KUPANG, KOMPAS — Sebanyak 340.046 rumah di Nusa Tenggara Timur dinilai tidak layak huni. Sebagian besar rumah memiliki bahan bangunan kayu dan atap ilalang dan tidak memiliki jamban keluarga. Sementara warga lain masih kekurangan sekitar 90.538 unit. Rumah layak huni, syarat peningkatan taraf hidup masyarakat.
Sekretaris Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) Ben Polo Maing di Kupang, Jumat (23/3), mengatakan, jumlah rumah di NTT sebanyak 460.594 unit terdiri dari 120.548 unit layak huni dan 340.046 tidak layak huni. Rumah layak huni sebagian besar tersebar di pusat kabupaten dan Kota Kupang. Rumah tidak layak huni berada di wilayah perdesaan dan pinggiran kota.
”Kondisi rumah menjadi tolok ukur kesejahteraan suatu wilayah. Rumah mencerminkan penghasilan, kesejahteraan, dan pola hidup seseorang. Tetapi rumah bukan satu-satunya mengukur kesejahteraan suatu daerah. Masih ada sejumlah indikator lain,” kata Polo Maing.
Saat ini, warga NTT masih kekurangan sekitar 90.538 unit, artinya mereka sudah menikah, tetapi masih tinggal bersama orangtua atau anggota keluarga karena belum memiliki rumah pribadi. Kekurangan ini menjadi persoalan tersendiri bagi setiap pasangan hidup keluarga. Setiap pasangan hidup merasa lebih nyaman, betah, dan benar-benar menjadi mandiri ketika berdiam di rumah pribadi.
Ia mengatakan, jumlah 340.046 rumah tidak layak huni, jika dihitung berdasarkan penghuni rumah itu, sekitar 1.700.230 jiwa, dengan asumsi satu unit rumah dihuni lima orang. Jumlah ini sesuai dengan angka jumlah warga miskin di NTT tahun 2016, dari total penduduk 5,3 juta jwa.
Jumlah 340.046 rumah tidak layak huni ini, sebanyak 175.870 unit berada di enam kabupaten/kota di Pulau Timor dan empat kabupaten di Pulau Sumba, 101.340 di sembilan kabupaten di Pulau Flores dan Lembata, dan 62.836 berada di Rote Ndao, Sabu Raijua, dan Kabupaten Alor.
Ciri rumah tidak layak huni antara lain masih berlantai semen atau lantai tanah, berdinding bambu dan sejenisnya, tidak memiliki dapur, tidak memiliki ventilasi udara, beratap ilalang, kotor, lingkungan rumah tidak aman, dan tidak memiliki jamban keluarga (sanitasi buruk). Rumah seperti ini banyak ditemukan di desa-desa di NTT dan di pinggiran kota. Penghuni rumah mudah terserang penyakit, seperti TBC dan demam karena malaria.
Ini juga tergantung pola hidup penguni rumah. Meski fisik rumah tidak layak huni, ada penghuni memiliki pola hidup sehat. Mereka memasang kelambu di setiap kamar tidur, selalu mengepel lantai dengan bahan antikuman, berupaya membangun jamban keluarga dan merawat teratur, dan membuat ventilasi udara. Perilaku hidup ini dapat mengurangi potensi kesakitan bagi penghuni rumah.
Kepala Dinas Sosial NTT Wilem Foni mengatakan, pemerintah terus berupaya membenahi rumah-rumah warga yang masih jauh di bawah standar layak huni. Pembenahan ini dilakukan bertahap, sesuai keuangan daerah. Tahun ini dibangun 1.000 rumah di 10 kabupaten, masing-masing kabupaten 100 unit. Jumlah ini belum termasuk perumahan yang dibangun dengan dana APBN, berjumlah 3.000-10.000 unit per tahun.
”Rumah warga tidak layak huni biasanya direhab lebih layak oleh pemilik sendiri dengan memperbaiki berbagai fasilitas yang belum lengkap,” kata Foni.