Gempa yang Memicu Trauma di Gerbang Tanah Papua (12)
Kota Jayapura dan Kota Sorong termasuk daerah dengan aktivitas ekonomi terbesar di tanah Papua. Tingginya aktivitas pembangunan belum disertai dengan mitigasi bencana yang berdampak besar bagi masyarakat setempat.
Tanah Papua terus menjadi magnet migrasi penduduk di wilayah Indonesia timur. Kondisi ini potensial ikut mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah.
Akan tetapi, kondisi ini perlu dibarengi upaya mitigasi bencana yang tepat. Belakangan, Papua menjadi salah satu daerah rawan gempa yang sulit diprediksi. Semua terjadi saat bencana hidrometeorologi masih menjadi masalah yang tidak mudah dibenahi.
Pertengahan Maret 2023, tanah di Kota Jayapura, Papua, kembali bergetar. Tidak lama, durasinya hanya tiga detik. Namun, dampaknya luar biasa.
Warga di Kompleks Argapura, Jayapura Selatan, misalnya, berhamburan keluar rumah. Teriakan penuh ketakutan terdengar. Beruntung, tidak ada korban jiwa akibat kejadian itu di Argapura.
Akan tetapi, alam tidak terlalu murah hati di pinggiran Perairan Teluk Numbay Jayapura. Jaraknya sekitar empat kilometer dari Argapura. Kedua daerah sama-sama pesisir pantai.
Di sana, empat tewas. Penyebabnya, gempa bermagnitudo 4,3 dengan kedalaman 5 kilometer itu merubuhkan salah satu restoran. Selain itu, 252 rumah hingga 11 fasilitas pemerintahan juga rusak.
Baca juga : Waspada Sembilan Sesar Pemicu Gempa di Papua dan Papua Barat
Warga kembali dikepung trauma. Kejadian ini bukan yang pertama. Sejak awal tahun 2023, gempa menebar teror menakutkan. Tidak ada yang tahu pasti kapan semuanya akan berakhir.
Rentetan gempa setidaknya mulai terjadi pada 2 Januari 2023 berkekuatan M 5,4 .Sejak saat itu, gempa susulan terus melanda Kota Jayapura. Ribuan orang mengungsi akibat gempa.
Hingga 20 April 2023, misalnya, tercatat ada 1.551 gempa. Sebanyak 232 diantaranya dirasakan masyarakat. Mayoritas gempanya dangkal dan terjadi di darat, yaitu di Jayapura Utara dan Jayapura Selatan.
Koordinator Bidang Observasi Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BBMKG) Wilayah V Jayapura Danang Pamuji mengatakan, fenomena itu disebut black swan earthquakes. Peristiwa gempa berulang kali terjadi tapi dan belum diketahui penyebabnya.
“Dari hasil analisa kami, sejauh ini penyebab gempa karena pergerakan sesar lokal,” kata dia.
Kondisi ini, kata Danang, menjadi tantangan besar bagi kota yang tengah berkembang, seperti Jayapura. Di kota dengan perkembangan paling pesat di tanah Papua, kantor hingga hotel tinggi mulai banyak dibangun.
Baca juga : Gempa Dangkal Masih Guncang Jayapura, 2.500 Orang Mengungsi
Sinyal baik untuk pembangunan tapi sangat rawan bila tidak dibarengi mitigasi yang tepat. Gempa dangkal dan berpusat di darat sudah terbukti sangat merusak. Kejadian di Cianjur sudah membuktikannya. Hanya berkekuatan M 5,6, gempa darat dengan kedalaman 11 km itu merusak ribuan rumah. Lebih kurang 600 warga tewas. Mayoritas akibat tertimbun reruntuhan rumahnya sendiri.
“Diperlukan survei untuk memetakan patahan yang memicu fenomena gempa dengan menggunakan alat seismograf portabel. Jangan sampai, pembangunan yang sudah dilakukan rawan rusak akibat gempa,” kata Danang.
Ahli tata ruang dari Universitas Cenderawasih Jayapura, Agus Eko Raharjo Pekpekai mengatakan, pemerintah daerah mungkin telah menyusun rencana tata ruang wilayah (RTRW). Namun, implementasinya belum dijalankan ideal. Padahal, kepatuhan terhadap RTRW menjadi kunci bagi Jayapura yang semakin banyak didatangi pendatang agar tetap tangguh menghadapi bencana.
Data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Jayapura, misalnya, menyebutkan, jumlah penduduk di Kota Jayapura pada akhir tahun 2021 sebanyak 368.000 jiwa. Setahun kemudian, jumlahnya tercatat 403.118 jiwa.
“Pembangunan di Jayapura kini lebih dominan secara vertikal karena keterbatasan lahan dan banyak pendatang ke Jayapura. Diperlukan kehati-hatian dalam membangun gedung dengan standar tahan gempa. Jayapura itu dilintasi banyak patahan. Misalnya zona subduksi Papua bagian utara yang termasuk area cincin api di Samudera Pasifik,” ujar Agus.
Nantinya, tidak menutup kemungkinan revisi RTRW Kota Jayapura berkaca dari fenomena gempa yang berulang itu. “Sebab, selama ini upaya mitigasi lebih difokuskan ke bencana banjir dan longsor,” katanya.
Belum ideal
Agus bisa jadi tidak keliru. Namun, meski banyak mendapat perhatian, mitigasi banjir hingga longsor di tanah Papua sejatinya belum ideal. Jauh lebih bisa diprediksi ketimbang gempa, kehadiran banjir dan longsor tetap menakutkan bagi orang di sekitarnya.
Sebagian warga Kelurahan Matalamagi, Kota Sorong, Papua Barat Daya, kembali merasakan kengerian saat hujan deras turun tengah malam pada tanggal 8 April 2023. Trauma jadi korban banjir terus membayangi.
Rosmauli Ambarita, warga Matalamagi, adalah salah satu yang hidup dalam ketakutan setiap musim hujan dalam 10 tahun terakhir.
Sejak tahun 2012 hingga kini, dia dan empat anggota keluarganya sudah 10 kali dihajar banjir. Banjir pada 1 Februari 2023 menjadi yang paling sulit dilupakan. Dua sepeda motor dan banyak alat elektornik rusak direndam air setinggi 50 meter.
Kondisi ini menyulitkan kami mengadvokasi hak masyarakat adat di Papua Barat Daya (Feki Mobalen)
Banjir juga terjadi di lokasi jalan masuk ke tempat kerjanya di SD Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik Mater Dei di Malanu, Distrik Sorong Utara. Ketinggian air yang mencapai hingga 80 sentimeter.
“Kami harus menunggu selama berjam-jam hingga air surut baru dapat tiba di sekolah,” kata Rosmauli.
Kantor Sekretariat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya yang terletak di Kelurahan Sawagumu, Distrik Sorong Utara, juga berulang kali diterjang banjir. Ketua AMAN Sorong Raya Feki Mobalen mengatakan, air setinggi satu meter merendam tiga komputer, satu alat printer serta seluruh dokumen penting.
“Kondisi ini menyulitkan kami mengadvokasi hak masyarakat adat di Papua Barat Daya,” kata Feki.
Ia menilai, terdapat sejumlah faktor pemicu banjir yang terus melanda Kota Sorong. Beberapa diantaranya seperti sedimentasi sungai, masalah sampah, hingga tambang galian C.
Baca juga : Rawan Bencana, Revisi RTRW Kota Sorong Perlu Dipercepat
Data dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Papua Barat, terdapat 10 titik galian C yang tersebar daerah Malanu dan Kelurahan Matamalagi tidak berizin.
Ketua Satgas Koordinasi Supervisi Pencegahan Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi Dian Patria sempat datang ke sejumlah lokasi galian C di Sorong pada 13 September 2022. Namun, sekelompok orang menolak kehadiran mereka.
Saat mengunjungi tiga lokasi galian C di Sorong Utara pada April 2023, ternyata letaknya dekat dengan permukiman warga. Di Sungai Remu, langsung terlihat banyak rumah di pinggir daerah aliran sungai disertai tumpukan sampah. Kondisi itu diyakini turut memicu bencana banjir.
Baca juga : 10 Titik Penambangan Galian C Tanpa Izin Picu Banjir di Sorong
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Sorong, Herlin Sasabone memaparkan, kawasan rawan banjir ada di Distrik Sorong Utara, Sorong Timur dan Distrik Sorong Manoi.
Ia mengakui, banyak bangunan di beberapa daerah aliran sungai di Kota Sorong. Padahal sesuai regulasi, daerah sempadan aliran sungai di daerah perkotaan minimal harus berjarak 10 meter. Herlin juga menyinggung aktivitas tambang galian C yang turut berkontribusi memicu banjir.
“Dari hasil pantauan citra satelit di Kelurahan Matalamagi, terdapat dua lubang bekas tambang galian C di daerah pegunungan. Kondisi ini dapat memicu banjir bandang ketika air dari dua lokasi tersebut meluap,” kata Herlin.
Pelaksana tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu memaparkan, pembangunan di Kota Sorong selama ini berjalan tanpa berlandaskan pada aspek lingkungan.
Padahal, Sorong terus berkembang. Sebagai salah satu gerbang pendatang ke tanah Papua, jumlah penduduk Sorong diperkirakan 300.000 jiwa pada tahun ini.
Kondisi itu jelas tidak ideal. Berdasarkan kajian Dinas Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Kota Sorong, daya dukung daerag seluas 1.105 kilometer persegi itu hanya untuk lebih kurang 100.000 jiwa.
Akibatnya, kelestarian alam menjadi taruhan. Demi membuat permukiman, pembukaan lahan di daerah resapan air dilakukan. Daerah resapan air di sejumlah daerah di Distrik Sorong Utara dan Distrik Timur menjadi barang langka.
Saat ini sosialiasi revisi RTRW sedang dilaksanakan berjenjang hingga tingkat kelurahan oleh instansi yang berwenang. Saat ini, tidak terdapat lagi aktivitas galian C oleh perusahaan. Kemungkinan aktivitas itu hanya dilakukan sekelompok masyarakat
Ke depan, Julian mengatakan, perbaikan terus dilakukan. Harapannya, bisa membuat daerah mampu menahan laju pesat pertumbuhan kota. Salah satu upaya yang dilakukan seperti revisi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Sorong pada bulan Januari tahun ini.
Dalam regulasi ini terdapat sejumlah poin untuk mitigasi banjir, antara lain, pembangunan fasilitas perumahan dan bangunan lainnya wajib disertai izin, larangan aktivitas tambang galian C dan adanya penetapan lokasi sempadan daerah aliran sungai.
“Saat ini sosialiasi revisi RTRW sedang dilaksanakan berjenjang hingga tingkat kelurahan oleh instansi yang berwenang. Saat ini, tidak terdapat lagi aktivitas galian C oleh perusahaan. Kemungkinan aktivitas itu hanya dilakukan sekelompok masyarakat,” kata Julian.
Apapun alasannya, tidak seharusnya tanah Papua terus menderita. Menjadi tanah harapan bagi banyak manusia, ancaman bencana tidak boleh terlupa. Jangan sampai kerusakannya terlanjur sama seperti yang kini sangat mengancam tanah Jawa.