NTT Menempati Peringkat II Nasional Rumah Tinggal Tidak Layak Huni
Provinsi NTT menempati urutan II nasional untuk rumah tinggal tidak layak huni. Jumlahnya lebih dari 340.000 unit. Sementara mereka yang belum memiliki rumah mencapai 90.535.
KUPANG, KOMPAS - Nusa Tenggara Timur menduduki peringkat II nasional rumah tidak layak dengan jumlah lebih dari 340.000 unit. Sementara warga yang belum memiliki rumah atau backlog sebanyak 90.535 unit. Rumah subsidi dari pemerintah senilai Rp 181 juta dengan ukuran tidak lebih dari 6 meter x 6 meter.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Real Estat Indonesia (REI) Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) Bobby Pitoby, di Kupang, Selasa (4/7/2023), mengatakan, rumah layak tinggal di NTT masih merupakan masalah serius. Salah satu penyebab adalah daya beli masyarakat yang rendah.
”NTT menduduki peringkat kedua nasional untuk rumah tidak layak huni. Jumlahnya lebih dari 340.000 unit, jadi khusus provinsi ini merupakan masalah serius,” ujar Bobby.
Ia mengatakan, kategori rumah tidak layak huni antara lain tidak memilik MCK, tidak ada air bersih yang mengalir, tidak ada listrik, lantai tanah, berdinding bambu atau pelepah lontar, dan atap alang-alang.
Jika salah satu dari sejumlah kategori ini tidak terpenuhi, termasuk rumah tidak layak huni. Kasus rumah tidak layak huni ini memiliki kaitan dengan kemiskinan.
Baca juga :
Sebagian Besar Rumah di NTT Tidak Layak Huni
Warga yang ingin membeli rumah atau memiliki rumah tetapi belum mendapatkan, backlog, juga masih cukup banyak. Jumlah backlog mencapai 90.535 rumah. Mereka selama ini tinggal bersama anggota keluarga seperti orangtua atau saudara.
Banyak penghuni dalam satu rumah bisa dihuni 2-4 keluarga, dengan jumlah anggota lebih dari 10 orang. Kehidupan seperti ini sering menimbulkan masalah.
Pertengkaran, kecemburuan, salah paham, rasa ketergantungan, dan menghambat pekerjaan di rumah atau di kantor. Ini juga sering dipicu oleh jumlah fasilitas rumah yang terbatas, seperti MCK, dapur, dan tempat tidur.
Ia mengatakan, semangat untuk memiliki rumah sendiri termasuk tinggi di masyarakat. Namun, pandemi Covid-19 (2020-2022) menyebabkan subsidi perumahan dan pembangunan pun terhambat.
Kini, pandemi telah berlalu. Ia berharap semangat memiliki rumah sendiri pun meningkat.
REI NTT berjuang memenuhi kebutuhan rumah layak huni bagi warga di daerah itu. Salah satu cara, mengadakan rumah subsidi pemerintah. Rumah subsidi ini pun mengalami kenaikan.
Tahun 2022 nilainya Rp 168 juta per unit untuk tipe di bawah 6 meter x 6 meter atau 4 meter x 9 meter. Tahun ini naik menjadi Rp 181 juta per unit untuk tipe rumah yang sama.
Baca juga :Lebih dari 1.000 Unit Rumah untuk Warga Miskin Kota Kupang
Uang muka untuk ukuran rumah seperti itu Rp 1.810.000 dan cicilan per bulan Rp 1.186.000 selama 20 tahun. Dengan nilai cicilan seperti itu, seharusnya warga NTT mampu memiliki rumah layak huni karena UMP sudah mencapai Rp 2.123.994 per bulan.
”Dengan nilai UMP seperti itu, seharusnya mereka yang memiliki rumah tidak layak huni bisa melakukan cicilan rumah subsidi setiap bulan jika tidak punya utang lain,” ucapnya.
Hanya realitasnya, kebanyakan orang, jika sudah merasa nyaman di rumah yang ada, tidak ingin memiliki rumah baru meski lebih murah, apalagi rumah itu letaknya agak jauh dari pusat kota.
Rumah subsidi itu memiliki dua kamar tidur, satu ruang tamu, dapur, dan kamar mandi/WC. Lantai berupa keramik dan atap seng.
Bangunan rumah juga dilengkapi dengan sejumlah fasilitas seperti air keran, listrik, rumah ibadah sekitar, ruang bermain dan pendidikan usia dini anak-anak, pasar, puskesmas pembantu, dan balai pertemuan.
Rumah itu hanya untuk mereka yang memiliki upah di bawah Rp 8 juta per bulan bagi yang sudah berkeluarga dan singel memiliki gaji bulanan di bawah Rp 6 juta per bulan.
Dengan nilai UMP seperti itu, seharusnya mereka yang memiliki rumah tidak layak huni bisa melakukan cicilan rumah subsidi setiap bulan jika tidak punya utang lain.
Mereka yang sudah memiliki rumah dan gaji bulanan lebih dari Rp 8 juta atau Rp 6 juta bagi singel tidak berhak memiliki rumah subsidi itu.
Baca juga :
Pekerja Migran Ilegal, Beban Ganda Keluarga di NTT
Kebiasaan sebagian warga NTT yang memiliki rumah dengan ukuran lebih dari 6 meter x 6 meter dan halaman rumah sampai 1.000 meter persegi itu merupakan budaya lama.
Dulu, warga ingin memiliki rumah dengan halaman yang luas seperti itu karena gemar berkebun di belakang rumah, memelihara ternak, kumpul keluarga, arisan, dan menanam pohon buah-buahan.
Pemahaman lama seperti itu tidak berlaku dalam kehidupan dengan konsep perumahan saat ini. Permukiman penduduk di kota lain seperti kota-kota di Pulau Jawa rata-rata memiliki perumahan dengan ukuran 6 meter x 6 meter atau 4 meter x 9 meter. Perumahan seperti ini lengkap dengan fasilitas umum di sekitarnya.
Markus Kire (45), warga Kelurahan Liliba, Kota Kupang, mengatakan tidak ingin tinggal di perumahan yang tidak punya halaman atau rumah kopel. Ia cenderung membeli tanah kapling lantas membangun rumah sendiri.
Biasanya tanah kapling di Kota Kupang berukuran 10 meter x 15 meter atau 20 meter x 25 meter, dijual dengan harga Rp 50 juta-Rp 300 juta per bidang, tergantung dari lokasi tanah.
”Saya punya tanah seluas 400 meter persegi dengan luas bangunan 150 meter persegi. Tanah sisa 250 meter persegi digunakan untuk beternak ayam, tanam pohon, dan tempat parkir,” ujarnya, sembari menambahkan bahwa sebagian lagi untuk halaman rumah agar saat arisan atau pesta tertentu, orang bisa leluasa bergerak.