerja sebagai pelayan. Lalu, ia belajar menjadi barista. “Saya belajar otodidak selama tujuh bulan. Pernah saking paniknya, banyak pengunjung, saya sampai tidak sengaja memblender kaleng susu,” ujarnya sambil tertawa.
Baca juga: Bersiap Menjadi Kawah Candradimuka Baru Pembibitan Nasional
Ia mengaku nyaman dengan kerjanya meski gajinya tidak setinggi di pabrik. Selain tidak pusing dengan kemacetan dan ongkos pengeluaran yang besar, Sandi juga bisa merawat bapaknya. “Ibaratnya, ngapain cari keju yang jauh kalau ada singkong di depan mata,” ujarnya.
Kisah panas di kebun buah naga dan dingin pabrik es di Garut menjadi potret vitalnya energi listrik bagi kehidupan warga. Tidak hanya memberi cahaya, listrik juga mengalirkan energi untuk usaha warga. Semua pihak perlu menjaga cahaya itu.