Alam Sukabumi Tempa Atlet Arung Jeram dan Peselancar Dunia
Alam Sukabumi menjadi kawah candradimuka bagi atlet kelas dunia. Selain menghadirkan prestasi, kehadirannya ikut menghidupi warga di sekitarnya.
Alam di Sukabumi, Jawa Barat, tidak hanya menjadi destinasi wisata. Manusia di sekitarnya ikut diantar menjadi atlet kelas dunia. Arus Sungai Citarik melahirkan atlet arung jeram. Pantai Cimaja menjadi kawah candradimuka peselancar ternama.
Setidaknya dua dekade terakhir, Sungai Citarik sukses menempa para atlet arung jeram. Seperti Senin (21/5/2023) siang, sejumlah remaja putri yang tergabung dalam Junior Rafting Team (JRT) tengah berlatih. Mereka mengarungi sungai untuk mengikuti babak kualifikasi Pekan Olahraga Nasional 2023.
Di bawah pelatih Aceng Supendi (46), mantan atlet arung jeram, JRT telah meraih berbagai penghargaan tingkat nasional hingga internasional. Prestasi tim putri itu terukir sejak Kejuaraan Dunia Arung Jeram 2015 di Sungai Citarik.
Sejumlah anak asuhannya juga mengantarkan Indonesia meraup medali emas dalam WRC Australia 2019. Pertengahan tahun lalu, mereka membawa Indonesia meraih medali emas dalam World Rafting Championship (WRC) di Bosnia Herzegovina.
Berbagai capaian itu tidak terlepas dari tempaan bebatuan dan deras Sungai Citarik. Menurut Aceng, sungai yang berhulu di Gunung Halimun dan berujung di Palabuhanratu itu telah membentuk atlet arung jeram.
Baca juga: Cycling de Jabar 2023, Mengayuh Rezeki untuk Jalur Selatan Jawa Barat
Melanjutkan sekolah
Olahraga air tersebut mulai ramai di Sungai Citarik sekitar 1995. Saat itu, operator wisata, seperti Arus Liar dan BJ’s Rafting, menawarkan arung jeram.
”Orang-orang setempat dilatih menjadi pemandu wisata untuk arung jeram. Karena dekat sungai, mereka jago-jago dan dibilang anak sungai,” ucap Aceng yang sejak usia 13 tahun mengenal olahraga itu. Anak-anak kecil dulunya hanya menggunakan ban bekas untuk mengarungi sungai.
Kehadiran arung jeram menjadi alternatif pekerjaan di desa. ”Ngapain kerja di kota. Memang gaji di kota gede, tapi pengeluaran juga gede. Awalnya tahun 1995, gaji saya di sini Rp 45.000 sampai Rp 60.000 per bulan. Itu pun bisa menabung dan ngasih orangtua,” ucap Aceng.
Bahkan, menurut Aceng, tempat tinggalnya di Ciranji, Desa Sampora, Kecamatan Cikidang, dulu disebut kampung atlet. ”Mungkin ada 30 warga jadi atlet arung jeram. Kalau di Brasil ada daerah pencetak arung jeram bernama Brotas. Di Indonesia, Brotas-nya ada di Sungai Citarik,” katanya.
Pada 2014, Aceng membentuk tim putri berjumlah tujuh orang. Saat itu, ia melihat belum ada tim putri yang punya latihan terstruktur. Indikasinya, daerah hanya sibuk mencari pemain menjelang kejuaraan. ”Waktu itu, saya pakai pelampung dan helm bekas yang dicat,” kenangnya sambil tersenyum.
Selain masalah biaya, sejumlah keluarga tim putri juga awalnya memandang sebelah mata olahraga itu. Mereka menilai, masa depan atlet arung jeram tidak secerah profesi lainnya.
Namun, berbekal latihan, kerja keras, dan tekad, timnya mulai meraih prestasi hingga ke kancah dunia. Pandangan warga itu pun berubah. Bahkan, beberapa anak didiknya dapat melanjutkan sekolah ke pendidikan tinggi karena prestasi arung jeram.
Selawati Solihin (22) menjadi salah satu anak muda yang merasakan kerasnya arung jeram. Pernah diragukan bisa hidup dari arung jeram, dia membuktikannya dengan prestasi. Bersama Aceng, ia dan timnya ikut memenangi berbagai kejuaraan dunia.
Tim arung jeram yang Sela pimpin menjadi kampiun dalam ajang World Rafting Championship Australia 2019. Mereka mengalahkan Selandia Baru, Australia, Inggris Raya, hingga Jepang.
”Sekarang saya berniat melanjutkan pendidikan sambil berolahraga. Kalau dulu tidak kenal arung jeram, mungkin setelah sekolah saya cari kerja saja,” ujarnya.
Sela berharap ada lebih banyak lagi olahragawan arung jeram yang hadir di Sungai Citarik ini. Baginya, riak sungai yang deras itu menguji nyali dan menjadi arena sesungguhnya untuk menjadi manusia yang lebih baik kelak.
Taklukan juara dunia
Sekitar 23 kilometer dari Citarik, Pantai Cimaja juga menjadi ”rahim” lahirnya peselancar kelas dunia. Dede Suryana (37), atlet dengan beragam seri kejuaraan internasional, adalah buktinya. Ia pernah memenangi Asian Beach Games 2008, Komune Bali Pro 2014, dan lainnya.
Ombak Cimaja yang konon tidak mengenal musim telah menjadi tujuan peselancar sejak 1970-an. Namun, warga setempat mulai terjun menikmati ombak pada 1980-an. Beberapa nama di generasi awal adalah Diki Zulfikar dan Edin, kakak Dede.
”Saya ini generasi ketiga,” ucapnya.
Dede menuturkan, letak Pantai Cimaja yang dekat dengan permukiman membuat warga ”tergoda” bermain selancar. Apalagi, mereka melihat peselancar dari luar negeri di Cimaja. Awalnya, warga meminjam papan selancar bekas bule hingga akhirnya membuat papan sendiri.
Baca juga: Buka Jalan Asah Harta Karun Jabar Selatan
”Tetapi, orangtua dulu kurang mendukung olahraga surfing (selancar). Mereka melihat itu dari Barat dan dianggap tidak punya masa depan,” ucap Dede yang memutuskan sempat menetap di Bali untuk mendalami selancar. Di sisi lainnya, selancar juga membutuhkan biaya tidak sedikit.
Tahun 2000-an, pandangan itu mulai berubah setelah Dede menjuarai sejumlah kompetisi selancar tingkat internasional. Apalagi, ketika ia memenangi Todd Chester Memorial Event, kompetisi di Hawaii. Dia jadi jawara pertama, mengalahkan Kelly Slater, juara dunia selancar kala itu.
Seiring waktu, Pantai Cimaja pun kian dikenal. Beberapa event berlangsung di daerah itu, seperti Kejuaraan Nasional Selancar Quicksilver Terbuka 2005 serta Best West Java 2011 Surf Competition. Berbagai usaha, seperti penginapan, toko, hingga, pemandu wisata tumbuh subur. Bahkan, sejumlah peselancar profesional membuka pelatihan selancar.
Dede Suryana Place’s, milik Dede, misalnya, turut melatih warga lokal bermain selancar. Ia pun sukarela meminjamkan papannya untuk anak-anak yang ingin berlatih. Itu salah satu upaya untuk mencetak generasi atlet.
Bekal hidup
Salah seorang atlet muda yang terinspirasi adalah Aldi Akmaludin (22). ”Saya selalu ingin seperti kang Dede. Kalau ada kesempatan ingin menjadi lebih baik,” katanya.
Aldi mengatakan, sudah berselancar sejak sembilan tahun. Kebetulan, hidupnya dihabiskan di pinggir pantai. Orangtuanya membuka warung di sekitar Karang Papak, salah satu titik selancar di Pelabuhanratu.
”Dari sana, saya mengenal kang Dede dan peselancar lainnya,” katanya.
Kekaguman itu berubah menjadi motivasi. Dia nekat menjajal ombak dan mencoba berdiri di atas papan selancar. Tidak terasa, ia sudah 11 tahun melakukan rutinitas serupa nyaris setiap hari.
Hasilnya tidak mengecewakan. Dia beberapa kali naik podium dalam ajang selancar daerah dan nasional. Mulai dari Carita Surf Festival 2021 hingga Kejuaraan Daerah Jabar 2023.
”Sekarang sedang menunggu hasil pengumuman seleksi PON 2024. Bila lolos, saya bakal mewakili Jabar,” katanya.
Aldi mengakui, menjalani hidup sebagai atlet jauh dari kata mudah. Dia harus disiplin latihan. Bila dulu tidak punya jadwal khusus untuk latihan, kini minimal ia berlatih empat jam per hari. Dua jam pada pagi hari dan dua jam di sore hari.
”Saya ingin menjadi atlet internasional. Namun, bila jalan itu tidak tercapai, latihan dan selancar yang saya lakukan bisa menjadi bekal hidup,” kata anak pemilik warung ini.
Aldi mengatakan, dirinya juga membuka kursus selancar berbayar. Pada akhir pekan, ia bisa mengajarkan hingga 20 orang. Dengan biaya Rp 100.000–200.000 per orang, ia bisa mendapat Rp 2-4 juta per minggu. ”Jadi atlet atau pemandu selancar sama baiknya,” katanya.
Tidak hanya itu, selancar membuatnya tidak ingin pantai sekitar Palabuhanratu rusak atau kotor akibat sampah. Oleh karena itu, Aldi mengatakan, dirinya selalu ingin terlibat saat rekan-rekan sesama peselancar bersih-bersih pantai.
Deras arus Citarik dan kerasnya ombak Cimaja masih setia menempa semangat sebagian anak muda setempat. Tidak hanya mengubah nasib manusianya, kedua tempat itu juga ikut membanggakan bangsa.
Baca juga: Cycling de Jabar Bawa Jalur Selatan Mendunia