Kekerasan Anak dan Ancaman Dunia Anomi
Kekerasan kepada anak terus berulang, terkini di Kota Malang dan Jombang, Jawa Timur. Calon-calon generasi emas Indonesia 2045 itu kini hidup dalam kesakitan. Jika tak ada solusi, ancaman dunia anomi segera nyata.
Setelah terjadi di Kota Malang, kini terungkap kasus kekerasan kepada anak di Jombang, Jawa Timur. Calon-calon generasi emas Indonesia 2045 itu kini masih hidup dalam kesakitan. Jika tak ada solusi, dunia anomi akan benar-benar hadir di depan mata.
Kasus kekerasan terhadap siswi kelas VI SD di Kota Malang tiba-tiba menyentak ketenangan. Bukan saja karena sadisme itu direkam dengan sadar oleh pelaku, melainkan juga karena sebelumnya korban mengalami kekerasan seksual oleh pelaku lain. Lebih mengejutkan lagi, para pelaku dan korban sama-sama masih berstatus anak.
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23/2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 tahun. Adapun korban masih berusia 13 tahun, pelaku kekerasan seksual berusia 17 tahun (tetapi sudah menikah sirih), dan pelaku penganiayaan rata-rata juga belum berusia 18 tahun.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, kasus kekerasan ini mencuat setelah seorang siswi kelas VI SD di Kota Malang, berusia 13 tahun (sebut saja namanya Bunga), dianiaya pada Kamis (18/11/2021). Video kekerasan itu viral di media sosial. Kasus tersebut dilaporkan ke Kepolisian Resor Kota (Polresta) Malang Kota pada Jumat (19/11) pukul 17.00 WIB oleh ibu korban, AN (35).
Baca Juga: Jauh dari Orangtua, Bunga Jadi Korban Kekerasan Seksual dan Penganiayaan
AN sehari-hari bekerja di Sidoarjo sebagai pekerja rumah tangga. Adapun ayah Bunga adalah penderita gangguan jiwa yang saat ini menjalani perawatan di daerah Wajak, Kabupaten Malang. Sehari-hari, Bunga tinggal di sebuah panti asuhan di Kota Malang.
Saat itu, AN melaporkan penganiayaan Bunga di daerah persawahan Jalan Polowijen (daerah sebelum perumahan mewah di Kota Malang). Nomor laporannya adalah LP/B/556/XI/2021/SPKT/POLRESTA MALANG KOTA/POLDA JAWA TIMUR. Terlapor dalam kasus itu disebutkan dalam penyidikan.
Sebelum mengalami pengeroyokan, Bunga menjadi korban kekerasan seksual oleh Y. Menurut pengakuan korban kepada kuasa hukumnya, Y berusia 20-an tahun dan sudah beristri.
Hari itu, korban diajak Y jalan-jalan keliling kota, sebelum kemudian diajak pulang ke rumah Y dan di tempat itu terjadi kekerasan seksual kepada Bunga. Tak lama, istri Y datang, dan kesal saat mendapati suaminya bersama perempuan lain. Si istri memanggil teman-temannya sehingga terjadilah pengeroyokan terhadap Bunga.
Menurut polisi, tindak kekerasan terhadap korban diduga akibat dipicu kekesalan sang istri dan teman-temannya saat mengetahui korban bersama dengan Y. Belakangan diketahui, Y dan istrinya masing-masing masih berusia 17 tahun dan 16 tahun.
”Kami sudah menetapkan tujuh tersangka dari kasus ini dan sudah menahan di antara mereka di sel anak di Polresta Malang. Satu tersangka atas kasus persetubuhan dan enam atas kasus kekerasan,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Malang Kota Komisaris Tinton Yudha Riambodo, Rabu (24/11). Satu tersangka tidak ditahan karena usianya di bawah 14 tahun.
Kasus tersebut menurut Tinton dipisah dalam dua berkas, yaitu kasus kekerasan seksual dan fisik. Untuk kasus kekerasan fisik, pelaku dijerat Pasal 80 UU No 35/2014 juncto UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 170 Ayat (2) KUHP, dan atau Pasal 33 Ayat (2) KUHP. Adapun kekerasan seksual terhadap anak dijerat dengan Pasal 81 UU No 35/2014 juncto UU No 23/2002 tentang Perubahan Perlindungan Anak.
”Ancaman hukuman untuk kekerasan anak adalah 7 tahun penjara. Adapun ancaman hukuman untuk persetubuhan anak adalah penjara 5-15 tahun penjara,” kata Tinton.
Oleh karena pelaku dan korban sama-sama anak, menurut Tinton, polisi akan membuka ruang diversi (semacam mediasi antara keluarga korban dan pelaku) sebagaimana aturan berlaku. ”Kami tetap akan melakukan diversi dalam kasus ini. Jika itu tidak berhasil, tentu proses akan terus jalan. Dengan diprosesnya secara hukum kasus ini, harapannya ini sudah menjadi efek jera bagi para pelaku,” tutur Tinton.
Baca Juga: Kekerasan Terus Berulang, Pemerintah Didesak Menutup Sekolah Penerbangan Batam
Belum tuntas kasus kekerasan terhadap anak di Kota Malang, kasus serupa juga muncul di Jombang. Kali ini, terungkap bocah berusia 14 tahun diperkosa oleh HPN (39), anggota persekutuan doa sebuah gereja di Jombang, Jawa Timur. Pemerkosaan dilakukan pelaku sejak 2 tahun lalu.
Pelaku mengaku bisa menyembuhkan penyakit melalui ritual doa. Ia adalah anggota persekutuan doa di sebuah gereja di Mojowarno, Jombang, tempat keluarga korban menjadi anggota jemaat di wilayah sana.
Tragisnya, orangtua si bocah percaya begitu saja. Adapun si bocah mau karena pelaku adalah hamba Tuhan, yang diyakini setiap perkataannya harus ditaati agar menjadi berkat.
Dua kasus di atas memang pada akhirnya terungkap dan diproses hukum. Lalu, apakah anak-anak kita sudah aman?
Baca Juga: Bruder Angelo Didakwa Melanggar UU Perlindungan Anak
Dalam Profil Anak Indonesia 2020 yang dibuat oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), tampak bahwa kasus kekerasan terhadap anak serta anak berhadapan dengan hukum masih cukup tinggi. Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat, pada 2019 ada 10.742 kasus kekerasan terhadap anak, dengan kasus terbanyak adalah kekerasan seksual.
Sementara laporan pengaduan anak berhadapan dengan hukum sebanyak 1.251 anak. Bareskrim Polri pun menyebut, pada 2019 jumlah anak sebagai pelaku tindak pidana mencapai 2.981 orang. Artinya, satu-dua kasus muncul belakangan ini hanyalah sebagian kecilnya saja.
Kekerasan anak di Kota Malang bahkan terjadi hampir setiap tahun. Sejak awal 2021 hingga saat ini, Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat (BKBPM) Kota Malang mencatat, telah terjadi 56 kasus kekerasan kepada anak. Dua kasus terbanyak adalah kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Pelakunya mulai dari kerabat dekat hingga orang lain.
Baca Juga: Kasus Kekerasan terhadap Anak di Kota Malang Harus Jadi Pembelajaran
Jika ditengok lebih dalam, kasus di Kota Malang rupanya terkait dengan banyak persoalan lain. Mulai dari ketidakberdayaan keluarga secara ekonomi sehingga Bunga harus tinggal terpisah dari ibunya sejak berusia 8 tahun (bunga tinggal di panti asuhan selama 5 tahun).
Kurangnya perhatian atas tumbuh kembang anak sehingga Bunga kemudian lebih banyak mencari informasi dari internet melalui telepon pintar dan akhirnya terjatuh dalam jaringan pertemanan yang tidak baik. Lokasi tinggal Bunga bahkan belum memiliki izin operasional. Tampak, kasus kekerasan terhadap Bunga hanya kepingan puzzle dari masalah yang lebih besar dan banyak.
Hidup tanpa kasih sayang orangtua membuat Bunga jatuh pada pertemanan yang tidak tepat. Teman-teman yang mengeroyoknya adalah anak-anak yang tinggal tidak jauh dari panti asuhan tempatnya hidup selama ini. Menurut pengakuan pihak panti, awalnya Bunga pendiam. Namun, sejak memegang ponsel, ia menjadi berubah dan banyak berbohong serta sering bolos sekolah.
Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang, Luluk Dwi Kumalasari, mengatakan, pada era digital serba cepat sekarang ini, tantangan mengasuh dan mendidik anak juga semakin berat. Ibaratnya, peran orangtua bertarung dengan peran serba bisa dari sebuah ponsel.
Era kekinian, pendidikan formal pun secara terpaksa harus dilakukan secara daring menggunakan ponsel/laptop. Hal itu dinilai Luluk bukan tanpa masalah. Menurut dia, pembelajaran secara daring tetap tidak bisa mengalahkan pembelajaran tatap muka.
”Dalam pembelajaran daring, mungkin transfer ilmu bisa dilakukan. Namun, transfer nilai tidak bisa terjadi,” kata Luluk. Dampaknya, nilai-nilai kemanusiaan, misalnya, tidak tersampaikan kepada anak.
Di era sekolah daring, anak tidak merasa bersalah menjawab soal ujian dengan salin dan tempel (copy dan paste) dari mesin pencari. Nilai-nilai tanggung jawab sebagai pelajar pun terpinggirkan. Semua bisa diatasi oleh mesin pencari. Yang penting, anak aktif menjawab dan mengerjakan semua tugas dari guru.
Dalam pembelajaran daring, mungkin transfer ilmu bisa dilakukan. Namun, transfer nilai tidak bisa terjadi.
Di sini, tampak anak dengan dampingan orangtua saja sangat mungkin tidak menerima transfer nilai-nilai kehidupan. Apalagi, pada anak-anak tanpa bimbingan dan arahan orang tua. Tidak terjadinya transfer nilai-nilai kehidupan ke anak pada akhirnya bisa menjadi masalah. Bisa dibayangkan jika di masa depan tidak ada nilai-nilai baik guna dijadikan pegangan. Yang terjadi kemudian adalah dunia anomi ala sosiolog Emile Durkheim. Anomi adalah dunia tanpa nilai, tidak teratur, dan kacau.
Rusydi Syahra, peneliti pada Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, pada 2000 menulis di jurnal Masyarakat dan Budaya Volume 3 bahwa anomi menyertai perubahan sosial.
Dalam situasi serba cepat seperti sekarang, seseorang dengan nilai-nilai hidup yang tidak kuat akan cenderung gelagapan atau gagap dalam memaknai perubahan. Jika tidak siap, ia akan limbung dan teralienasi. Dampaknya, seseorang bisa menjadi sangat agresif terhadap diri sendiri atau orang lain.
Mengutip Atteslander (1995), Rusydi menulis bahwa dalam perubahan sosial, guncangan akan terjadi jika kita tidak mampu mengikuti kecepatan perubahan. Sebab, keteraturan hidup masyarakat akan roboh. Adapun yang bisa bertahan adalah yang bisa memaknai perubahan dengan nilai-nilai. Sistem nilai budaya yang dipegang bisa digunakan untuk menafsirkan setiap perubahan.
Lalu, jika nilai-nilai dianut mulai luntur, bahkan hilang, bisa dibayangkan dunia anomi ala Emile Durkheim benar-benar menjadi nyata.
Baca Juga: Kekerasan Anak, Coreng Hitam bagi Malang Kota Pendidikan
Mungkin gambaran seram dunia anomi mengancam di kejauhan. Namun, setidaknya, kita harus mulai waspadai tanda-tandanya. Dua kasus kekerasan terhadap anak di atas harus membuat kita menelisik dalam dan mencari solusi. Kenapa kekerasan terhadap ada anak terus terulang. Jika teori defense mechanism atau mekanisme pertahanan ala Sigmund Freud benar, bisa jadi para pelaku pada masa lalu juga pernah menjadi korban/melihat hal yang sama.
Hal itu karena, menurut Freud, seseorang akan mempertahankan diri dengan melakukan pengalihan ancaman atau rasa sakit atau penderitaan kepada orang lain.
Kasus di Kota Malang, hal ini juga memunculkan fakta bahwa pelaku patut diduga melakukan pernikahan dini. Di usia 16-17 tahun, keduanya sudah membina keluarga meski secara siri. Artinya, persoalan kekerasan ini pun bersangkut-paut dengan masalah lain, yaitu pernikahan anak.
Di Indonesia, data Kementerian PPA menunjukkan bahwa pernikahan anak masih banyak terjadi. Pada 2018, perempuan usia 20-24 tahun yang melangsungkan perkawinan pertama kurang dari 15 tahun sebanyak 11,21 persen. Adapun pernikahan di bawah 18 tahun jumlahnya 0,56 persen. Jika dipetakan berdasarkan lokasi, perkawinan anak di perdesaan berkurang 5,76 persen, sementara di perkotaan hanya berkurang kurang dari 1 persen. Itu menunjukkan, penurunan angka perkawinan anak di perkotaan lebih lambat dibandingkan dengan di perdesaan.
Demikianlah, kasus-kasus di atas seolah menjadi lonceng pengingat bahwa menyongsong generasi emas Indonesia 2045 tidaklah mudah.
Baca Juga: Eksploitasi Hukum dan Anomi