Mikro, Transportasi yang Masih Menjadi Andalan Manado
Mikro adalah angkutan kota yang paling murah dan mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat Manado, Sulawesi Utara. Karena itu, meski jumlahnya terus menurun, banyak yang masih mengandalkannya untuk mobilitas.
Mobil-mobil tua berkelir biru langit berkerubung bak semut di Jalan Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara. Sopir-sopirnya berhenti sesuka hati di lajur kiri jalan satu arah tersebut, tak jauh dari tugu Zero Point di pusat ibu kota Sulawesi Utara itu.
Macet pun tak terhindarkan. Siang terik pada Rabu (10/5/2023) itu terasa makin mendidih buat pengendara mobil dan sepeda motor lainnya. Klakson mereka bersahutan, seolah menghardik gerombolan mobil-mobil biru langit tersebut untuk minggir, tetapi tak digubris.
Namanya juga sopir mikrolet, atau yang lebih dikenal di Manado sebagai mikro. Klakson sekeras apa pun tak akan mengganggu fokus mereka dalam membujuk orang-orang yang berdiri di trotoar agar mau naik.
Triman (53), sopir trayek Zero Point-Terminal Malalayang, termasuk di antaranya. ”Malalayang, Cewek? Malalayang, Bu? Malalayang! Malalayang!” serunya sambil berusaha melongok ke jendela kiri dari kursi sopir di sebelah kanan. Namun, tak ada yang menyambut tawarannya.
Ia baru mendapat penumpang setelah melaju sekian ratus meter dan memutuskan untuk memangkas jarak tempuh trayeknya, dari yang seharusnya 7,8 kilometer antara Zero Point dan Terminal Malalayang di ujung selatan kota menjadi sekitar 2 km saja menuju Manado Townsquare (Mantos) di Jalan Boulevard Piere Tendean.
”Mantos, Cewek?” serunya kepada seorang gadis. Si gadis mengangguk, lalu naik ke kabin belakang Mitsubishi Colt T120 keluaran 1990-an yang Triman kemudikan. Sekadar catatan, ”cewek” adalah sapaan umum bagi perempuan muda di Kota Manado, layaknya ”mbak” di Jawa.
Di depan Mantos, perempuan itu meminta mikro berhenti di kiri, ”Muka, Om.” Ia turun, lalu memberi uang senilai Rp 6.000, tarif mikro yang berlaku sejak harga pertalite naik dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000 per liter pada September 2022. Sebelumnya, tarif perjalanan jauh ataupun dekat hanya Rp 4.000.
Ya, meski kecenderungan bisnis angkutan perkotaan makin menurun karena kalah bersaing dengan kendaraan pribadi, ditambah lagi kemunculan angkutan daring, tak sedikit warga Manado yang masih mengandalkan mikro sebagai sarana mobilitas harian.
Salah satunya Elsye (62), warga Kelurahan Perkamil. Ia naik mikro dua kali sepekan untuk menuju sebuah swalayan di area Pasar 45. Mikro trayek Perkamil-Pasar 45 memang berhenti di depan gang rumahnya.
”Saya suka naik mikro karena simpel, gampang. Enggak banyak pikiran, langsung sampai di tempat tujuan. Tarif Rp 6.000 juga masih terjangkau,” ujar pensiunan pegawai negeri sipil itu ketika ditemui seusai berbelanja pada Rabu siang.
Baca juga: Pemprov Sulut Bagikan Bantuan Beras kepada Sopir Angkot di Manado
Christine Medelu (21), mahasiswa Jurusan Keperawatan Universitas Pembangunan Indonesia (UNPI) Manado, juga senantiasa mengandalkan mikro. Biaya transportasi antara rumahnya di Kelurahan Paniki Dua dengan kampus yang terbilang jauh, sekitar 15 km, pun bisa ditekan.
”Dari rumah saya naik inDrive (ojek daring) dulu ke jalur mikro di Jalan AA Maramis, Rp 12.000. Terus naik mikro ke kampus oper tiga kali, jadi Rp 18.000. Jadi pergi pulang Rp 60.000. Kalau langsung naik inDrive dari rumah ke kampus, kayaknya bolak-balik bisa Rp 100.000 lebih,” ujarnya.
Bagi Triman, ini adalah bukti bahwa mikro akan selalu dibutuhkan, sekalipun bukan oleh seluruh lapisan masyarakat. ”Mikro ini untuk seluruh rakyat, terutama yang menengah ke bawah, bukan yang kaya-kaya. Enggak kayak yang online-online, mikro ini gampang diakses. Jadi, dia akan tetap ada,” katanya.
Sepanjang 2022, Pemkot Manado menyatakan ada 25.000-28.000 masyarakat miskin yang tinggal di kota berpenduduk sekitar 428.000 jiwa ini. Mikrolah yang akhirnya memenuhi hak kelompok masyarakat ini untuk bisa bermobilitas. Ini belum mencakup orang-orang seperti Elsye dan Christine yang tidak tergolong miskin.
Keadaan mikro ini menurun lantaran ada (angkutan) online-online yang bikin kami kurang pendapatan.
Meski begitu, Triman tak menyangkal jika situasi bagi mikro sekarang memang sulit. Data Dinas Perhubungan Manado juga menunjukkan jumlah mikro terus menurun. Pada 2019, ada 2.836 unit mikro yang aktif di 17 trayek, tetapi per 1 Desember 2022 hanya tersisa 1.833 unit.
”Keadaan mikro ini menurun lantaran ada (angkutan) online-online yang bikin kami kurang pendapatan. Apalagi, sekarang tarif naik, to? Jadi kami tergantung penumpang, kalau minta ke Malalayang, ya, ke Malalayang. Kalau cuma ke Mantos, ya, sampai Mantos aja,” katanya.
Sudah 20 tahun ayah satu anak itu menjadi sopir mikro sejak hijrah dari kampungnya di Surabaya pada tahun 2000. “Tahun 2000, gaji (pendapatan untuk diri sendiri) Rp 300.000-Rp 400.000 itu mudah. Sekarang Rp 100.000 aja setengah mati,” katanya dengan logat Jawa yang sudah meluntur.
Padahal, biaya operasional mikro cukup besar. Setiap hari, Triman butuh 15 liter bensin senilai Rp 150.000 untuk 10-11 kali putaran Zero Point-Malalayang. Di samping itu, ia harus menyetor Rp 100.000 ke juragan pemilik mikro. Masih ada lagi Rp 40.000 untuk makan dan rokok.
Baca juga: Kenaikan Harga BBM Rugikan Sopir Angkutan Umum di Manado
Pada saat yang sama, tarif baru yang lebih mahal bikin orang agak malas naik mikro. Karena itu, kata Triman, para sopir sudah bersyukur kalau bisa dapat penghasilan Rp 100.000-Rp 150.000 per hari. Seandainya harga pertalite masih Rp 7.650, bisa saja mereka memperoleh lebih untuk kantong pribadi. ”Harusnya (tarif menjadi) Rp 7.000, tapi sudah jo, kasihan rakyat,” katanya.
Gerombolan mikro juga tampak tepat di depan tugu Zero Point dan persimpangan menuju Pasar 45, tepat di depan Tugu Peringatan Pendaratan Batalyong Worang. Ada lima trayek mikro yang melewati dua titik tersebut, seperti Pasar 45-Banjer, Pasar 45-Perkamil, dan Pasar 45-Paal Dua.
Daniel Herison Lembo (38), sopir trayek Pasar 45-Paal Dua, mengatakan, agar bisa membawa lebih banyak uang untuk istri dan lima anaknya, ia pun memperpanjang jam kerjanya di trayek sepanjang 2,2 km itu hingga melewati pukul 19.00 Wita. Jika sepi penumpang, ia akan bajalur alias ngetem di tepi jalan sambil berseru, ”AmpaLima! AmpaLima!” untuk mengacu pada Pasar 45, atau ”Paal Dua! Paal Dua!”
”Nda perlu tunggu banyak-banyak. Dapat dua-tiga (penumpang), torang langsung jalan. Soalnya, kalau penumpang batunggu terlalu lama, pasti jengkel,” kata pria yang akrab dipanggil Heri itu ketika menunggu penumpang di dekat monumen patung kuda Paal Dua.
Ada harapan
Heri tak menyangkal, suatu saat bisa saja mikro akan punah dari jalanan Manado, sebagaimana telah terjadi di kota lain, seperti Surabaya. Namun, ia masih menyimpan optimisme karena toh setiap hari selalu ada warga yang mau naik mikro, baik tua maupun muda.
Bagi Heri, inilah yang mendasari peralihan profesinya dari sopir pembawa material di toko bangunan menjadi sopir mikro pada 2020. ”Kalau angkut material, kerja enam hari, gaji cuma Rp 114.000 per hari. Kalau bawa mikro, bisa Rp 150.000 sehari. Jam kerja bebas,” ujarnya.
Di tengah situasi sulit ini, para sopir mikro juga merasa tak mendapat dukungan pemerintah. Tak ada dari belanja APBD 2023 sebesar Rp 1,74 triliun yang dialokasikan sebagai dana kewajiban pelayanan publik (PSO) transportasi publik.
Hal ini diungkapkan Kepala Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Dishub Manado Donald Wilar. PSO sulit diberikan karena seluruh mikro di Manado adalah milik pribadi, sementara subsidi dari pemerintah hanya bisa diberikan kepada badan hukum.
Baca juga: Insentif Dinilai Lebih Dibutuhkan Transportasi Umum
Maka, kelanjutan eksistensi mikro pun sepenuhnya menjadi tanggung jawab para pemilik. ”Semua bergantung pada pemilik mikro. Asalkan memenuhi syarat dan kelayakan operasi, pemerintah akan memfasilitasi kelancaran operasionalnya,” kata Donald.
Alhasil, kenaikan harga pertalite dan tarif mikro, yang direpresentasikan oleh angka inflasi sebesar 4,2 persen secara tahunan pada Januari 2023, akhirnya harus ditanggung sendiri oleh sopir dan warga. Padahal, Donald mengakui mikro sebagai moda transportasi yang paling murah bagi masyarakat kota.
Situasi ini pula yang menyebabkan jumlah mikro menurun drastis hingga lebih dari 1.000 unit dalam rentang tiga tahun. Menurut Donald, banyak pemilik kesulitan membiayai perbaikan mikro mereka yang rusak akibat mahalnya harga onderdil. Apalagi, banyak yang kesulitan bersaing dengan ojek dan taksi daring.
Lalu, bagaimana kalau suatu saat mikro menghilang dari jalanan Manado? ”Masyarakat punya beberapa pilihan angkutan (lain) yang bisa digunakan beraktivitas. Semua tergantung pemilik mikro. Jika tidak meningkatkan pelayanannya, pasti akan kalah bersaing,” kata Donald.
Kasih insentif agar kebutuhan bensin tertutupi setiap hari.
Di sisi lain, ahli transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menilai pemerintah daerah, termasuk Manado, memang kurang memprioritaskan transportasi publik. Alasannya selalu tidak ada anggaran.
Ini adalah sebab dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang tak menempatkan transportasi umum sebagai kebutuhan dasar warga. Menurut Djoko, pemda seharusnya menyediakan insentif bagi mikro.
”Enggak perlu besar-besar, paling Rp 5 miliar sudah bagus. Kasih insentif agar kebutuhan bensin tertutupi setiap hari. Yang penting, angkutan umum harus berbadan hukum. Bisa lewat koperasi,” katanya.
Kepala Seksi Angkutan Bidang LLAJ Dishub Manado Marshel Mandey menyatakan, koperasi sudah pernah dibuat, tetapi semuanya kini malah dorman. ”Sudah tidak ada yang aktif. Jadi, kami kesulitan kasih subsidi atau hibah,” katanya.
Alhasil, harapan para sopir seperti Triman dan Heri akan campur tangan aktif pemerintah untuk sementara hanya menjadi angan. Toh, selama ini mereka tetap bekerja seperti biasa tanpa bantuan siapa pun. ”Sudahlah, rezeki Tuhan yang atur,” kata Triman.
Baca juga: Jangan Lupakan Nasib Sopir Angkutan Kota