Realisasi Bauran Energi Terbarukan di NTB Terus Didorong
NTB menargetkan bisa mencapai emisi nol bersih pada 2050. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan, termasuk dengan mendorong realisasi bauran energi baru terbarukan atau EBT.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Pengurangan emisi dengan mendorong realisasi bauran energi baru terbarukan atau EBT terus dilakukan di Nusa Tenggara Barat. Selain dari tenaga surya dan air, kontribusi EBT di daerah tersebut juga berasal dari penggunaan biomassa sebagai substitusi batubara di pembangkit listrik tenaga uap. Hingga akhir 2023 ditargetkan bauran EBT di NTB bisa mencapai 8,3 persen.
Manager PLN Unit Pelaksana Pembangkitan Lombok Anton Wibisono, dalam keterangan persnya di Mataram, Minggu (14/5/2023), menjelaskan, PLN telah memanfaatkan komposisi bauran EBT dalam pembangkit listrik yang dikelola.
Menurut Anton, realisasi kapasitas EBT di NTB tahun 2022 adalah 40,52 megawatt (MW) atau sebesar 8,05 persen dari kapasitas total daya mampu yang dibangkitkan sebesar 538 MW. Sampai Desember 2023, PLN merencanakan penambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 8,3 persen dari kapasitas total atau sebesar 41,82 MW.
Program penambahan yang akan dilakukan, kata Anton, merupakan bagian dari agenda Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2023-2032. Hal itu guna memenuhi kebutuhan melalui penambahan pembangkit serta mendukung peningkatan program bauran EBT nasional.
Anton memaparkan, saat ini kontribusi EBT di NTB sekitar 4,09 persen dari total energi produksi pembangkit. Dari jumlah itu, tenaga surya berkontribusi sebesar 1,74 persen, air sebesar 2,2 persen, dan biomassa sebesar 0,15 persen.
”Capaian ini menjadi salah satu bukti keseriusan PLN mendukung pemerintah dalam percepatan EBT menuju target 33,15 persen di tahun 2032 dengan rencana penambahan kapasitas pembangkit EBT di tahun tersebut sebesar 166,59 MW,” kata Anton.
NTB memiliki potensi pengembangan EBT sebesar 254,6 MW. Kapasitas paling besar ialah pembangkit listrik tenaga bayu (angin) yang memiliki kapasitas 145 MW. Kemudian, pembangkit listrik tenaga panas bumi sebesar 40 MW dan pembangkit listrik tenaga arus laut sebanyak 20 MW. Selain itu, ada pembangkit listrik tenaga biomassa 20 MW dan pembangkit listrik tenaga air 18 MW (Kompas, 21 September 2021).
Pemerintah Provinsi NTB juga menjadikan penggunaan energi baru terbarukan sebagai salah satu perhatian. Oleh karena itu, selain menjalin kerja sama dengan PLN, mereka juga menggandeng berbagai pihak.
Pada Februari lalu, misalnya, NTB menjalin kerja sama dengan Universitas Nottingham Inggris terkait lingkungan. Kerja sama itu dalam mendukung NTB mempercepat target emisi nol bersih 2050. Universitas Nottingham akan membantu dengan keahlian, riset, dan sumber daya untuk berbagai potensi energi baru terbarukan dalam mencapai target emisi nol bersih 2050 itu.
”NTB memiliki banyak potensi dari beragam energi baru terbarukan. Pemanfaatan dari potensi EBT ini dapat membantu untuk mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalillah beberapa waktu lalu.
Implementasi co-firing tidak hanya berdampak terhadap penurunan emisi karbon, tetapi juga pergerakan ekonomi masyarakat.
Khusus untuk biomassa, PLN NTB telah mulai menggunakannya di sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) melalui teknologi co-firing. Teknologi tersebut menggunakan biomassa sebagai bahan bakar subtitusi batubara.
Jenis co-firing yang digunakan adalah sampah, sekam padi, dan serbuk kayu di PLTU Jeranjang Lombok Barat. Selain itu, ada juga penggunaan bonggol jagung di PLTU Sumbawa.
”Implementasi co-firing tidak hanya berdampak terhadap penurunan emisi karbon, tetapi juga pergerakan ekonomi masyarakat. Ini akan melibatkan banyak masyarakat dalam implementasinya,” ucap Anton.
Pasokan biomassa sampah untuk PLTU Jeranjang, misalnya, diproduksi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kebun Kongok, Lombok Barat. Sementara serbuk kayu diambil dari sekitar 100 titik pengolahan kayu di Lombok.
Keberadaan titik-titik itu sejak beroperasi memberikan penghasilan bagi warga setempat. Barwan, koordinator pasokan serbuk kayu di wilayah Narmada, Sekotong, Kediri, dan Gunungsari, Lombok Barat, mengatakan, ia bisa mengeluarkan hingga Rp 1 juta untuk upah warga yang membantu.
Menurut Barwan, selain warga yang bekerja di lokasi-lokasi pengolahan serbuk kayu, penerima manfaat juga warga yang bekerja di gudang penyimpanan serbuk kayu. Sebelum dibawa ke PLTU, serbuk kayu tersebut ditampung untuk dikeringkan terlebih dahulu.