Dianggap Kemunduran, Ketiadaan Perempuan sebagai Komisioner KPU Sumbar Dikritik
Keputusan tak memilih satu pun kandidat perempuan sebagai anggota KPU Sumbar periode 2023-2028 dinilai sebagai kemunduran.
Oleh
YOLA SASTRA, Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia atau KPU RI tak memilih satu pun kandidat perempuan sebagai anggota KPU Provinsi Sumatera Barat periode 2023-2028 dikritik sejumlah pihak. Hasil pemilihan tersebut dinilai sebagai sebuah kemunduran.
Melalui pengumuman Nomor 51/SDM.12-Pu/04/2023 pada 20 Mei 2023, KPU RI merilis lima nama anggota KPU Sumbar terpilih untuk periode 2023-2028. Kelima nama itu adalah Hamdan, Jons Manedi, Medo Patria, Ory Sativa Syakban, dan Surya Efitrimen.
Tidak ada satu perempuan pun dalam daftar tersebut. Padahal, dalam pengumuman hasil seleksi pada 24 Maret 2023, ada dua perempuan dari sepuluh calon anggota KPU Sumbar yang dinyatakan lolos oleh tim seleksi. Mereka adalah Atika Triana dan Gadis M Walakin, keputusan final KPU RI tak memilih satu pun di antara keduanya.
”Ketiadaan perempuan ini memperkuat persepsi kami terhadap KPU yang tidak punya perspektif kesetaraan jender dalam konteks membangun kesetaraan partisipasi politik antara perempuan dan laki-laki,” kata Charles Simabura, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, di Padang, Sumbar, Rabu (24/5/2023).
Charles melanjutkan, ketiadaan perspektif jender itu dapat dilihat pula dalam Peraturan KPU terbaru terkait dengan pencalonan anggota DPR yang juga ramai dikritik. Peraturan itu mendegradasi keterwakilan perempuan yang mengakibatkan berkurangnya kuota perwakilan perempuan di pencalonan DPR ataupun DPRD.
Perihal keterwakilan perempuan sebagai anggota KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diatur dalam Pasal 10 Ayat (7) dan Pasal 92 Ayat (11) Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Dalam UU disebutkan, komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Menurut Charles, peraturan KPU terkait keterwakilan perempuan ini tidak berubah sama sekali. Namun, implementasi dari regulasi tersebut oleh anggota KPU RI justru menurun. Dalam konteks Sumbar, misalnya, untuk periode sebelumnya, ada satu perempuan dari lima anggota/komisioner KPU Sumbar, bahkan belakangan menjadi ketua.
”Dulu ada perempuannya, sekarang tidak ada. Itu suatu kemunduran. Kita kembali ke era dulu di awal-awal kita memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di ruang publik, terutama pada jabatan-jabatan di KPU dan Bawaslu,” ujar dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas ini.
Secara nasional, kata Charles, masalah ini sudah dimulai sejak penentuan tim seleksi (timsel) anggota KPU. Beberapa timsel tidak ada keterwakilan perempuan, termasuk timsel KPU Sumbar. Walakin, timsel KPU di Sumbar, meskipun kelima anggotanya laki-laki, masih memperhatikan keterwakilan perempuan dengan meloloskan dua perempuan dari sepuluh calon anggota KPU.
Ternyata keputusan akhir dari KPU jauh dari perspektif keterwakilan perempuan.
”Meskipun hasil kerja timsel di Sumbar sudah merepresentasikan keterwakilan perempuan, ternyata keputusan akhir dari KPU jauh dari perspektif keterwakilan perempuan. Itu mengonfirmasi kami bahwa dalam pikiran KPU dan Bawaslu, keterwakilan perempuan bukan sesuatu yang patut diperhatikan. Preferensinya hanya mengedepankan hubungan secara kelompok/organisasi tertentu,” ujarnya.
Charles menyebut, sebenarnya kedua perempuan yang lolos sepuluh besar calon anggota KPU Sumbar itu punya preferensi tertentu. ”Tapi, saya khawatir, jangan-jangan ini karena mereka punya pengalaman, mungkin perempuan agak susah diajak berkompromi atau bernegosiasi dalam hal-hal ’menyimpang’ mungkin karena lebih banyak pertimbangan dan risiko,” katanya.
Ditambahkan, kondisi ini menjadi peringatan bagi semua. Sebab, bukan tidak mungkin kejadian di KPU juga berimbas di institusi lain, termasuk Bawaslu. Upaya mendorong lebih luasnya keterwakilan perempuan mendapat tantangan besar karena dihadapkan pada kondisi mundurnya perspektif penyelenggara negara dalam memperkuat keterwakilan perempuan itu.
”Ini perlu dicatat bersama agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Sekarang Bawaslu juga sedang proses seleksi anggota Bawaslu di daerah. Saya khawatir ini jadi preseden. ’KPU saja kemarin boleh kok.’ Saya khawatir ini justru nanti direplikasi lagi dalam seleksi anggota Bawaslu,” ujarnya.
Afirmasi
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Padang sekaligus anggota Jaringan Peduli Perempuan Sumbar Indira Suryani mengatakan, dalam UU Pemilu diatur soal tindakan afirmatif (affirmative action) yang memberikan tempat lebih bagi perempuan. Namun, kadang-kadang, aturan itu diabaikan di lapangan.
Hal yang terjadi pada keanggotaan KPU Sumbar, kata Indira, mesti jadi catatan. Berarti memang orang-orang yang memilih anggota KPU Sumbar saat ini tidak sensitif jender dan tidak memperhatikan aturan yang ada. Mereka tidak membuka ruang bagi keterlibatan perempuan.
”Ada dua perempuan masuk daftar sepuluh besar calon anggota. Tetapi, tidak satu pun dipilih. Ini menunjukkan KPU RI tidak sensitif jender, tidak mengerti affirmative action, tidak memberi ruang lebih untuk keterlibatan perempuan. Akhirnya, lagi-lagi pemilu kita jadi maskulin, tidak setara dan seimbang dalam hal jender,” ujar Indira.
Menurut Indira, selama ini perempuan selalu distigma tidak mampu dalam proses profesional di bidang sosial, ketatanegaraan, dan sebagainya. Stigma-stigma ini mestinya dihapus dan memberikan perspektif terhadap tindakan afirmatif yang lebih dalam lagi.
Menanggapi kritik tentang minimnya keterwakilan perempuan sebagai anggota KPU provinsi, Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari di Jakarta, Rabu, mengatakan, hasil final anggota KPU ditentukan berdasarkan hasil seleksi. KPU melihat kemampuan tiap-tiap calon anggota yang diusulkan oleh timsel.
”Ya ada (kebijakan afirmasi terhadap perempuan), tetapi yang namanya seleksi itu, kan, sesuai kemampuan masing masing. Standarnya sama, soalnya sama,” kata Hasyim ketika diwawancarai seusai pelantikan anggota KPU periode 2023-2028 dari 20 provinsi.