Sungai Dilupakan, Musibah Kerap Menyambangi Kota Banjarmasin
Banjir besar pada awal 2021 memperlihatkan rapuhnya ketahanan Kota Banjarmasin terhadap bencana. Banyak sungai sudah tidak berfungsi dengan baik sebagai jalan air dan pengendali banjir.
Sebagai daerah dengan julukan ”Kota Seribu Sungai”, Banjarmasin seakan melupakan jati dirinya sebagai kota sungai yang berkelanjutan. Sungai-sungai yang dulunya berfungsi sebagai jalan air sebagian sudah diuruk, tertutup bangunan, dan mengalami pendangkalan. Banjir besar pada awal 2021 memperlihatkan rapuhnya ketahanan kota ini terhadap bencana.
Belum lekang dari ingatan Muslimin (54), warga Banjarmasin, saat banjir menerjang Kota Banjarmasin pada Januari 2021. Rumah panggungnya di Kelurahan Telawang, Banjarmasin Barat, yang tidak pernah terendam banjir sebelumnya juga terendam.
”Rumah ulun (saya) waktu itu juga calap (terendam), kira-kira semata kaki di dalam rumah. Kalau di jalan muka rumah bisa 30-40 sentimeter (cm),” katanya di Banjarmasin, Selasa (9/5/2023).
Menurut Muslimin, daerah rumahnya memang kerap terdampak pasang laut atau banjir rob. Namun, rob yang biasanya berlangsung 2-3 jam hanya menggenangi jalan dan tidak pernah mencapai lantai rumah. ”Tahun 2021 banyu (air) sampai masuk ke rumah ulun karena faktor hujan juga,” ujarnya.
Ahmad Taufik (50), warga Kelurahan Basirih, Banjarmasin Barat, menuturkan, rob sudah menjadi langganan di daerah tempat tinggalnya yang berada di pinggiran Sungai Martapura. ”Setiap tahun pasti calap. Biasanya bulan November-Desember,” katanya.
Saat banjir rob, menurut Ahmad, rumahnya akhir-akhir ini selalu terendam air setinggi 30-40 cm. Padahal, rumah masa kecilnya bersama orangtua itu dulu tidak pernah terendam saat pasang laut, yang bisa terjadi siang ataupun malam hari. ”Kalau cuma banyu pasang biasanya dua jam sudah surut. Tetapi, kalau pas pasang itu hujan juga lebat, bisa agak lawas (lama) surut,” tuturnya.
Untuk mengamankan barang-barang elektronik dan perabot di rumahnya dari banjir, Ahmad membuat panggung setinggi 50 cm untuk meletakkan barang-barang itu. Mereka kemudian mengamankan diri ke loteng rumah atau lantai dua. ”Waktu 2021, dua jari lagi banyu mencapai panggung, ujarnya.
Baca juga: Banjir Landa Dua Kabupaten di Kalsel, Ribuan Warga Terdampak
Pada saat banjir 2021, Pemerintah Kota Banjarmasin mencatat ada 152 titik banjir di Banjarmasin. Sebarannya di Banjarmasin Timur (107 titik), Banjarmasin Utara (28 titik), dan Banjarmasin Selatan (17 titik). Total ada 31.357 keluarga atau 101.601 jiwa terdampak, sekitar 14 persen dari jumlah penduduk kota (Kompas, 6/2/2021).
Banjir kala itu tidak hanya menggenangi Banjarmasin yang berada di bagian hilir Sungai Martapura, tetapi juga menggenangi 10 kabupaten/kota di daerah hulu sungai tersebut, seperti Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Barito Kuala, Tanah Laut, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan, dan Tabalong.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalsel Hanifah Dwi Nirwana menyebutkan, kejadian banjir kala itu dipicu beberapa faktor, antara lain curah hujan yang luar biasa tinggi atau anomali curah hujan, pasang air laut, sedimentasi sungai, dan alih fungsi lahan.
”Pemprov Kalsel telah menginisiasi program Sungai Martapura Bungas yang berorientasi pada peningkatan fungsi sungai melalui perbaikan kualitas sungai. Program ini diharapkan berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat serta mampu mereduksi banjir,” katanya.
Baca juga: Persoalan di Kawasan Hulu di Kalsel Mendesak Diselesaikan
Kepala Dinas Kehutanan Kalsel Fathimatuzzahra, di Banjarbaru, Kamis (13/4/2023), sempat menyampaikan, luas lahan kritis di Kalsel yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2013 seluas 642.580 hektar (ha). Dengan gerakan revolusi hijau, luas lahan kritis berkurang menjadi 511.594 ha (2018), kemudian menjadi 458.478 ha pada 2022.
”Gerakan revolusi hijau berkontribusi positif dalam pengurangan lahan kritis. Sejak dicanangkan pada 2017 telah dilakukan pembagian bibit pohon dan penanaman di lahan seluas 137.243 ha yang tersebar di semua kabupaten/kota,” katanya.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Banjarmasin Husni Thamrin menyebutkan, ada tiga faktor yang memicu banjir di Banjarmasin pada Januari 2021, yaitu pasang laut tinggi, hujan lebat berhari-hari, dan kiriman air dari daerah hulu Sungai Martapura. Waktu itu, daerah kabupaten tetangga Banjarmasin juga banjir.
”Ketahanan daerah waktu itu juga tidak siap. Sungai di Banjarmasin sudah banyak yang dangkal dan tertutup sehingga air lambat turun,” ujarnya.
Menurut Husni, Banjarmasin yang dijuluki ”Kota Seribu Sungai” sebetulnya sudah tidak begitu banyak lagi sungainya. Banyak sungai di Banjarmasin sudah tertutup bangunan, tersumbat sampah plastik, dan mengalami pendangkalan karena tinggi sedimentasi.
”Perlu normalisasi dan revitalisasi supaya sungai kembali ke fungsi semula. Fungsinya bukan hanya untuk transportasi dan pariwisata, melainkan juga untuk pengendali banjir,” katanya.
Bencana tahunan
Husni menyampaikan, berdasarkan kajian risiko bencana, ada tiga bencana tahunan di Banjarmasin, yaitu banjir rob, cuaca ekstrem (hujan lebat dan angin kencang), serta kekeringan. Selain itu juga ada potensi bencana asap di Banjarmasin saat kebakaran hutan dan lahan marak terjadi di daerah kabupaten/kota tetangganya.
”Bencana yang paling sering terjadi di Banjarmasin adalah banjir rob. Itu sudah terjadi sejak dulu karena wilayah Kota Banjarmasin secara geografis berada pada ketinggian rata-rata 0,16 meter di bawah permukaan laut,” katanya.
Untuk memitigasi banjir rob, yang berpotensi parah dan meluas seperti kejadian 2021, menurut Husni, Pemkot Banjarmasin telah melakukan mitigasi fisik maupun nonfisik. Mitigasi nonfisik dilakukan melalui komunikasi informasi dan edukasi (KIE) sebagai bentuk peringatan dini kepada warga, terutama yang tinggal di pinggiran sungai.
Sementara itu, mitigasi fisik dilakukan oleh sejumlah dinas terkait. Misalnya, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Banjarmasin melakukan program normalisasi dan revitalisasi sungai. Dinas Lingkungan Hidup mengatasi permasalahan sampah di sungai. Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman menata permukiman warga di pinggiran sungai.
”Pada tahun 2022 ada 33 sungai yang diintervensi oleh Dinas PUPR. Sungai-sungai itu dinormalisasi dan direvitalisasi supaya kembali ke fungsi semula. Kalau sungai lestari dan alirannya bagus, banjir dipastikan cepat surut,” katanya.
Pengamat perkotaan Subhan Syarief berpendapat, penataan Kota Banjarmasin saat ini tidak sesuai atau melenceng dari falsafah kota sungai atau julukan ”Kota Seribu Sungai”. Sungai-sungai di Banjarmasin tidak lagi berfungsi dengan baik sebagai ”jalan air” dan ”rumah air” bagi sistem tata kelola air kawasan pasang surut ataupun ketika mendapat limpahan air hujan dan dari daerah hulu.
”Semua model pembangunan di Banjarmasin dari dulu sampai sekarang belum sejalan dengan karakteristiknya sebagai kota air dengan dominasi kawasan rawa dan posisi daratan berada di bawah permukaan air laut,” kata penulis buku Jika (Aku) Jadi Wali(nya) Kota: Gagasan Sederhana Menata Banjarmasin Memasuki Abad Keenam itu.
Baca juga: Hidup Berdaya di Tepi Sungai Martapura
Sungai hilang
Menurut Subhan, sistem pengurukan masih mendominasi pembangunan di Banjarmasin. Hal itu membuat daerah resapan air, termasuk sungai-sungai, tergerus dan hilang. Sirkulasi tata kelola air limpahan yang biasanya bisa ditampung dan dikelola oleh area resapan dan sungai menjadi tidak lagi berfungsi dengan baik. Bahkan, air kesulitan menuju sungai dan daerah resapan yang tersisa.
”Jadi, secara tidak sadar saat ini sebenarnya kondisi geografis Kota Banjarmasin sudah berubah jauh dibandingkan dengan kondisi alamiah. Banyak area rawa sudah berubah menjadi daratan karena diuruk. Inilah yang kemudian menjadi sumber masalah,” ungkapnya.
Subhan juga menyoroti berbagai program pemerintah dalam normalisasi, revitalisasi, dan optimalisasi sungai tidak dilakukan secara serius dan berkesinambungan. Program tersebut hanya fokus pada penataan bantaran sungai agar terlihat cantik, tetapi tidak banyak dan masif menyentuh area sungai yang sudah menyempit, dangkal, tidak terkoneksi, dan juga mati.
Ia pun mendorong agar di Banjarmasin ada gerakan revolusioner, masif, dan berkesinambungan dalam membenahi kondisi sungai dan area resapan. Sungai dan area resapan harus diperdalam, diperlebar, dan dikoneksikan. Tepian sungai atau bantaran mesti ditinggikan dengan tanggul serta memperbanyak pintu air yang dilengkapi dengan pompa untuk mengatur limpahan air.
Banyak area rawa sudah berubah menjadi daratan karena diuruk. Inilah yang kemudian menjadi sumber masalah.
Subhan mengatakan, semua model pembangunan di Banjarmasin harus diubah, terutama yang berada di daerah terendah dan dekat bantaran sungai. Pembangunan wajib menggunakan sistem panggung dengan minimal ketinggian lantai dasar 2 meter dari muka air tertinggi ketika air sungai pasang.
”Banjarmasin harus punya blueprint atau roadmap kota sungai yang tepat guna, komprehensif, dan berkelanjutan. Sebab, pembangunan sebuah kota harus tetap mengutamakan aspek keamanan dan kenyamanan warga daripada aspek keindahan kota semata,” katanya.
Baca juga: Bencana Kabut Asap dan Banjir di Kalimantan Melanggar HAM