Hutan Masyarakat Adat Papua dan Papua Barat Semakin Tergerus
Hutan yang dikelola masyarakat di tanah Papua semakin tergerus akibat investasi dan penebangan pohon secara ilegal. Kini masyarakat hidup di tengah ancaman bencana hidrometeorologi karena hilangnya daerah resapan air.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Hutan yang dikelola masyarakat adat di wilayah Papua dan Papua Barat semakin tergerus oleh investasi perkebunan, penambangan emas, dan pembalakan hutan secara ilegal. Kondisi ini menyebabkan masyarakat kehilangan tempatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan rawan terdampak bencana alam.
Ketua Dewan Adat Kabupaten Keerom di Papua, Servo Tuames, Kamis (2/6/2022), di Distrik Arso, Keerom mengungkapkan, tidak ada lagi hutan adat dalam jumlah yang sangat luas di distrik (kecamatan) seperti Arso, Waris, dan Yaffi. Semua hutan adat terganti dengan pembangunan Jalan Trans-Papua, pembukaan perkebunan sawit, serta tambang emas ilegal.
”Salah satu dampak terbesar pembukaan hutan adat secara masif di Keerom adalah terjadinya bencana banjir sejak tahun 2005. Kondisi Keerom kini tak seperti dulu lagi yang jarang terjadi banjir meskipun turun hujan deras selama berjam-jam,” ujarnya.
Pihak perusahaan terlebih dahulu menjual kayu hasil pembukaan lahan sebelum menanam sawit. (Zakarias Horota)
Ia pun mengungkapkan pembukaan hutan untuk perkebunan sawit, pembangunan jalan, dan lokasi pertambangan emas liar di wilayah Keerom telah mencapai sekitar 1.000 kilometer persegi. Kondisi ini menyebabkan ruang gerak masyarakat di hutan adat semakin sempit.
Adapun salah satu modus untuk pengambilan kayu jenis merbau Keerom yakni dengan mengajukan izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk sawit tetapi sama sekali tidak melakukan penanaman selama bertahun-tahun. Perusahaan itu malah mengambil kayu hasil pembukaan hutan di area IUP dan menjualnya.
”Masyarakat mudah menyerahkan hutan miliknya kepada perusahaan yang tidak berizin untuk mengolah kayu dengan iming-iming uang. Mereka terdesak dengan kebutuhan untuk pendidikan anak dan kebutuhan penting lainnya,” ujar Servo.
Hal senada disampaikan Ketua Dewan Adat Distrik Skanto Didimus Werare yang juga berada di Kabupaten Keerom. Terjadi pembukaan hutan oleh perusahaan kayu yang diduga tak berizin secara masif di lima titik, antara lain Arso 1, Arso 8, Arso 11, Arso 12, dan Arso 14. Saat ini hutan di lima lokasi telah gundul akibat pengambilan hutan secara berlebihan.
”Masyarakat kehilangan tempat untuk berkebun setelah menyerahkan hutannya kepada pihak perusahaan. Kini masyarakat tak hanya kehilangan hutan tetapi juga permukimannya rawan diterjang banjir saat musim hujan,” tutur Didimus.
Sementara itu, Sekretaris Dewan Adat Papua Wilayah III Domberai Zakarias Horota mengatakan, terjadi alih fungsi lahan hutan miliknya masyarakat adat untuk perkebunan sawit di wilayah Domberai yang mencapai sekitar 200.000 hektar. Hilangnya areal hutan menyebabkan masyarakat tidak dapat berburu, berkebun, dan jumlah satwa endemik semakin berkurang, seperti burung mambruk, dan burung cenderawasih.
Adapun wilayah adat Domberai meliputi 10 kabupaten dan 1 kota di Papua Barat, yakni Kabupaten Manokwari, Kabupaten Manokwari Selatan, Kabupaten Pegunungan Arfak, Kabupaten Maybrat, Kota Sorong, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama, dan Kabupaten Tambrauw.
”Penebangan kayu di hutan milik masyarakat adat Domberai dengan modus pembukaan perkebunan sawit terjadi di Papua Barat selama beberapa tahun terakhir. Pihak perusahaan terlebih dahulu menjual kayu hasil pembukaan lahan sebelum menanam sawit,” tutur Zakarias.
Ia pun menambahkan, bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang rawan terjadi di wilayah adat Domberai akibat hilangnya hutan adat yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Misalnya banjir di Wasior, ibu kota Teluk Wondama, yang menyebabkan 158 orang tewas, 145 orang belum ditemukan, dan kerusakan hampir semua fasilitas publik.
”Banjir di Wasior tahun 2010 menjadi awal peristiwa dampak kerusakan lingkungan akibat pembukaan hutan yang diduga tanpa melalui analisis dampak lingkungan. Hingga kini wilayah Teluk Wondama, Pegunungan Arfak, Sorong, serta Manokwari rawan diterjang banjir ketika terjadi hujan,” katanya.