Menanti Pemerataan di Lumbung Pangan dan Energi
Memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah hingga dijuluki sebagai daerah lumbung pangan dan energi, Sumatera Selatan masih didera tingkat kemiskinan yang tinggi dan kerawanan akan korupsi.

Barisan tongkang batubara di aliran Sungai Musi di Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (13/5/2023). Batubara menjadi salah satu komoditas unggulan yang mendorong perekonomian di Sumsel. Hanya saja hilirisasi masih menjadi kendala utama.
Memasuki usia ke-77 tahun pada Senin (15/5/2023), Sumatera Selatan terus berbenah. Modal kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya membuat ”Bumi Sriwijaya” dikenal sebagai lumbung pangan dan energi. Kekayaan komoditas migas dan nonmigas-nya berlimpah. Namun, Sumsel masih didera kemiskinan yang tinggi dan kerawanan akan korupsi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik regional bruto (PDRB) di Sumsel disokong tiga sektor lapangan usaha yang menyumbang 57,49 persen dari total PDRB daerah. Ketiganya adalah sektor pertambangan dan penggalian (25,83 persen), industri pengolahan (18,01 persen), serta sektor pertanian dan kehutanan (13,65 persen).
Di sektor penggalian dan pertambangan, Sumsel masih sangat bergantung pada batubara. Dengan cadangan batubara yang mencapai 22,2 miliar ton, produksi batubara di Sumsel masih di bawah 100 juta ton per tahun.
Sementara untuk industri pengolahan, Sumsel juga bertengger sebagai penghasil karet terbesar di Indonesia dengan produksi bahan olah karet sekitar 1 juta ton per tahun. Tidak hanya itu, dengan perkebunan kelapa sawit seluas 1,4 juta hektar, Sumsel menghasilkan sekitar 3,8 juta ton minyak sawit mentah (CPO).
Sumsel juga layak dijuluki ”Lumbung Pangan”. Pada tahun 2022, luas lahan panen di Sumsel mencapai 513.378 hektar dengan produksi padi sekitar 2,7 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara beras sekitar 1,5 juta ton.

Seorang petani sedang memanen padi di Palembang Sumatera Selatan, Selasa (13/10/2020). Potensi produksi beras di Sumsel diprediksi meningkat hingga akhir tahun 2020. Hal ini dikarenakan adanya ekstensifikasi lahan pertanian dengan memafaatkan lahan rawa lebak.
Dengan capaian itu, Sumsel bertengger sebagai penghasil beras terbesar kelima nasional. Produksi beras Sumsel berada di bawah Jawa timur yang memproduksi beras 5,5 juta ton, Jawa Barat (5,4 juta ton), Jawa Tengah (5,3 juta ton), dan Sulawesi Selatan (3 juta ton). Pemda pun berambisi meningkatkan produksi beras dari 1,5 juta ton menjadi 3,2 juta ton di 2023 dengan optimalisasi lahan rawa lebak dan pasang surut.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi di Sumsel Membaik, Angka Kemiskinan Belum Turun Signifikan
Namun, dengan berbagai kekayaan itu, Sumsel masih didera sejumlah masalah utamanya, yaitu tingkat kemiskinan yang tinggi. Pada September 2022, BPS mencatat angka kemiskinan di Sumsel mencapai 11,99 persen dengan jumlah penduduk miskin sekitar 1.054.990 jiwa. Angka ini jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional, yakni 9,57 persen.
Memang jika dibandingkan tingkat kemiskinan dalam 10 tahun terakhir, persentasenya turun cukup signifikan. Pada 2013, tingkat kemiskinan di Sumsel mencapai 14,06 persen. Hanya saja, dengan kekayaan alam yang besar, angka dua digit masih menjadi masalah.
Ketika terpilih pada 2018 lalu, Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menjadikan pengentasan warga dari kemiskinan sebagai pekerjaan utamanya. Bahkan pada awal masa pemerintahannya, ia menargetkan penurunan angka kemiskinan hingga satu digit.

Penjual alat rumah tangga di Kampung Sungai Pedado, Kecamatan Kertapati, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (13/5/2023). Walau dikaruniai kekayaan sumber daya alam, Sumsel masih didera tingginya tingkat kemisikinan, yakni masih di kisaran dua digit. Lebih tinggi dari rata-rata kemisikinan secara nasional.
Beragam program dilakukan, seperti memperbaiki sarana infrastruktur, terutama jalan provinsi. Pemda pun mengalokasikan anggaran untuk perbaikan infrastruktur hingga Rp 101 miliar atau sekitar 10 persen dari total APBD Sumsel di tahun 2022 sebesar Rp 10,1 triliun.
Alhasil, persentase jalan mantap di Sumsel pada tahun 2021 mencapai 93,94 persen meningkat dibandingkan tahun 2020 yang sebesar 90,02 persen. Angka itu jauh lebih baik dari kemantapan jalan pada tahun 2019, yakni 79,17 persen.
Perbaikan jalan itu disempurnakan dengan terhubungnya sejumlah ruas Tol Trans-Sumatera di Sumsel, seperti ruas Palembang-Lampung, dan Palembang-Indralaya-Prabumulih. Menurut Herman, dengan sarana infrastruktur yang baik, aliran distribusi sejumlah komoditas bisa lebih lancar. Hal itu diharapkan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah dan akan bermuara pada menurunnya angka kemiskinan di daerah tersebut.
Selain itu, ujar Herman, pihaknya terus berupaya mewujudkan berdirinya pelabuhan laut dalam Tanjung Carat di Kabupaten Banyuasin, Sumsel. Langkah ini dipandang strategis agar sejumlah komoditas ekspor dapat dikirim langsung melalui Sumsel bukan daerah lain.

Sebuah kapal berlayar di Sungai Pedado, Kecamatan Kertapati, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (13/5/2023). Sampai saat ini angka kemisikinan di Sumsel masih tinggi, hal ini dipengaruhi timpangnya pembangunan dan masih tingginya kerentanan korupsi di lingkup penyelenggara negara.
Komoditas kopi, contohnya. Sumsel dikenal sebagai penghasil kopi jenis robusta terbesar di Indonesia dengan lahan seluas 250.000 hektar. Namun, sebagian besar kopi tersebut dikirim melalui Pelabuhan Panjang di Lampung. Kondisi ini membuat Lampung-lah yang memperoleh keuntungan.
Dengan didirikannya Pelabuhan Tanjung Carat diharapkan sejumlah produk unggulan dari Sumsel dapat dikirim langsung dari Sumsel. ”Selain menambah pendapatan bagi daerah, keberadaan pelabuhan juga bisa memperluas lapangan pekerjaan,” ujarnya.
Baca juga: Enam Jam Karangan Bunga Prestasi Kemiskinan Sumsel Terpajang
Hilirisasi
Untuk meningkatkan nilai tambah dari setiap komoditas unggulan di Sumsel, pemda juga berupaya mewujudkan hilirisasi. Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Agus Darwa menyatakan, saat ini sejumlah upaya hilirisasi terus dijalankan.
Sawit, misalnya, produk ini telah dikelola dan menghasilkan sejumlah produk turunan untuk kebutuhan domestik, seperti minyak merah dan pemanfaatan cangkang sawit yang bisa dimanfaatkan bahan baku arang dan campuran pakan ternak. ”Bahkan kami mendukung upaya pemerintah pusat untuk mengonversi kelapa sawit bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar,” ujarnya. Begitupun dengan karet yang juga digunakan untuk bahan baku aspal karet dan beragam produk turunan lainnya.
Selain itu, pemangkasan rantai pasok juga terus diupayakan agar jarak antara petani, industri, dan pasar tidak terlalu jauh. Tujuannya agar harga di petani bisa lebih besar.
Hal ini sudah dilakukan pada sejumlah komoditas, seperti kopi, kelapa sawit, dan karet. Caranya dengan membentuk kelompok tani yang bernaung di bawah sebuah badan hukum berupa koperasi agar mereka dapat bekerja sama dengan industri secara langsung agar harga komoditas yang diperoleh bisa lebih baik dibanding melalui tengkulak (pengumpul).
Hilirisasi juga diupayakan di bidang pertambangan batubara. Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sumatera Selatan Hendriansyah menuturkan, sampai saat ini sebagian besar batubara di Sumsel masih digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik di sejumlah daerah di Sumatera dan Jawa. Upaya hilirisasi juga tengah dilakukan, misalnya, melalui program gasifikasi batubara menjadi dimetil eter atau DME untuk menggantikan elpiji

Presiden Joko Widodo didampingi Gubernur Sumsel Herman Deru (Kiri) dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif (Kanan) meninjau tempat pembangunan proyek gasifikasi batubara di Kawasan Industri Tanjung Enim, Kecamatan Tanjung Agung, Muara Enim, Sumatera Selatan, Senin (24/1/2022). Proyek ini ditargetkan selesai sampai 30 bulan ke depan. Konversi diharapkan dapat mengurangi biaya impor LPG yang sangat membebankan APBN.
Proyek hilirisasi batubara ini dibangun di Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Proyek ditargetkan memproduksi DME sebanyak 1,4 juta ton atau setara 1 juta ton elpiji per tahun. Dimulainya royek gasifikasi ini ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Presiden Joko Widodo, Senin (24/1/2022).
Hanya saja, ujar Hendriansyah, proyek itu masih mandek karena investornya, yakni Air Products and Chemicals, memutuskan menarik diri. ”Kami masih menunggu pemerintah pusat untuk mencari penggantinya,” ujar Hendriansyah.
Ketua Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya Muhammad Ichsan Hadjri berpendapat masih tingginya angka kemiskinan di tengah kekayaan sumber daya alam di Sumsel tidak lepas oleh belum meratanya pembangunan. ”Aliran uang hanya berputar dan dinikmati oleh kalangan tertentu, bahkan mungkin uangnya keluar dari Sumsel,” ujarnya.
Ia mencontohkan perkebunan sawit. Industri ini kebanyakan dimiliki oleh perusahaan dari luar Sumsel, bahkan dari luar negeri. Warga Sumsel hanya mendapat bagian sebagai tenaga kerja berpenghasilan rendah lantaran tidak memiliki keahlian. Begitu pun dengan komoditas yang lain. ”Mereka hanya digaji dengan upah minimum regional (UMR),” ujarnya.

Sebuah truk pengangkut tandan buah segar (TBS) sawit tengah melewati jalan lintas timur Sumatera Di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, Senin (2/1/2022). Jalan ini menjadi jalur penghubung antar provinsi di Sumatera. Hanya saja, beberapa kendala ditemui seperti jalan rusak, bergelombang, serta longsor di sejumlah sisi.
Menurut dia, upaya hilirisasi di Sumsel juga belum optimal. Seharusnya dengan kekayaan alam yang berlimpah, Sumsel mengirimkan hasil alam tersebut dalam bentuk setengah jadi atau barang jadi. ”Setidaknya ada smelter sehingga barang yang diekspor memiliki nilai tambah yang tentu akan memberikan kesejahteraan bagi petani,” ujarnya.
Faktor lain adalah belum adanya infrastruktur yang memadai kegiatan ekspor-impor utamanya pelabuhan laut dalam. Sebagian besar komoditas dikirim melalui pelabuhan di luar Sumsel lantaran Pelabuhan Boom Baru tidak lagi optimal sebagai pelabuhan bongkar muat barang ekspor.
Hal yang paling utama dan krusial adalah masih berbelitnya birokrasi, terutama dalam proses pembuatan perizinan. Kondisi ini tentu membuat investor akan berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Sumsel.
Jangan sampai kita tidak menjadi raja di tanah sendiri.
Karena itu, tegas Ichsan, sudah saatnya melakukan transformasi di berbagai sektor agar manfaat ekonomi bisa dirasakan seluruhnya oleh warga. ”Jangan sampai kita tidak menjadi raja di tanah sendiri,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Yuliusman beranggapan bahwa kegiatan ekonomi di Sumsel tidak mengedepankan ekonomi berkelanjutan dan ramah lingkungan. Hal ini ditandai masih maraknya kegiatan yang mengedepankan eksploitasi alam secara besar-besaran.

Sebuah truk tengah menurunkan batubara di kawasan PT Bukit Asam di Kecamatan Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Selasa (16/11/2021). BUMN ini menargetkan produksi hingga 30 juta ton hingga akhir tahun 2021.
Dia mencontohkan kegiatan tambang batubara masih dilakukan dengan cara memperluas lahan tambang. Kondisi ini membuat masyarakat yang ada di sekitarnya terdampak. ”Tidak hanya dampak polusi yang dihasilkan, tetapi keberadaan angkutan batubara juga masih menjadi permasalahan di sejumlah tempat di Sumsel,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah masih memberikan izin perluasan kebun kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI), tanpa melihat situasi alam saat ini. Ia mencontohkan perkebunan sawit sudah 1,4 juta hektar begitupun HTI.
Kondisi ini akan merusak alam termasuk juga ekosistem yang ada di dalamnya. ”Hutan terus digerus berganti dengan hutan tanaman homogen,” ungkap Yuliusman.
Sudah saatnya pemerintah tidak lagi mengeluarkan izin perluasan lahan tetapi memperketat regulasi untuk mewujudkan intensifikasi lahan baik untuk perkebunan dan HTI. Yang harus ditingkatkan adalah produktivitas lahan, bukan memperluas lahan secara serampangan ”Kami tidak menolak investasi tetapi jangan sampai keserakahan merusak bumi,” ucap Yuliusman.

Kepala Daerah dari 17 kabupaten/kota di Sumsel menandatangani komitmen bersama di dalam Rapat Koordinasi Program Pemberantasan Korupsi Terintegrasi Wilayah Sumatera Selatan, Kamis (11/5/2023). Di Sumsel ada 10 daerah yang sangat rawan terjadi korupsi.
Rawan korupsiTidak meratanya pembangunan dan masih tingginya angka kemiskinan juga dipengaruhi oleh kerawanan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui instrumen Survei Penilaian Integritas (SPI) mencatat ada 10 penyelenggara pemerintahan di Sumsel sangat rentan korupsi, termasuk Pemprov Sumsel.
Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah II Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI Yudhiawan menyebut, dari hasil tersebut, rata-rata indeks SPI Sumsel sebesar 65,59 atau jauh dari rata-rata nilai nasional 71,94.
Dia menuturkan, bentuk-bentuk korupsi saat ini sudah sangat kompleks bahkan melibatkan pihak swasta. Yang paling banyak terjadi adalah terkait proyek infrastruktur di mana mereka yang mendapatkan proyek adalah mereka yang berkontribusi menjadi tim pemenangan pilkada.
Apabila tim sukses (timses) tersebut bukan seorang kontraktor maka akan diserahkan kepada pihak lain. Kondisi inilah yang membuat sebuah proyek akan banyak potongan. ”Potongan untuk kontraktor, aparatur sipil negara (ASN), dan juga timses,” ungkapnya. Kondisi ini membuat pembangunan infrastruktur di daerah tidak optimal. Bentuk korupsi lain adalah dengan melakukan jual beli jabatan.
Kepala Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Buyung Wiromo Samudro mengutarakan modus kecurangan saat ini kian kompleks, terencana, dan dilakukan bersama. Tidak hanya oleh ASN, tetapi juga melibatkan pihak swasta. Bahkan secara nasional BPKP menemukan adanya kecurangan yang mencapai Rp 37,01 triliun.
Kondisi ini diperparah dengan pelayanan publik yang masih berbelit-belit, mahal, dan rawan pungutan liar. Selain itu, anggaran kerap kali habis hanya untuk kegiatan atau program yang tidak menyentuh masyarakat sehingga tidak dirasakan dampaknya.

Kejaksaan Negeri Prabumulih menggelar rekonstruksi tindak pidana korupsi dengan tersangka Iriadi, Kepala Sekretariat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumsel, Senin (13/3/2023). Rekonstruksi ini digelar untuk memperjelas perkara dan memperkuat alat bukti.
Menanggapi masalah ini, Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru berkomitmen untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan guna meminimalisasi tidak korupsi. ”Jika ada daerah yang sudah baik tentu harus menjadi contoh bagi daerah yang masih belum baik.”
Perlu ada koordinasi antardaerah untuk memperbaiki pelayanan dan sistem tata kelola pemerintahan. ”Perlu ada sinkronisasi program untuk saling membantu satu daerah dengan yang lain,” ujarnya.
Selain itu, upaya pencegahan harus dilakukan secara komprehensif sehingga diperlukan peran dari semua pihak termasuk instansi vertikal. ”Dengan begitu pelayanan dan tata kelola pemerintahan bisa berjalan secara transparan,”kata Herman.
Dirinya pun akan mengevaluasi sejumlah program yang sudah dijalankan. Jika dalam pelaksanaan tidak mendatangkan manfaat bagi masyarakat maka program itu akan "diamputasi" dan diganti dengan program lain. Semua dilakukan untuk satu tujuan kekayaan Sumsel dapat dinimati oleh seluruh warganya.