Jangan Lupakan Nasib Sopir Angkutan Kota
Terimpit persaingan dari angkutan daring dan juga transportasi massal, sopir angkot di kota-kota besar kehilangan arah.
Dari balik deretan lapak pedagang yang menawarkan kaus olahraga dan peralatan rumah tangga tepat di pinggir jalan, Yohanes Susilo (69) muncul menenteng ember bekas cat berukuran besar. Tak jauh di belakangnya terlihat mengikuti dua orang ibu, Musdalifah (50) dan Sutiran (55), yang juga membawa ember bekas cat.
”Ini ember tahu,” kata Susilo, sopir angkot trayek Johar-Sampangan, Semarang. Sus, panggilan akrabnya, menurunkan ember tersebut dan memasukkan ember ke bagian belakang mobilnya. Sutiran lalu memberikan ember yang dipegangnya ke Susilo.
”Saya itu kasihan, kok sering pas saya narik, ada ibu-ibu jalan kaki sambil bawa ember tahu begitu, ya, terus saya tawarin untuk jemput setelah jualan di pasar,” ujarnya.
Sudah setengah tahun berlalu sejak Sus pertama kali menjemput dua penjual tahu pelanggannya ini. Hingga kini, setiap pukul 09.30, Sus pergi ke Pasar Lemah Gempal, Semarang, untuk menjemput Musdalifah dan Sutiran.
Dari Pasar Lemah Gempal, mereka akan diantar ke tujuan masing-masing. Sutiran ke Pasar Sampangan, sedangkan Musdalifah ke Jembatan Besi Sampangan.
”Untuk kaki saya, ya, enak dijemput Pak Sus, kan enggak perlu jalan. Lumayan, ringan,” ujar Sutiran dari bangku belakang.
Susilo tidak menetapkan tarif harga kepada dua penumpang tersebut. Menjemput Sutiran dan Musdalifah adalah salah satu perjuangan terakhir agar tetap bisa bertahan hidup. Angkot sudah benar-benar tidak bisa diandalkan lagi, menurut Susilo.
Semua berubah dalam lima tahun terakhir. Bus Trans-Semarang makin populer, angkutan daring mulai menjamur, dan gongnya adalah pandemi Covid-19. ”Sekarang mungkin sehari cuma Rp 15.000. Kadang-kadang juga enggak dapet apa-apa. Sering itu saya hanya bawa satu penumpang dari Sampangan ke Johar. Ketika jalur pulang enggak dapet,” kata Susilo.
Data Dishub Kota Semarang mencatat penurunan jumlah trayek angkot. Pada 2001 terdapat 151 trayek, kini hanya tersisa 35.
Program modernisasi angkutan umum oleh Pemkot Semarang dengan Bus Trans-Semarang belum menyentuh sopir angkot yang mata pencariannya secara langsung terkena dampak. Susilo menceritakan bahwa sebetulnya pemkot telah menyediakan jalur bagi para sopir angkot untuk menjadi sopir armada Trans-Semarang. Sosialisasi kepada sopir angkot di Sampangan, Semarang, bahkan dilakukan langsung oleh Wali Kota Hendrar Prihadi.
Namun, saat itu, kata Susilo, mereka yang berminat harus sudah mengantongi surat izin mengemudi tipe B umum. Ini menjadi pengganjal. Akhirnya, tidak ada kawan setrayek Susilo yang dapat direkrut oleh Trans-Semarang.
”Teman-teman trayek Sampangan ini karena enggak punya SIM B umum, ya, akhirnya semua ditunda dulu. Di Sampangan ini akhirnya enggak ada yang jadi sopir BRT (Trans-Semarang),” kata Susilo.
Hidup prihatin
Pasrah juga menjadi satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh Ahmad Sabarna (65), yang telah menjadi sopir angkot Baleendah-Dayeuhkolot, Bandung, selama 15 tahun terakhir.
Penghasilannya saat ini tak seberapa dibandingkan dengan puncak kejayaannya. Sabarna menceritakan, dulu sedikitnya dapat membawa pulang uang Rp 100.000 per hari. Sekarang hanya bisa membawa bersih Rp 10.000-Rp 20.000 saja setiap hari.
Artinya, ini di bawah garis kemiskinan absolut Bank Dunia, yakni 1,9 dollar AS per hari (Rp 27.220).
Beruntung, dua dari tiga anaknya telah menikah dan mapan. Si bungsu masih di sekolah menengah atas. Jadi, agar tanggungan Sabarna tidak berat, si bungsu membagi waktu untuk juga tinggal bersama kakak sulungnya.
”Tidak boleh menyusahkan anak-anak. Mereka, kan, sudah punya beban masing-masing. Biar saja saya hidup prihatin apa adanya,” ujarnya pelan.
Sabarna juga tidak terangkut masuk ke dalam program perekrutan awak Trans-Metro Bandung. Padahal, menurut dia, itu adalah ide yang bagus karena pemilik angkot satu per satu telah bangkrut dan banyak sopir yang kehilangan pekerjaan. ”Ajakan jadi sopir tidak tembus ke saya,” katanya.
Salah satu sopir angkot trayek Kebon Kalapa-Ledeng, Aep Rohiman (65), mengatakan, kini jumlah angkot trayek tersebut yang masih beroperasi tidak sampai 50 mobil, hanya sekitar seperlima dari jumlah total angkot trayek tersebut yang ada, yakni 245 unit.
Menurut Aep, kehadiran angkutan daring yang tanpa batasan ikut merusak kesejahteraan sopir angkot. ”Kalau terlalu banyak unit seperti ini semuanya hancur. Angkot enggak ada penumpang, ojek daring juga enggak ada penumpang,” kata Aep.
Nasib yang sama dialami Saiful (46), sopir angkot di Surabaya. Penghasilan sopir angkot atau lyn jurusan Bulak Banteng-Bratang ini terus menurun 10 tahun terakhir. Jika dulu bisa mencukupi kehidupan anak istri dan membayar sekolah anak, sekarang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun sulit.
”Sekarang penghasilan sehari cuma dapat Rp 20.000 sampai Rp 25.000. Itu pun hanya nututi untuk beli bensin saja,” keluhnya. Saiful harus bersiasat menghemat bensin dengan tidak mengoperasikan angkot sepanjang hari. Dia hanya narik angkot saat jam berangkat dan pulang kantor saja.
Saiful sekarang tidak bisa sepenuhnya menggantungkan penghasilan dari angkot. Istrinya membantu memenuhi kebutuhan keluarga dengan berjualan makanan. Selain itu, Saiful juga menjadi sopir carteran yang menjual jasa mengemudikan mobil untuk tetangganya, baik menggunakan angkot maupun mobil sewaan.
”Jadi sopir carteran itu hasilnya lumayan. Kadang bisa dapat Rp 250.000 untuk jarak jauh,” ceritanya.
Kehadiran angkutan mobil online membuat tenaga Saiful tak diperlukan lagi oleh tetangganya. ”Dulu banyak orang di kampung saya yang memerlukan jasa saya. Setelah ada angkutan online, saya tambah soro, tambah parah,” keluhnya.
Sebenarnya Pemerintah Kota Surabaya sejak 2019 memberikan kesempatan kepada sopir lyn untuk menjadi sopir Suroboyo Bus, tenaga helper, dan tenaga kebersihan. Namun, karena Saiful tidak memiliki SIM B1, dia tidak lolos tes penerimaan sopir Suroboyo Bus.
Ketua Organda Surabaya Sonhaji menjelaskan, salah satu syarat untuk menjadi sopir Suroboyo Bus adalah memiliki SIM B1. ”Saya sudah minta kepada semua teman-teman sopir untuk mendapatkan SIM B1,” jelasnya. Tapi, menurut dia, tidak semua sopir bisa mendapatkan SIM B1 karena kendala biaya, umur, dan juga karena tidak berminat.
Saiful salah satunya. ”Saya pasrah. Apa adanya saja, Pasrah pada Yang Kuasa dengan nasib saya sekarang ini,” tuturnya.
Berbeda halnya dengan Hadori (48), sopir angkot yang diterima bekerja sebagai sopir Suroboyo Bus. Hadori berusaha mendapatkan SIM B1 sebelum ada proses rekrutmen sopir dari Suroboyo Bus dan memenuhi persyaratan.
”Saya cari SIM sendiri. Bayar sendiri. Saya juga ikut tes psikologi di Organda,” jelas Hadori.
Hadori menyadari bahwa menjadi sopir Suroboyo Bus satu-satunya jalan untuk keluar dari ketidakpastian menjadi sopir lyn. Menurut dia, dulu saat menjadi sopir lyn harus mencari penumpang untuk mendapatkan penghasilan. Namun, dengan menjadi sopir BRT Surabaya, dia tidak perlu memikirkan penghasilan harian karena sudah digaji bulanan oleh pihak Suroboyo Bus.
Hampir tiga tahun Hadori menjadi sopir Suroboyo Bus. Dia sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari Suroboyo Bus dengan penghasilan tetap. ”Wis enak pol. Bersyukur, alhamdulillah, Mbak,” katanya.
Meski demikian, dia tidak melupakan nasib teman-temannya yang masih menjadi sopir lyn. Dia berharap ada penambahan bus sehingga teman-temannya bisa tertampung di Suroboyo Bus.
”Sekarang masih banyak yang belum tertampung. Ada yang masih ngangkot, ada yang jadi kuli bangunan. Kasihan,” kata Hadori mengingat nasib teman-temannya.
Modernisasi layanan transportasi publik sejatinya tidak bisa lepas dari para pegiat angkutan umum yang sudah lama hidup dari sektor tersebut. Pemerintah tidak semestinya melepas tangan dan membiarkan mati begitu saja. Terlebih lagi, pelayanan angkot selama ini buruk karena pemerintah tidak benar-benar membina dan mendukung mereka.
”Pemerintah sangat terbatas dalam memberikan dukungan pada angkot selama ini. Cuma kasih izin, tapi enggak monitor,” ujar Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Asia Tenggara Faela Sufa.
Faela berharap pemerintah tidak melupakan keberadaan angkutan umum yang sudah ada seperti angkot. ”Libatkan mereka dalam setiap pembangunan. Perbaiki layanan mereka karena mereka sudah memberikan layanan transportasi kota puluhan tahun,” paparnya.
Usia yang sudah lanjut dan nasib angkot yang tidak jelas membuat para sopir angkot seperti Susilo dan Sabarna hanya bisa merenungi nasib. Tanpa ada intervensi lanjutan, nasibnya tak akan berubah.
”Sementara ini, saya belum bisa berpikir betul-betul. Saya tidak bisa berpikir sampai detik-detik terakhir saya itu bakal seperti apa,” ujar Susilo.