Etnis Tionghoa Didorong Berperan di Luar Sektor Ekonomi
Pada era penjajahan Belanda dan Orde Baru, kiprah etnis Tionghoa direduksi hanya berkutat dalam bidang ekonomi. Padahal, sejatinya sangat beragam.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Etnis Tionghoa didorong berperan lebih dalam kehidupan berkebangsaan sehingga tidak hanya berkecimpung dalam bidang ekonomi. Sebab, akar sejarah tokoh Tionghoa di Tanah Air cukup panjang dan beragam.
Demikian benang merah dalam peluncuran ulang buku Putri China karya Sindhunata, Rabu (24/05/2023), di SMAK Kolese Santo Yusuf, Malang. Dalam acara itu, hadir sebagai pembicara Sindhunata (sastrawan), Agustinus Indradi (dosen Bahasa Indonesia di Universitas Katolik Widyakarya Malang), dan Michelle Aveline Gracia Chandra (cece/putri kampus Universitas Ma Chung 2022).
Adapun hadir menyaksikan acara itu siswa dan mahasiswa Tionghoa di Malang, beberapa tokoh Tionghoa Malang, dan masyarakat umum.
Buku Putri China merupakan fiksi yang terinspirasi dari tragedi kerusuhan Mei 1998. Saat itu banyak perempuan Tionghoa menjadi korban kebiadaban. Namun, kisah itu tidak pernah dengan terang dijelaskan.
Novel dibuka dengan sajak T’ao Ch’ien yang selalu diingat Putri China:
Manusia ini tak punya akar,
Dia diterbangkan ke mana-mana seperti debu yang berhamburan di jalan
Ke segala arah, bertumbukan dengan angin
Ia jatuh terguling-guling.
Memang hidup kita ini sangatlah pendek
Kita datang ke dunia ini sebagai saudara, tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah?
Adapun buku tersebut ditutup dengan kisah cinta tragis Giok Tien dan Gurdo Paksi yang mirip Sampek Engtay. Keduanya digambarkan berubah menjadi sepasang kupu-kupu cinta yang tak lagi memisahkan antara Jawa dan China.
”Buku ini tentang pergulatan pencarian identitas diri saya dan diri kita. Sulit sekali kita menerima identitas kita sehingga kita ketakutan, lari dari identitas ini, dan seterusnya. Kita tak mudah menerima itu. Tapi, marilah kita sadar banyak hal bisa kita sumbangkan kepada bangsa dan masyarakat dan bangsa sebagai etnis Tionghoa. Walaupun, dalam perjalanannya banyak tekanan,” kata Sindhunata (71).
Sindhunata menjelaskan garis besar arah bukunya. Ia adalah pastor Jesuit sekaligus sastrawan keturunan Tionghoa. Ia putra pasangan Liem Swie Bie dan Koo Soen Ling.
Buku Putri China setebal 304 tersebut terbit pertama kali pada November 2017. Tahun ini adalah cetakan keempatnya. Latar belakang kisah fiksi sejarah tersebut adalah tragedi kerusuhan Mei 1998.
”Trauma atas tragedi ini tidak dibuka sampai sekarang dan itu terus membayangi. Dengan buku ini, saya coba untuk memaparkan bahwa tidak mudah menerima trauma ini, tapi kita harus keluar dari itu,” katanya.
Sindhunata menyebutkan bahwa pada era penjajahan Belanda dan orde baru, kiprah etnis Tionghoa direduksi hanya berkutat dalam bidang ekonomi, menjadi ”makhluk ekonomi”. Padahal, sejatinya, kiprah tokoh Tionghoa di Tanah Air sangat beragam, termasuk dalam bidang sastra.
Mengutip pernyataan Cladine Salmon, Sindhunata menyebut bahwa tokoh Tionghoa sudah memelopori Kesusastraan Melayu Tionghoa sepanjang 1870-1960. Saat itu, etnis Tionghoa memiliki 806 penulis yang menghasilkan 3.005 karya.
Namun, kesusastraan Melayu Tionghoa tersebut, menurut Sindhunata, tidak diakui. Sastra Indonesia ditandai usai munculnya Balai Pustaka pada tahun 1918.
Sulit sekali kita menerima identitas kita sehingga kita ketakutan, lari dari identitas ini, dan seterusnya.
Sebut saja Kwee Tek Hoay (1885-1952), seorang jurnalis, sastrawan, penulis dan penerbit buku. Ia menulis sekitar 200 karya. Ada juga beberapa nama lain, seperti sastrawan Thio Tjin Boen, ilustrator Siauw Tik Kie, dan lainnya.
”Kesusastraan Melayu Tionghoa dahulu cukup maju. Kenapa sekarang tidak? Orang Tionghoa tidak hanya pandai berdagang. Dalam sejarahnya, orang Tionghoa punya banyak peran,” kata Sindhunata.
Oleh karena itu, Sindhunata mengajak generasi muda Tionghoa untuk tidak hanya terjebak pada dunia ekonomi semata. Ia berharap akan lahir tokoh-tokoh muda Tionghoa di bidang-bidang lain, termasuk sastra.
”Kuncinya adalah menghindari eksklusivisme yang malah akan merugikan. Eksklusivisme menyusup karena homogen. Maka, kita harus menggugat diri terus agar kita bisa keluar dari eksklusivisme itu. Beranikah kita menggali yang positif dan mengkritik yang negatif di mana kita serakah harta, misalnya, untuk mengenalkan nilai-nilai Tionghoa?” pertanyaan Sindhunata.
Di ujung acara, Sindhunata mengajak anak muda untuk tidak takut mengakui jati diri sebagai keturunan Tionghoa. ”Terimalah dan berikan sebaik mungkin. Karena, kejujuran dan ketulusan akan bernilai buat kita semua,” katanya.
Pernyataan Sindhunata itu diterjemahkan oleh dosen Bahasa Indonesia di Universitas Katolik Widyakarya, Malang, Agustinus Indradi, sebagai ”kalau ada pilihan, pilihlah yang terbaik. Namun, jika tidak ada pilihan, lakukanlah yang terbaik”.
”Itulah, menurut saya, gambaran dari buku Putri China. Bahwa, disebutkan tidak ada yang baru dalam dunia ini. Semua sekadar pengulangan sejarah yang terjadi meski dengan rentang dan kadar berbeda-beda,” katanya.
Untuk menyemangati generasi muda Tionghoa saat itu, Cece Universitas Ma Chung 2022, Michelle Aveline Gracia Chandra, mengajak adik-adik kelasnya di SMAK Kolese Santo Yusuf untuk aktif berkegiatan, tidak hanya di dalam sekolah, tetapi juga di luar. Dengan beraktivitas di luar sekolah atau kampus, maka mindset kita akan terbuka.
Dari berkegiatan, maka bisa mengenali masyarakat luar, mengetahui pandangan mereka terhadap etnis lain, dan belajar bagaimana menghadapi beragam persoalan yang ditemukan di lapangan. Menurut dia, selama ia berbuat baik kepada orang lain, maka orang lain juga akan berbuat baik kepadanya.