Elan Kebangkitan Penyintas Tsunami Aceh Mengandalkan Berkah dari Laut Aceh
Kini sebagian besar pelaku usaha pengolahan ikan asin di Leupung telah bergabung dalam Koperasi Samudera Mandiri Syariah. Sesama anggota mereka saling mendukung untuk maju bersama.
Bencana tsunami tahun 2004 memorak-porandakan semua lini kehidupan di Aceh. Kini, para penyintas tsunami di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, bangkit melalui usaha mikro, salah satunya lewat usaha produksi garam dan pengolahan ikan asin. Laut yang pernah nyaris merenggut nyawa kini menjadi sandaran harapan untuk sejahtera.
Di bawah terik matahari Minggu (21/5/2023), Muhammad Hatta (53) berjalan di atas pematang kolam penampung air laut. Dengan menggunakan gayung, dia menciduk air lalu menuangkan ke dalam alat ukur kadar garam.
”Ini kadar keasinan masih empat. Kalau sudah enam, baru dipindahkan ke tunnel (terowongan),” kata Hatta.
Baca juga: UMKM Aceh Ramai-ramai Naik Kelas
Sejak 2019, Hatta mulai serius mengelola usaha produksi garam menggunakan sistem geomembran. Bantuan modal usaha sebanyak lima tunnel dari pemerintah daerah kini berkembang menjadi 15 tunnel.
Geomembran dan tunnel merupakan perangkat produksi garam menggunakan lapis kedap dari plastik khusus untuk mempercepat penguapan garam. Tunnel terbuat dari plastik putih tebal membentuk lorong sepanjang 20 meter, selebar 4 meter, dengan tinggi 1,5 meter. Bagian lantainya menggunakan plastik hitam. Modal membuat lorong itu sekitar Rp 15 juta per unit dengan masa pakai lima tahun.
Lorong plastik itu menyimpan suhu panas matahari sehingga mempercepat pengkristalan air laut menjadi garam.
Lahan produksi garam itu terletak di pantai Desa Pasi, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar. ”Dulu (lokasi) ini perkampungan, sekarang jadi pantai. Lokasi produksi garam saya ini dulunya sekolah dasar,” kata Hatta. Luasnya sekitar 2.000 meter persegi.
Tsunami pada 26 Desember 2004 menyapu Desa Pasi. Dari ratusan warga yang tinggal di kawasan itu, hanya 13 orang yang selamat. Hatta salah satunya meski dia nyaris mati karena diseret tsunami. Istri, tiga anak, dan keluarga besar meninggal.
Hatta sempat patah semangat dan takut pada laut. Namun, darah nelayan yang mengalir di tubuhnya membuat dia tidak kuasa menjauh dari samudra. ”Laut tempat kami hidup. Di sini tempat saya lahir dan mati,” kata Hatta.
Hatta memutuskan menikah lagi. Kini ia memiliki tiga anak. Beberapa tahun menjadi nelayan, ekonomi tidak kunjung membaik. Hingga akhirnya dia membuat garam dengan pola tradisional. Usaha Hatta diperkuat oleh pemerintah daerah dengan bantuan geomembran.
Dari satu tunnel dia bisa menghasilkan maksimal 250 kilogram garam per 20 hari. Rata-rata produksi 4 ton dalam 40 hari. Masa panen diatur berkala agar setiap minggu ada produksi.
Bahan baku air laut tidak akan pernah habis, begitu juga sinar matahari. Kita tinggal mengolahnya saja. (Muhammad Hatta)
Garam yang diberi nama ”Mon Kuta” itu dipasarkan ke warung-warung desa di Kecamatan Lhoong dan Kecamatan Lamno, Kabupaten Aceh Jaya. Harga jual Rp 7.000 per kilogram. ”Sebulan pendapatan bersih atau keuntungan sekitar Rp 10 juta,” kata Hatta.
Penghasilan sebesar itu lebih dari cukup untuk menghidupi istri dan tiga anaknya. Hatta bersyukur tinggal di Lhoong yang dianugerahi laut, sawah, dan gunung. ”Alam menyediakan semua yang kita butuhkan, tetapi kita jangan malas,” kata Hatta.
Usaha garam itu dikelola bersama istri. Sistem geomembran tidak terlalu ribet dibandingkan pola tradisional, memasak. Air laut disedot menggunakan pompa lalu ditampung di kolam penampungan. Saat kadar garam telah mencapai enam baru dipindahkan ke tunnel.
Baca juga: Aceh Perbanyak Usaha Lokal Bahan Baku Nilam
Setelah menunggu 15-20 hari, air laut itu mengkristal menjadi butiran garam. Warnanya putih bersih dengan kadar NaCL mencapai 96 persen lebih tinggi 6,12 persen dibandingkan garam tradisional.
Jarak tunnel dari bibir pantai hanya 50 meter. Hatta menyebutkan air laut di sana tidak terkontaminasi sehingga kualitas garamnya tinggi. Belakangan cuaca cukup panas sehingga mempercepat masa panen.
”Bahan baku air laut tidak akan pernah habis, begitu juga sinar matahari. Kita tinggal mengolahnya saja,” kata Hatta.
Melihat pasar yang terbuka lebar, Hatta berniat memperluas lahan produksi. ”Permintaan pasar tinggi belum mampu saya penuhi,” ujar Hatta.
Ikan asin
Berjarak 40 kilometer dari Desa Pasi, deretan kios penjual olahan ikan asin berjejer di sepanjang jalan nasional Banda Aceh-Meulaboh. Ikan asin produksi warga Kecamatan Leupung, Aceh Besar, kini berkembang pesat. Dari sisi kemasan kian menarik, administrasi usaha sudah lengkap, dan daya jangkau penjualan semakin jauh.
Leupung berada di pesisir Samudra Hindia. Sama halnya dengan Lhoong, saat tsunami kawasan ini lenyap ditelan air bah. Warga kemudian bangkit dengan usaha olah ikan asin.
Kini sebagian besar pelaku usaha pengolahan ikan asin di Leupung telah bergabung dalam Koperasi Samudera Mandiri Syariah. Sesama anggota mereka saling mendukung untuk maju bersama.
Bendahara Koperasi Samudera Mandiri Syariah Bismiana menuturkan, usaha mereka mulai berkembang. Dulu mereka hanya mengandalkan pembeli yang melintasi jalan nasional itu, tetapi kini mereka ikan asin Leupung sudah menembus swalayan modern.
Bismiana masih ingat beberapa tahun setelah tsunami mereka masih menjual secara tradisional. Kemasan menggunakan plastik bening tanpa embel-embel merek.
Namun, setelah pembentukan koperasi pada 2021, atas dampingan sebuah yayasan lokal, mereka berbenah. Kemasan didesain ulang dengan tampilan lebih menarik, seperti kemasan camilan pabrik. Para anggota diajarkan cara membuat pembukuan sehingga kini mereka bisa mudah mengakses pembiayaan ke perbankan.
Baca juga: Yang Muda yang Pengusaha
Saat pandemi Covid-19, usaha pengolahan ikan asin Leupung tidak tumbang karena mereka mulai berjualan melalui toko daring. ”Sekarang rata-rata penjualan anggota koperasi sebulan mencapai Rp 20 juta, ada juga yang mencapai Rp 40 juta. Lebih sejahteralah,” ujar Bismiana.
Saat kunjungan kerja Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki, Minggu (14/5/2023), dalam acara Musyawarah Kerja Nasional Kontak Nelayan Tradisional Indonesia, di Kabupaten Aceh Besar, beberapa anggota Koperasi Samudera Mandiri Syariah memamerkan produk.
”Dulu kami kurang percaya diri, sekarang tampilan produk kami tidak kalah dengan yang di supermarket,” ujar Bismiana.
Teten mengatakan, usaha mikro, kecil, dan menengah adalah kekuatan ekonomi nasional. Namun, sektor kelautan perikanan belum tergali maksimum. Padahal, Indonesia punya sumber daya kelautan yang kaya.
Menurut Teten, kelemahan usaha kecil dan menengah karena masih bergerak secara individu sehingga akses ke perbankan dan teknologi sulit didapat.
Banyak UKM yang sebenarnya dalam kondisi sehat, tetapi, kata Teten, saat hendak mengakses modal ke perbankan dianggap tidak bankable atau tidak memenuhi syarat karena tidak memiliki catatan keuangan.
Namun, jika bergabung dengan koperasi, para anggota dapat saling berbagi ilmu, seperti pembukuan, pemasaran, hingga peningkatan produksi. ”Melalui koperasi, usaha di sektor kelautan akan semakin kuat,” ujar Teten.
Produk UKM di sektor kelautan perikanan di Provinsi Aceh mulai bermunculan, seperti pengolahan ikan, kerupuk tiram, hingga produksi garam.
Namun, menurut Teten, ada tiga masalah yang dihadapi pelaku UKM yang membuat mereka sukar berkembang, yakni kesulitan memperoleh pembiayaan, minim sentuhan teknologi, dan kelemahan akses pasar. Oleh karena itu, koperasi berkewajiban mencari solusi atas persoalan tersebut, misalnya dengan melakukan pelatihan pembukuan, pengenalan teknologi, hingga pelatihan penjualan melalui pasar dalam jaringan.
Penjabat Bupati Aceh Besar Muhammad Iswanto mengatakan, jumlah usaha mikro di Aceh Besar kini mencapai 38.000 usaha. Jika setiap usaha melibatkan tiga orang, ada 114.000 pekerja yang tertampung.
Baca juga: Perbankan Siap Salurkan Kredit Usaha Rakyat Rp 373,17 Triliun
Adapun jumlah penduduk Aceh Besar 414.490 jiwa dengan jumlah pengangguran terbuka sebesar 8,28 persen atau 34.300 orang. ”Semakin berkembang usaha warga, semakin banyak lapangan pekerjaan dan pengangguran berkurang,” kata Iswanto.
Aceh Besar sebagai penyangga ibu kota Provinsi Aceh memiliki pasar yang luas untuk menjual produk usaha mikro hingga menengah. Selain itu, sebagai daerah yang dikaruniai laut, hutan, dan pertanian, membuat Aceh Besar memiliki bahan baku yang melimpah untuk mendorong pertumbuhan usaha mikro di akar rumput.
Melalui Pusat Layanan Usaha Terpadu Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PLUT-KUMKM), Pemkab Aceh Besar mendampingi pelaku usaha mengurus administrasi, merek, sertifikat halal, SNI, dan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.
”Sebagian kami bantu modal usaha dan pendampingan. Jika didampingi, mereka berkembang lebih cepat,” kata Iswanto. Pendampingan yang memadai dibutuhkan warga untuk mampu berkreasi.
Baca juga: Potret dan Tantangan UMKM di Indonesia