Produksi batubara Indonesia bisa saja melampaui target produksi apabila harga batubara di pasar internasional dinilai lebih menarik. Produksi batubara harus diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Truk berat mengangkut batubara di Blok Tutupan yang ditambang PT Adaro Indonesia di perbatasan Kabupaten Tabalong dan Balangan, Kalimantan Selatan, Rabu (19/5/2010).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berkomitmen mengutamakan kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik di dalam negeri. Tahun ini, target produksi batubara mencapai 550 juta ton. Namun, apabila harga batubara dinilai cukup menarik di pasar ekspor, pemerintah akan mengevaluasi target produksi.
Tahun lalu, target produksi batubara nasional sebanyak 550 juta ton, tetapi realisasinya mencapai 558 juta ton. Adapun target produksi 489 juta ton pada 2019, realisasinya justru jauh melampau target, yakni 616 juta ton. Harga batubara yang tinggi pada 2019 menyebabkan produksi batubara digenjot sedemikian rupa untuk mengumpulkan devisa.
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, harga batubara pada awal 2021 yang lebih tinggi dari rerata harga batubara sepanjang 2020 disebabkan dua faktor. Pertama adalah musim dingin yang terjadi di sejumlah negara pembeli, terutama China. Selain itu, meningkatnya permintaan batubara di sejumlah negara mengindikasikan ada pemulihan ekonomi.
”Kami tetap akan memprioritaskan kebutuhan batubara domestik. Namun, apabila harga batubara di pasaran internasional bagus, akan kami evaluasi kembali (target produksi batubara 2021),” ujar Arifin dalam paparan kinerja Kementerian ESDM 2020, Kamis (7/1/2021), di Jakarta.
Adapun target serapan batubara domestik tahun 2020 adalah 155 juta ton, tetapi terealisasi sebanyak 132 juta ton.
Tahun ini, target serapan batubara di dalam negeri mencapai 137,5 juta ton. Adapun target serapan batubara domestik tahun 2020 adalah 155 juta ton, tetapi terealisasi 132 juta ton. Pada 2019, realisasi serapan batubara domestik sebanyak 138 juta ton.
Secara terpisah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho mengatakan, pemerintah sebaiknya konsisten dengan pembatasan produksi batubara sebanyak 400 juta ton per tahun. Produksi batubara yang digenjot lebih tinggi dikhawatirkan dapat mengganggu keseimbangan daya dukung lahan.
”Selain itu, produksi batubara yang berlebihan semata untuk diekspor menunjukkan bahwa paradigma pengelolaan sumber daya alam di Indonesia masih berbasis komoditas, bukan sebagai modal penggerak ekonomi di dalam negeri,” ucap Aryanto.
Harga batubara acuan naik tinggi untuk periode Januari 2021, yakni 75,84 dollar AS per ton. Sebelumnya, harga batubara pada bulan Desember 2020 adalah 59,65 dollar AS per ton. Secara rata-rata, harga batubara sepanjang 2020 adalah 58,17 dollar AS per ton atau yang terendah sejak 2015 lalu.
Kinerja industri batubara sepanjang 2020 sangat terpengaruh oleh pandemi Covid-19.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, kinerja industri batubara sepanjang 2020 sangat terpengaruh oleh pandemi Covid-19. Sejak pemerintah menyatakan pandemi pada awal Maret 2020, permintaan batubara di pasar ekspor dan domestik menurun dan kembali pulih pada triwulan IV-2020. Hal itu berdampak pada produksi batubara 2020 yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2019.
”Tantangan ke depan bagi industri batubara di Indonesia adalah semakin sulitnya pembiayaan perbankan, isu lingkungan terkait perubahan iklim, dan isu-isu terkait transisi energi,” kata Hendra.
Untuk hilirisasi batubara di dalam negeri, pemerintah berfokus pada proyek gasifikasi batubara menjadi dimetil eter (DME). DME diharapkan dapat menggantikan peran elpiji yang dari total konsumsi di Indonesia sebanyak 75 persen diimpor. Proyek gasifikasi batubara sedang digarap oleh PT Bukit Asam Tbk dengan menggandeng PT Pertamina (Persero) dan Air Products selaku pemilik teknologi gasifikasi dari Amerika Serikat.
Adapun untuk hilirisasi mineral, sampai 2020 lalu terealisasi pembangunan 19 smelter yang didominasi smelter nikel sebanyak 13 unit. Sampai 2024 nanti, pemerintah menargetkan terbangun smelter sebanyak 53 unit yang terdiri dari 30 smelter nikel, 11 smelter bauksit, 4 smelter besi, 4 smelter tembaga, serta smelter mangan 2 unit, tembaga dan seng 2 unit.