UMKM Aceh Ramai-ramai Naik Kelas
Di usia yang ke-66, Pemprov Aceh mengeluarkan kebijakan katalog elektronik lokal pada daftar belanja yang menggunakan anggaran daerah. Penjualan produk lokal mencapai Rp 979,034 miliar, mendorong pergerakan UMKM.
Pada 7 Desember 2022, Provinsi Aceh genap berusia 66 tahun. Ragam sejarah mengisi perjalanan provinsi paling barat Indonesia itu, mulai dari konflik bersenjata, gempa dan tsunami, hingga perdamaian Helsinki. Usaha pembangunan untuk menyejahterakan warganya terus dilakukan, salah satunya melalui program pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Sejumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Aceh mulai berkembang. Produksi meningkat, pemasaran meluas, dan daya serap pekerja bertambah, seperti usaha kerajinan tangan Bili Droe.
Pengujung tahun 2022 ini menjadi waktu paling sibuk bagi Ulfa Fithria (34), pemilik Bili Droe. Pesanan datang bersamaan dengan agenda pameran. Ulfa harus bersiasat mengurus pameran dan mengontrol produksi.
Proses produksi dilakukan di Desa Lampanah, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, sekitar 30 meter dari Kota Banda Aceh. Kawasan itu terhubung dengan hutan Seulawah.
“Satu pekan ini sudah dua kali Bili Droe ikut pameran. Bulan depan (Desember) ada pameran lagi di Penang, Malaysia. Pameran pertama luar negeri bagi Bili Droe,” kata Ulfa saat ditemui dalam acara pameran Wirausaha Unggulan Bank Indonesia Provinsi Aceh, Rabu (30/11/2022).
Baca juga : Selamatkan UMKM untuk Perkuat Ekonomi Aceh
Sementara pesanan juga harus disiapkan sesuai target. Pesanan datang bukan dari konsumen biasa, tetapi istri Panglima TNI Andika Perkasa. Kabarnya, keranjang Bili Droe dijadikan bagian dari buah tangan dalam sebuah acara di Jakarta.
Para perajin harus berbagi waktu antara mengurus rumah, mengelola sawah, dan menganyam. ”Dipesan 40 buah, harus siap dua hari. Ibu-ibu perajin harus bekerja keras menyiapkan pesanan,” kata Ulfa.
Bili Droe adalah usaha kerajinan berbahan batang bemban yang dalam bahasa Aceh disebut bili (Donax canniformis). Adapun nama droe, dalam bahasa Aceh, berarti milik kita/saya. Penabalan Bili Droe sebagai nama usaha, kata Ulfa, untuk memperkuat citra bahwa produk itu adalah produk lokal dari Aceh.
Batang bemban yang sudah dikeringkan itu dianyam menjadi ragam perlengkapan seperti keranjang, bakul nasi, tas, kotak tisu, dan dompet. Batang bemban sebagai bahan baku mudah ditemukan karena tumbuh melimpah di lahan-lahan warga.
Baca juga : UMKM di Banda Aceh Tumbuh Pesat
Usaha warisan
Kerajinan berbahan bemban itu telah digeluti oleh warga Lampanah sejak 1980-an. Dulu hasil anyaman digunakan untuk keperluan sendiri, bukan dijual. Kemampuan menganyam warga diwariskan turun-temurun.
Ulfa yang lahir dan besar di Lampanah sejak remaja sudah mampu menganyam. Ibunya mengelola kelompok perajin bernama Tunas Karya. Namun, saat ibunya mulai lansia, Ulfa berinisiatif mengelola kelompok usaha ini lebih serius.
Ulfa menilai pada era modern nama usaha Tunas Karya tidak lagi menjual sehingga menggantinya dengan Bili Droe. Ulfa juga mengurus semua perizinan dan hak kekayaan intelektual (HKI). Logo yang dianggap kuno diganti dengan yang lebih modern.
”Kami menyadari, pendampingan dari Pemkab Aceh Besar dan Bank Indonesia (kantor perwakilan Aceh) membuat Bili Droe berkembang,” kata Ulfa.
Ulfa juga diajari membuat pembukuan hingga mendapatkan pendampingan pengelolaan media sosial untuk promosi produk.
Penjualan terus meningkat. Bulan lalu, penjualan mencapai Rp 20 juta. Harga produk bervariasi, mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 300.000 per buah.
Usaha Bili Droe pun memiliki 15 perajin tetap, tetapi jika banyak pesanan dia akan melibatkan perajin di luar kelompok.
Selain Bili Droe, usaha kuliner Bitata Food milik pasangan suami istri Anshar Zulhelmi dan Ratu Nur Annisa juga terus berkembang pesat. Bitata Food memproduksi ragam produk olahan seperti bumbu nasi minyak, bawang goreng, keripik kentang, dan stik keju.
Baca juga : Pemprov Aceh Akan Salurkan Rp 27,5 Miliar untuk 1.660 Pelaku UMKM
Dari awalnya usaha rumahan, kini Bitata Food telah memiliki rumah khusus produksi. Awalnya Anshar dan istrinya menjual produknya dari pintu ke pintu, kini produk mereka telah mengisi rak minimarket dan supermarket, seperti Indomaret, Alfamart, dan Hypermart di Dubai, Uni Emirat Arab.
Ratu sebenarnya sudah mulai memproduksi kue sejak 2017, tetapi usaha Bitata Food dibangun setelah ia menikah dengan Anshar pada 2018. Mereka menggunakan merek Bitata, singkatan dari ”biar tambah takwa”. Produk pertamanya adalah bumbu nasi minyak. Pada tahun yang sama, Bitata telah meluncurkan produk lain.
Untuk membangun jaringan, Bitata nyaris tidak pernah alpa mengikuti pameran produk UMKM. Karyawan yang semula hanya dua orang kini telah bertambah menjadi 13 orang. Menyadari pentingnya promosi melalui media sosial, Bitata juga memiliki kreator konten untuk aplikasi Tiktok, Instagram, dan Youtube. Kini Bitata telah bermitra dengan 108 toko. Penjualan juga dilakukan melalui toko daring. ”Sebagian pelanggan menjadikan Bitata Food sebagai oleh-oleh saat ke luar negeri,” kata Ratu
Pada puncak pameran Apresiasi Kreasi Indonesia yang diselenggarakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) di Banten, Bitata Food menjadi salah satu finalis terbaik.
Naik kelas
Bili Droe dan Bitata Food adalah dua dari sekian banyak UMKM di Aceh yang mengalami kemajuan pesat. Inovasi yang dilakukan pelaku usaha dan pendampingan dari pemerintah setempat membuat usaha-usaha berbasis rumahan terus berkembang.
Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Aceh Azhari menuturkan, usaha berbasis masyarakat merupakan tulang punggung ekonomi daerah. Perputaran uang di sektor UMKM cukup besar dan berdampak langsung pada kesejahteraan warga.
Baca juga : Presiden Jokowi Serahkan Banpres Produktif di Aceh
”Penyerapan tenaga kerja juga besar. Artinya, semakin banyak UMKM, potensi pengangguran semakin minim,” ujar Azhari. Adapun jumlah penganggur terbuka di Aceh mencapai 6,30 persen dari jumlah penduduk 5,3 juta jiwa, dengan angka kemiskinan pada Maret 2022 mencapai 14,64 persen.
Pihaknya terus mendorong anak-anak muda berani berusaha. ”Anak muda jangan malu jadi wirausaha. Harus kreatif memanfaatkan peluang yang ada,” ujar Azhari. Saat ketersediaan lapangan pekerjaan sempit, UMKM menjadi harapan.
Data Dinas Koperasi dan UKM Aceh tahun 2021 menunjukkan, jumlah UMKM di Aceh mencapai 259.749 unit. Usaha itu tersebar di 23 kabupaten/kota. Namun, tidak semua UMKM itu berkembang.
Azhari menuturkan, pemerintah terus melakukan pendampingan, menyalurkan bantuan alat kerja, hingga memfasilitasi pemasaran. Sebagian UMKM yang didampingi mengalami kemajuan. ”Kami memperkirakan setahun ada 2 persen UMKM di Aceh yang naik kelas,” katanya. Indikator naik kelas di antaranya administrasi perizinan sudah rampung, produksi dan penjualan meningkat, serta daya serap tenaga kerja bertambah.
Kami memperkirakan setahun ada 2 persen UMKM di Aceh yang naik kelas.
Kebangkitan UMKM di Aceh tidak terlepas dari kebijakan pemerintah setempat. Melalui penerbitan katalog elektronik lokal dan toko daring di lingkungan Pemerintah Provinsi Aceh, penjualan produk lokal mencapai Rp 979,034 miliar.
Penjabat Gubernur Aceh Achmad Marzuki mengatakan, sebagai komitmen Pemprov Aceh mendukung UMKM, pihaknya telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 900/14139/2022 tanggal 8 September 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri melalui Katalog Elektronik Lokal dan Toko Daring di Lingkungan Pemerintah Aceh.
Kini produk lokal Aceh telah tersedia dalam etalase daring pengadaan barang dan jasa pada sistem elektronik katalog Pemprov Aceh. Produk lokal menjadi prioritas dalam aktivitas belanja barang dan jasa yang dibiayai oleh anggaran daerah.
”Langkah ini untuk mengoptimalkan penggunaan produk dalam negeri dan produk usaha mikro, usaha kecil, dan koperasi dalam rangka menyukseskan gerakan bangga buatan Indonesia,” ujar Marzuki.
Dalam katalog elektronik itu terdapat lebih dari 35 etalase, mulai dari peralatan kantor, sarana produksi hortikultura, marka jalan, bahan pokok, pakaian dinas, makanan dan minuman, servis elektronik, hingga peralatan perikanan. Minat pelaku usaha untuk menayangkan produk usaha di e-katalog lokal Pemprov Aceh tinggi, yakni mencapai 1.195 penyedia. Secara nasional, Aceh berada di urutan kedua nasional transaksi dalam katalog elektronik lokal.
Dari nilai belanja Rp 979,034 miliar, sebesar Rp 972,979 miliar adalah hasil belanja oleh satuan kerja Pemprov Aceh dan Rp 6,055 miliar dibelanjakan oleh Pemkot Langsa, Sabang, Pemkab Aceh Besar, Aceh Barat, Pidie, Kejaksaan Tinggi Aceh, dan Universitas Syiah Kuala.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh Achris Sarwani mengatakan, angka kemiskinan dan dan pengangguran di Aceh masih tinggi. Salah satu cara paling mudah mengeluarkan seseorang dari lingkaran kemiskinan adalah dengan meningkatkan pendapatan. ”Agar orang punya pendapatan, dia harus punya usaha produktif. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah,” kata Achris.
Pada 2028, Aceh tidak akan lagi mendapatkan dana otonomi khusus. Oleh karena itu, UMKM menjadi sandaran pembangunan ekonomi masa depan. Aceh harus optimistis akan menjadi provinsi yang maju dengan warga yang sejahtera.
Baca juga : Aceh Jaga Stok Pangan dan Kuatkan Usaha Kecil dari Pandemi