Rawan Bencana, Revisi RTRW Kota Sorong Perlu Dipercepat
Banjir dan longsor di Sorong tidak hanya disebabkan faktor alam. Kondisi lingkungan juga memicunya. Daya dukung Sorong, misalnya, hanya untuk 100.000 jiwa, kini dihuni 300.000 jiwa.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Kota Sorong di Papua Barat rawan bencana hidrometeorologi selama beberapa tahun terakhir. Revisi rencana tata ruang dan wilayah belum terealisasi setelah Pemerintah Kota Sorong mengajukannya ke pusat sejak 2019.
Kepala Dinas Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Kota Sorong Julian Kelly Kambu saat dihubungi dari Jayapura pada Kamis (25/8/2022) mengatakan, banjir dan longsor di Sorong yang terjadi pada Selasa (23/8/2022) tidak hanya disebabkan faktor alam. Kondisi lingkungan juga memicu bencana hidrometeorologi yang berdampak besar sejak tahun 2018 hingga kini.
Julian mengungkapkan, revisi rancangan tata ruang dan wilayah (RTRW) yang telah diajukan ke pemerintah pusat juga belum direalisasikan hingga kini. Sementara pembangunan di kota tersebut terus berjalan tanpa berlandaskan pada aspek lingkungan.
Saat ini terjadi penambahan jumlah penduduk yang signifikan hingga sekitar 300.000 jiwa. Kondisi itu berdampak pada lingkungan di Kota Sorong. Padahal berdasarkan kajian Dinas Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Kota Sorong, daya dukung di daerah seluas 1.105 kilometer persegi itu hanya untuk sekitar 100.000 jiwa.
”Jumlah penduduk yang meningkat memicu pembukaan lahan di daerah resapan air untuk kawasan pemukiman. Kini tidak terlihat lagi daerah resapan air di sejumlah daerah di Distrik (Kecamatan) Sorong Utara dan Distrik Timur,” ungkap Julian.
Faktor minimnya kesadaran masyarakat turut memperparah kondisi lingkungan di Kota Sorong. Masyarakat membuang sampah dan limbah rumah tangga ke delapan daerah aliran sungai dan seluruh saluran drainase.
Jumlah penduduk yang meningkat memicu pembukaan lahan di daerah resapan air untuk kawasan permukiman (Julian Kelly Kambu).
Selain itu, lanjut Julian, terdapat pembukaan hutan mangrove secara masif oleh masyarakat setempat di Distrik Sorong Manoi dan penebangan pohon di daerah pegunungan di Distrik Sorong Utara dan Sorong Barat. Dari pendataan, luas areal pembukaan sekitar 10 hektar.
”Selama ini kami telah menghentikan usaha galian C yang tidak berizin di Kota Sorong dan melakukan penanaman kembali di areal yang terjadi penebangan pohon secara masif. Diperlukan sinergi dengan instansi lainnya dan pusat untuk revitalisasi untuk seluruh saluran drainase dan daerah aliran sungai sehingga dapat mencegah banjir,” katanya.
Diketahui Kota Sorong telah ditetapkan sebagai daerah rawan bencana pada tahun 2018. Terdapat empat bencana alam yang rawan terjadi di Kota Sorong, yakni banjir, longsor, tanah bergerak dan gempa bumi.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Sorong, Herlin Sasabone mengatakan, jumlah warga terdampak banjir yang masih mengungsi hingga Kamis ini mencapai sekitar 2.000 orang. Sementara 500 korban lainnya memilih tetap tinggal di rumahnya.
Para warga yang terdampak banjir dan longsor tersebar di empat distrik meliputi Sorong Utara, Sorong Timur, Sorong, dan Sorong Manoi. Sementara longsor terjadi di Distrik Sorong Barat dan Sorong Utara.
Diketahui banjir dan longsor dipicu hujan deras terjadi pada Senin pukul 22.00 WIT hingga Selasa pukul 04.00 WIT. Banjir setinggi 1,2 meter terjadi di sembilan lokasi sedangkan longsor di dua lokasi. Sebanyak tiga warga meninggal dunia karena rumahnya tertimbun longsoran tanah dan 10 orang luka-luka.
”Sampai saat pemberian bantuan telah sampai di tujuh lokasi. Sekitar 50 persen dari 2.000 pengungsi yang telah mendapatkan bantuan. Kami akan terus menyalurkan bantuan untuk seluruh warga yang terdampak,” tambahnya.
Herfina, salah seorang warga yang terdampak banjir di Kelurahan Klabulu, Distrik Malaimsimsa mengaku, keluarganya belum mendapatkan bantuan dari Pemda Kota Sorong hingga kini. Ia berharap adanya bantuan makanan siap saji, air bersih, pakaian, dan peralatan untuk membersihkan rumah.