Upacara Perlon Besar, Masyarakat Adat Bonokeling Sembelih 15 Kambing
Ratusan masyarakat adat Bonokeling di Banyumas mengikuti upacara adat Perlon Besar. Mereka menyembelih 15 kambing sebagai wujud syukur kepada Tuhan.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·2 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Masyarakat adat Bonokeling di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menggelar upacara adat Perlon Besar sebagai wujud syukur atas rezeki dan sejumlah permintaan yang dikabulkan oleh Tuhan. Dalam upacara itu, sebanyak 15 kambing disembelih.
”Ini merupakan Perlon Besar yang waktunya berbarengan setelah perayaan Idul Adha. Berkaitan dengan Makam Kiai Bonokeling, masyarakat di sini, misalnya, punya cita-cita lalu terwujud, kemudian memberi kambing; punya nazar atau sembuh dari sakit, kemudian memberi kambing,” kata Ketua Pelestari Adat Masyarakat Bonokeling Ki Sumitro, Kamis (6/7/2023).
Rangkaian upacara Perlon Besar dimulai sejak Kamis pagi sekitar pukul 06.00. Dalam upacara itu, warga sekitar Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, menyembelih 15 kambing.
Sambil mengenakan ikat dan sarung batik, para laki-laki menyiapkan segala perlengkapan penyembelihan, membakar bulu kambing, mencuci kambing di sungai, kemudian mengiris-iris dagingnya.
Sementara itu, para perempuan menyiapkan tumpeng pitik, yakni nasi tumpeng yang di dalamnya terdapat seekor ayam utuh serta lauk-pauk, seperti tahu-tempe, mi, oseng tempe, dan kerupuk.
”Ini sebagai bentuk syukur. Semua ada 15 ekor kambing. Setelah dimasak, nanti ada selamatan, doa, lalu makan bersama,” tutur Sumitro.
Semua pekerjaan dalam upacara Perlon Besar dilakukan dengan gotong royong. Selain menyembelih kambing dan menyiapkan nasi, sebagian warga tampak menyiapkan dan mengumpulkan daun jati sebagai alas atau wadah daging kurban. Ada pula yang membuat takir atau wadah dari daun pisang.
”Semua terlibat dalam gotong royong. Ada yang menyembelih kambing, memotong kambing, dan lain-lain. Ada kelompok-kelompok kerjanya, tetapi tujuannya sama,” kata Paryoto (62), salah satu masyarakat adat Bonokeling.
Selain Perlon Besar, masyarakat adat Bonokeling juga rutin menggelar upacara Perlon Unggahan Anak Putu Bonokeling menjelang bulan Ramadhan. Pada Maret lalu, ratusan anak-cucu Kiai Bonokeling itu berjalan kaki menempuh jarak sekitar 30 kilometer menuju makam Kiai Bonokeling di Pekuncen, Banyumas, dari wilayah Cilacap. Rangkaian acara adat itu digelar untuk memanjatkan doa dan memohon keselamatan.
Berdasarkan catatan Kompas (3/8/2013), konon Bonokeling adalah tokoh spiritual dari Kadipaten Pasir Luhur (sekarang wilayah Karanglewas, Banyumas). Wilayah ini dulu merupakan bagian dari Kerajaan Padjadjaran. Kedatangan Bonokeling ke Desa Pekuncen dalam rangka pembukaan wilayah pertanian.
Semua terlibat dalam gotong royong. Ada yang menyembelih kambing, memotong kambing, dan lain-lain.
Oleh karena itu, nuansa agraris menjadi ciri utama tradisi Bonokeling. Tradisi unggah-unggahan, misalnya, awalnya diadakan menjelang musim panen padi. Acara berlangsung lima hari, mulai dari penyambutan tamu, berdoa bersama, ziarah, selamatan, dan pengiringan tamu pulang.
Saat Islam masuk pada abad ke-16, prosesi ini disamakan dengan ritual sadran, tradisi menengok dan membersihkan makam leluhur sebelum bulan puasa.