Hidup Berdaya di Sungai Martapura
Sungai menjadi tumpuan warga Banjar di Kalimantan Selatan. Aliran sungai itu menggerakkan sendi-sendi hidup mereka.
Sungai masih berperan penting dalam kehidupan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, terlebih bagi warga Desa Lok Baintan yang tinggal di aliran Sungai Martapura. Inilah sumber kehidupan yang membuat warga merdeka dan berdaya dengan kearifannya.
Hari masih pagi benar ketika para perempuan paruh baya di Desa Lok Baintan, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, memuat barang ke perahu masing-masing. Di dalam perahu kecil tanpa mesin itu diletakkan bakul berisi aneka buah. Ada jeruk, pisang, jambu, mangga, dan kasturi. Ada pula bakul yang diisi dengan ikan kering, ikan asin, dan bahan kebutuhan pokok.
Para perempuan yang kerap disapa acil atau bibi itu naik ke perahu lalu berkayuh menyusuri Sungai Martapura. Mereka bertolak dari rumah menuju Dermaga Pasar Terapung Lok Baintan. Di situ mereka menunggu pembeli yang datang ke dermaga ataupun datang ke tengah sungai dengan menggunakan kelotok atau perahu bermotor.
”Ayo, belilah iwak karing (ikan kering) punya acil. Murah saja, cuma Rp 10.000,” kata seorang pedagang kepada pengunjung yang datang ke dermaga pada Minggu (7/8/2022) pagi.
Pedagang itu menyodorkan ikan sepat kering yang disusun berbentuk kepingan segi empat, lebih kurang seukuran sapu tangan. Dalam satu keping terdapat sekitar 20 ikan sepat berukuran 2-3 jari. ”Ini iwak karing asli dari sungai sekitar sini. Masih baru dan dijamin enak,” kata Ainiah (45) merayu calon pembeli.
”Maaf acil, saya enggak mau iwak karing. Saya mau jambu air dan pisang saja,” kata Tika (25), salah seorang pengunjung kepada pedagang itu. Tika kemudian memberikan uang pas Rp 25.000 kepada Ainiah untuk sekantong jambu air dan dua sisir pisang.
Pedagang yang lain juga getol menawarkan dagangannya kepada pengunjung. Mereka dengan cepat mengayuh perahu ke tengah sungai begitu ada kelotok dari Banjarmasin, yang datang membawa wisatawan. Para pedagang itu mengerumuni kelotok dan merayu wisatawan untuk membeli dagangannya.
Baca juga: Kota Lama Banjarmasin Bersemi Kembali
Ahmad Dimsani (24), pengunjung yang berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalsel, kaget sekaligus terkesan dengan tradisi berjualan di pasar terapung. ”Ternyata pedagang di sini sangat getol merayu kita untuk belanja. Beda dengan pedagang di pasar-pasar biasa,” kata pemuda yang baru pertama kali berkunjung ke Pasar Terapung Lok Baintan itu.
Dimsani kagum dengan tradisi masyarakat berdagang di sungai, yang masih bertahan sampai saat ini. Pasar terapung bahkan masih tetap ramai meskipun akses jalan darat menuju Lok Baintan sudah cukup nyaman dilalui dengan menggunakan sepeda motor ataupun mobil.
”Tradisi berdagang di sungai ini memang sangat unik dan menarik. Wajar saja kalau banyak wisatawan Nusantara dan mancanegara datang ke sini. Saya sendiri datang karena penasaran dengan keberadaan pasar terapung,” tuturnya.
Baca juga: Pasar Terapung Lok Baintan Menatap Pandemi dan Regenerasi
Pasar terapung diperkirakan ada sejak 1530 atau pada masa Kesultanan Banjar dipimpin Sultan Suriansyah. Pasar itu semula terletak pada pertemuan Sungai Karamat dan Sungai Sigaling di Banjarmasin. Kemudian bergeser ke tepi Sungai Barito di daerah muara Sungai Kuin menjelang akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17.
Pasar terapung di Sungai Martapura, Desa Lok Baintan, muncul kemudian, yaitu ketika Keraton Banjar pindah ke kawasan Kayutangi Martapura awal abad ke-17. Pasar Terapung Lok Baintan masih bertahan sampai sekarang atau hingga abad ke-21.
Tidak mati
Menurut Pambakal atau Kepala Desa Lok Baintan, Bawaihi, Pasar Terapung Lok Baintan tak akan mati selama warga masih merdeka mengusahakan hasil bumi. Pasar itu adalah tempat warga menjual hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan.
”Selama lahan kami masih bisa ditanam dan warga tidak malas bercocok tanam, maka pasar terapung tidak akan hilang walaupun infrastruktur jalan dan jembatan sudah bagus,” kata Bawaihi.
Pada akhir pekan saat musim buah-buahan, yang berjualan di pasar terapung bisa sekitar 200 perahu. Pedagangnya tak hanya dari Lok Baintan, tetapi juga dari desa-desa di sekitar Lok Baintan. ”Setidaknya, warga dari delapan desa di sepanjang Sungai Martapura, yang biasa berjualan di Pasar Terapung Lok Baintan,” ujarnya.
Bawaihi mengatakan, Sungai Martapura sampai sekarang ini masih sangat berarti bagi warga karena menunjang kehidupan sehari-hari dan sebagian besar aktivitas warga, mulai dari mandi, mencuci, mencari nafkah, bertransportasi, hingga berdagang. Sungai Martapura dan anak-anak sungainya menjadi jalur utama transportasi menuju kebun sehingga warga bisa menjalankan usaha pertanian.
Sungai Martapura selama ini menjadi tempat warga berdagang untuk memasarkan hasil bumi dan tempat mencari ikan ataupun melakukan budidaya ikan air tawar. Menurut Bawaihi, pekerjaan mencari ikan di sungai ataupun bercocok tanam dilakukan oleh para bapak, sedangkan para ibu bertugas menjual hasilnya di pasar terapung.
”Untuk menjaga populasi ikan di sungai, warga hanya menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, seperti pancing ataupun jala. Penangkapan dengan setrum ataupun tuba diharamkan,” ujarnya.
Air sungai juga masih dimanfaatkan untuk mandi dan mencuci. ”Sungai Martapura sesungguhnya adalah berkah bagi kami. Baru di awal tahun 2021, kami merasakan sungai itu menjadi musibah. Hampir dua bulan desa kami terendam banjir dan banyak tanaman buah yang mati,” tuturnya.
Pengajar Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat, Ersis Warmansyah Abbas, dalam artikelnya berjudul ”Kehidupan Sungai Masyarakat Kelurahan Kuin Kota Banjarmasin” (2018) menyebutkan, kehidupan sungai merupakan warisan yang dilakoni nenek moyang Urang Banjar (orang Banjar).
Mereka tidak hanya membangun rumah di tepi atau di atas sungai, tetapi hampir semua aktivitas kehidupan masyarakat berhubungan dengan sungai.
”Kehidupan sungai dengan jangkauan wilayah demikian luas berperanan penting bagi masyarakat Banjar. Sampai tahun 1950 ketika transportasi darat belum pesat berkembang, Urang Banjar menggantungkan kehidupan pada transportasi sungai. Mereka mencari penghasilan untuk kehidupan sehari-hari dengan memanfaatkan sungai,” kata Koordinator Program Studi Pendidikan IPS FKIP ULM itu.
Baca juga: Godaan Rasa Santapan Urang Banjar
Menurut Ersis, perubahan sosial dalam dayung perkembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi menjadikan Urang Banjar harus menerima perubahan yang tidak terelakkan. Dalam situasi itu, masyarakat Banjar ternyata masih tetap melestarikan kehidupan dan kebudayaan sebagai garis sejarah turun-temurun.
Sungai Martapura sesungguhnya adalah berkah bagi kami. Baru di awal tahun 2021, kami merasakan sungai itu menjadi musibah.
”Kemajuan (bagi orang Banjar) bukan berarti menafikan segala hal yang telah menjadi warisan kehidupan leluhur,” ujar profesor atau Guru Besar ULM bergelar adat Datu Cendekia Hikmadiraja Kesultanan Banjar itu.
Terbelenggu masalah
Ersis menyebutkan, falsafah gawi sabarataan (bekerja semua) dan kayuh baimbai (mendayung bersama-sama) menjadi landasan kehidupan sosial orang Banjar. Falsafah itu merupakan warisan nenek moyang Urang Banjar, yang sedari awal harus menyiasati dan memanfaaatkan lingkungan (alam ataupun sungai) sehingga alam harus dijaga dan dipelihara demi keberlangsungan kehidupan.
Bagaimanapun, falsafat itu masih tetap relevan, terlebih di tengah kondisi Sungai Martapura, yang terus mengalami degradasi lingkungan. Sungai Martapura, yang termasuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito, melintasi wilayah Kabupaten Banjar dan Kota Banjarmasin. Bagian hulu Sungai Martapura berada di Riam Kiwa, Kecamatan Pengaron, Banjar, sedangkan bagian hilirnya atau muaranya ke Sungai Barito berada di Banjarmasin.
Baca juga: Denyut Perekonomian Kota Banjarmasin Berawal dari Tepi Sungai
Berdasarkan data Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah V Banjarbaru, panjang Sungai Martapura 95,64 kilometer. Panjang sungai di wilayah riparian perkotaan 39,70 km, sedangkan panjang sungai di wilayah riparian perdesaan 55,93 km.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalsel Hanifah Dwi Nirwana mengemukakan, sub-daerah aliran sungai Martapura memiliki berbagai permasalahan dari hulu hingga hilir. Permasalahan di bagian hulu, yaitu hilangnya sumber resapan air karena penggundulan hutan dan alih fungsi hutan. Di bagian tengah, adanya pencemaran dari berbagai kegiatan domestik. Kemudian di hilir, adanya permukiman kumuh serta pencemaran dari limbah domestik dan industri.
Berdasarkan hasil pemantauan Dinas Lingkungan Hidup Kalsel terhadap kualitas air Sungai Martapura di Kabupaten Banjar dan Kota Banjarmasin pada 2020, status mutu air sungai di sub-DAS Martapura dalam kategori cemar sedang. Kemudian hasil pemantauan terbaru pada Mei-Juni 2022 didapati 81,58 persen dalam status cemar ringan, 15,79 persen dalam status cemar sedang, dan hanya 2,63 persen dalam status memenuhi mutu.
”Kami memiliki program Sungai Martapura Asri dalam rangka memperbaiki kualitas air sungai. Untuk itu, kami terus melakukan pendekatan kepada masyarakat di sepanjang Sungai Martapura agar mengurangi penggunaan jamban apung,” kata Hanifah di Banjarbaru, Rabu (10/8/2022).
Bawaihi mengatakan, salah satu wujud program Sungai Martapura Asri yang sudah berjalan di Lok Baintan adalah kegiatan bersih-bersih sungai setiap Jumat. Namun, kegiatan itu belum cukup untuk mengatasi pencemaran sungai akibat limbah domestik. ”Kami memerlukan bantuan jamban yang layak untuk mengurangi pencemaran Sungai Martapura,” katanya.
Kehidupan sungai membuat urang Banjar bisa hidup berdaya, tetapi mereka tetap harus bisa menjaga sungai agar tetap bisa merdeka.
Baca juga: Warga Dilibatkan dalam Restorasi Sungai Martapura