165 Orang Jadi Korban Perdagangan Orang di Cilacap, Kerugian Rp 2,5 Miliar
Polisi mengungkap dua kasus tindak pidana perdagangan orang di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dengan total korban 165 orang. Para korban itu mengalami kerugian Rp 2,5 miliar.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
CILACAP, KOMPAS — Kepolisian mengungkap dua kasus tindak pidana perdagangan orang di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dengan total korban 165 orang. Tiga pelaku tindak pidana itu telah ditangkap. Akibat kasus ini, para korban mengalami kerugian Rp 2,5 miliar.
”Tersangka merupakan perekrut 165 orang dan kerugian hampir Rp 2,5 miliar,” kata Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Inspektur Jenderal Ahmad Luthfi, Selasa (6/6/2023), di Cilacap.
Luthfi menyampaikan, tiga tersangka tindak pidana perdagangan orang (TPPO) itu adalah Taryanto (43), Sunata (51), dan Salimah (46). Taryanto dan Sunata tergabung dalam sebuah sindikat. Oleh keduanya, para korban dijanjikan bisa bekerja di luar negeri asalkan bersedia membayar Rp 10 juta hingga Rp 110 juta.
Kasus itu terungkap setelah adanya laporan dari seorang warga yang mengaku dijanjikan untuk diberangkatkan ke Korea Selatan. Dia lalu dimintai uang Rp 100 juta secara bertahap untuk pembuatan paspor, cek kesehatan, dan administrasi.
Akan tetapi, setelah berbulan-bulan, korban tak kunjung diberangkatkan. Selain itu, ada beberapa korban yang justru dipekerjakan sebagai kuli bangunan untuk membuat asrama Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Sementara itu, tersangka Salimah merupakan bagian dari sindikat TPPO lainnya. Saat ini, polisi masih memburu seorang pelaku yang diduga bekerja sama dengan Salimah.
Kepada para korbannya, Salimah berjanji akan memberangkatkan mereka untuk bekerja di negara-negara Eropa, seperti Inggris, Spanyol, dan Belanda, asalkan bersedia menyetor sejumlah uang.
Namun, setelah menyerahkan uang, sejumlah korban ternyata tak diberangkatkan. Sebagian korban akhirnya diberangkatkan meski negara tujuan dan jumlah gaji yang diterima tidak sesuai yang dijanjikan.
”Ada korban yang sudah membayar Rp 71 juta, tapi tidak berangkat. Beberapa korban akhirnya diberangkatkan ke Malaysia dan Singapura, tapi gaji tidak sesuai yang dijanjikan,” tutur Luthfi.
Tiga pelaku yang ditangkap itu dijerat dengan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Mereka terancam pidana penjara paling lama 10 tahun.
Untuk mencegah berulangnya kasus TPPO, Luthfi mengimbau masyarakat yang hendak bekerja ke luar negeri untuk mencari informasi ke jalur yang resmi. Hal ini penting untuk mencegah agar mereka tak menjadi korban penipuan.
”Lakukan pengecekan terhadap agen-agen tenaga kerja resmi. Selain itu, kerja sama dengan dinas ketenagakerjaan biar tidak ada penipuan yang meresahkan masyarakat,” ujarnya.
Ada korban yang sudah membayar Rp 71 juta, tapi tidak berangkat.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Wilayah Jawa Tengah Pujiono menyampaikan, para pelaku itu tidak memiliki hak untuk menempatkan pekerja migran Indonesia ke luar negeri.
Sebab, berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, penempatan pekerja migran di luar negeri hanya bisa dilakukan oleh tiga pihak, yakni BP2MI, perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia, serta perusahaan yang menempatkan pekerja migran untuk kepentingan perusahaan sendiri.
”Karena pelaku ini tidak termasuk ketiganya itu, secara otomatis mereka tidak punya hak menempatkan pekerja migran ke luar negeri. LPK itu hanya untuk melatih dan menyiapkan kompetensinya. Tidak boleh menempatkan, apalagi menarik sejumlah uang untuk proses keberangkatan,” papar Pujiono.