Kontroversi Persetubuhan atau Pemerkosaan dalam Kasus Kekerasan Seksual Anak di Parigi Moutong
Dalam kasus kekerasan seksual anak di Parigi Moutong, kontroversi pemerkosaan dengan persetubuhan mengemuka. Polisi dinilai tidak melihat dalam perspektif korban. Pemerhati anak menegaskan kasus ini adalah pemerkosaan.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·4 menit baca
PARIGI, KOMPAS — Pemerhati perempuan dan anak di Sulawesi Tengah menyiapkan kuasa hukum dan akan mendampingi korban kasus kekerasan seksual di Kabupaten Parigi Moutong. Penekanan pada soal persetubuhan oleh polisi dinilai mengabaikan unsur pemerkosaan dan tidak peka melihat kasus ini dari perspektif korban.
Kasus kekerasan seksual menimpa R (15), anak seorang nelayan di Parigi Moutong, Sulteng. Ibunya melaporkan kasus yang dialami anaknya ke Polres Parigi Moutong pada Maret lalu. Laporan ini dibuat setelah korban mengeluh sakit pada bagian perut dan dibawa ke rumah sakit.
Dari pemeriksaan terungkap bahwa korban mengaku telah mengalami pemerkosaan. Kondisi R sempat kritis dan dioperasi untuk pengangkatan rahim. Saat ini korban dirawat di salah satu rumah sakit di Palu dan dalam penjagaan ketat.
Dalam pemeriksaan di Polres Parigi Moutong, terungkap bahwa kasus kekerasan seksual ini terjadi sejak April 2022 hingga Januari 2023. Sebanyak 11 orang ditetapkan sebagai tersangka, di antaranya seorang oknum perwira polisi, kepala desa, guru, dan mahasiswa.
”Kami sudah menyiapkan tim hukum untuk mendampingi korban. Jujur kami menyesalkan kenapa polisi membawa kasus ini ke soal persetubuhan dan bukan pemerkosaan. Berdasarkan Pasal 76 Undang-Undang Perlindungan Anak, kasus ini jelas adalah kekerasan terhadap anak. Dalam hal ini kekerasan seksual yang dilakukan orang dewasa terhadap anak di bawah umur. Ini adalah pemerkosaan,” kata Direktur Yayasan Libu Perempuan Sulteng Dewi Rana, Senin (5/6/2023).
Dewi melihat penggunaan diksi persetubuhan yang oleh polisi seolah mengaburkan inti persoalan sebenarnya, yakni pemerkosaan. ”Seharusnya polisi lebih peka dan melihat kasus ini dari perspektif korban. Dia sudah terpukul secara mental, kondisinya juga kritis. Kekerasan seksual yang dilakukan orang dewasa kepada anak, entah menggunakan bujuk rayu atau iming-iming apa pun, adalah bentuk pemerkosaan,” paparnya.
Sementara itu, Save the Children juga melihat kasus ini sebagai kekerasan seksual kepada anak. Save the Children melihat kasus ini sebagai pelanggaran hak anak yang fundamental dan melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak.
”Selain itu, Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Kami meminta aparat penegak hukum memproses kasus ini dengan serius,” kata Yanti Kusumawardhani dari Child Protection, Save the Children.
Kepala Bidang Humas Polda Sulteng Komisaris Besar Djoko Wienartono yang dihubungi terpisah mengatakan, berdasarkan pemeriksaan, tidak ditemukan unsur pemerkosaan dalam kasus ini.
”Kami menyelidiki kasus ini sesuai aturan dan hukum yang berlaku begitu pula dalam penerapan pasal. Kami berlandaskan pada Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Para pelaku juga akan dikenai pasal yang sama,” paparnya.
Inti dari pasal ini adalah persetubuhan yang dilakukan dengan tipu muslihat dan rangkaian kebohongan membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain juga diancam dengan pidana yang sama.
”Kasus ini terjadi dengan melibatkan orang yang berbeda, di lokasi berbeda, dan di waktu yang berbeda pula. Berdasarkan pemeriksaan, korban melakukan persetubuhan karena bujuk rayu dan iming-iming. Adapun iming-iming ini di antaranya handphone, pakaian, uang, ditraktir makan, hingga dijanjikan pekerjaan,” tuturnya.
Sejauh ini, polisi menetapkan 11 tersangka dan mengamankan 10 di antaranya. Sebanyak delapan tersangka kini ditahan, termasuk seorang oknum anggota polisi. Dua lainnya dalam perjalanan ke Palu setelah ditangkap di dua lokasi berbeda, yakni di Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur pada Sabtu (3/6).
”Dua yang ditangkap di Kalimantan masih dalam perjalanan ke Palu. Ada satu tersangka lain yang buron dan masih kami buru. Yang oknum polisi telah kami tahan juga bersama tersangka lainnya,” kata Djoko.