Upacara Perlon Unggahan, Masyarakat Adat Bonokeling Jalan Kaki 30 Km
Masyarakat adat Bonokeling dari Cilacap, Jateng, memulai rangkaian upacara Perlon Unggahan Anak Putu Bonokeling. Mereka melestarikan tradisi turun-temurun sekaligus bersilahturahmi dan memohon keselamatan.
CILACAP, KOMPAS — Sekitar 500 orang dari kelompok masyarakat adat Bonokeling memulai rangkaian upacara adat Perlon Unggahan Anak Putu Bonokeling, Kamis (16/3/2023). Mereka berjalan kaki menempuh jarak sekitar 30 kilometer menuju ke Makam Kiai Bonokeling di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, untuk melakukan ziarah dan memohon berkah menjelang bulan Ramadhan.
Masyarakat adat Bonokeling yang mengikuti upacara adat itu berasal dari sejumlah desa di Kabupaten Cilacap, Jateng, misalnya Kalikudi, Tambakreja, dan Adiraja. Adapun Makam Kiai Bonokeling berlokasi di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas.
”Perlon unggahan ini dilaksanakan setahun sekali pada bulan Sadran menjelang bulan puasa. Jadi trah Bonokeling dari wilayah Cilacap datang ke sini. Mereka berkunjung ke sini untuk silaturahmi dan ziarah makam,” kata Juru Bicara Komunitas Adat Bonokeling, Sumitro, di Desa Pekuncen, Kamis.
Sumitro menyampaikan, dalam rangkaian acara Perlon Unggahan, masyarakat adat Bonokeling memanjatkan doa untuk memohon keselamatan dunia dan akhirat. ”Kita berdoa mohon selamat dunia akhirat. Menghadapi bulan Ramadhan, mudah-mudahan bisa menjalani ibadah pada bulan Ramadhan ini bisa lancar,” ujarnya.
Sumitro berharap, anak-anak muda bisa melestarikan dan menjaga tradisi itu supaya tetap hidup dan bermanfaat bagi sesama. ”Dengan adanya tradisi adat ini, diharapkan anak-anak muda saling mendukung, melestarikan, dan menjaga sampai dengan akhir zaman. Jangan sampai punah dan anak-anak muda bisa mengikuti aturan di sini,” tuturnya.
Wardoyo (38), salah seorang anggota masyarakat adat dari Daun Lumbung, Kelurahan Tambakreja, Kecamatan Cilacap Selatan, mengatakan, dirinya bersama ratusan orang lain berangkat dari Cilacap pukul 03.30. Mereka tiba di Desa Pekuncen sekitar pukul 16.00. ”Capek dan banyak tantangan. Tantangannya kalau kaki luka atau kram. Senangnya banyak teman (saudara),” tuturnya.
Menurut Wardoyo, dirinya sudah ikut melestarikan tradisi itu sejak remaja atau setelah khitan saat duduk di bangku SMP. ”Ini setiap tahun dan sudah tradisi dari kecil. Tradisi ini kami ikutin dari kaki-buyut (leluhur) untuk terus dilestarikan,” paparnya.
Di bawah terik matahari serta rute jalan yang mendaki bukit, Wardoyo dan masyarakat adat lain mengenakan pakaian adat. Para lelaki memakai pakaian hitam, jarik batik, serta ikat kepala. Adapun para perempuan mengenakan kebaya dan jarik. Alas kaki yang digunakan sebagian besar dari mereka adalah sandal jepit, tapi ada pula yang tak memakai alas kaki apa pun.
Dalam perjalanan itu, Wardoyo dan warga lainnya tampak beberapa kali beristirahat dengan berhenti di sejumlah tempat. Pada pukul 10.00, misalnya, mereka beristirahat di Pasar Kesugihan.
Di tempat itu, mereka makan bersama. Sebagian warga juga tampak tidur siang. Selain itu, ada pula yang memasang plester pada sela-sela jari kaki dan alas kaki untuk mengurangi lecet dari gesekan dengan sandal jepit.
Mereka juga sempat beristirahat di sekitar Jembatan Kali Keleng, Kecamatan Kesugihan, Cilacap. Di perbatasan antara Desa Pesanggrahan, Kecamatan Kesugihan, dan Desa Pekuncen, mereka juga sempat beristirahat.
Dalam rangkaian acara Perlon Unggahan, masyarakat adat Bonokeling memanjatkan doa untuk memohon keselamatan dunia dan akhirat.
Dalam perjalanan itu, masyarakat adat Bonokeling juga membawa sejumlah bekal. Untuk makan, mereka membawa bekal berupa nasi putih, mi, sayur kubis, ikan asin, dan tempe goreng.
Sementara itu, mereka juga membawa perbekalan lain untuk puncak acara pada Jumat (17/3/2023). Bekal untuk puncak acara itu berupa beras, kentang, kacang, tomat, serta aneka sayur seperti terung. ”Ini bobotnya kurang lebih 10 kilogram dibagi jadi dua wadah,” kata Wardoyo yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan.
Keberadaan masyarakat adat Bonokeling tak bisa dilepaskan dari sosok Bonokeling. Berdasarkan catatan Kompas (3/8/2013), konon Bonokeling adalah tokoh spiritual dari Kadipaten Pasir Luhur (sekarang wilayah Karanglewas, Banyumas). Wilayah ini dulu merupakan bagian dari Kerajaan Padjadjaran. Kedatangan Bonokeling ke Desa Pekuncen dalam rangka pembukaan wilayah pertanian.
Oleh karena itu, nuansa agraris menjadi ciri utama tradisi Bonokeling. Tradisi unggah-unggahan, misalnya, awalnya diadakan menjelang musim panen padi. Acara berlangsung lima hari, mulai dari penyambutan tamu, berdoa bersama, ziarah, selamatan, dan pengiringan tamu pulang.
Saat Islam masuk pada abad ke-16, prosesi ini disamakan dengan ritual sadran, tradisi menengok dan membersihkan makam leluhur sebelum bulan puasa.
Budayawan Ahmad Tohari menilai, tradisi Bonokeling merupakan kekayaan budaya Jawa kuno yang sangat langka. Ia pun mengkhawatirkan keberlangsungan tradisi tersebut. Pasalnya, hampir 80 persen pengikutnya berusia lanjut sehingga butuh transformasi nilai budaya bagi keturunan selanjutnya.
Bagi Tohari, akulturasi budaya lokal dan Islam yang terjadi pada kaum adat Bonokeling melahirkan kearifan lokal yang unik. Kekerabatan yang begitu kuat di antara kaum Bonokeling akan menjadi kunci kelanggengan kearifan khas Jawa kuno itu.