Melalui desa tangguh bencana, warga diberikan pemahaman tentang bencana, prosedur evakuasi, dan penanganan pascabencana. Di setiap desa tersebut dibentuk relawan yang bertugas mendata kaum rentan dan membantu evakuasi.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
Sebagai daerah pesisir, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, berpotensi besar dilanda gempa, tsunami, dan banjir rob. Pemerintah Kota Banda Aceh harus menyiapkan ketangguhan warganya menghadapi bencana tersebut. Pendidikan kebencanaan untuk warga perlu diperkuat dan pembangunan infrastruktur harus memadai.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Kota Banda Aceh Rizal Abdillah yang dihubungi, Rabu (10/5/2023), mengatakan, mitigasi bencana gempa dan tsunami harus diperkuat mengingat pertumbuhan penduduk di pesisir tinggi. Daerah bekas tsunami kini telah tumbuh menjadi permukiman baru.
”Kami membentuk desa tangguh bencana (Destana) sebanyak 22 desa yang berada di pesisir. Ada juga program sekolah dan madrasah tangguh bencana,” kata Rizal.
Melalui Destana, warga diberikan pemahaman tentang bencana, prosedur evakuasi, dan penanganan pascabencana. Di setiap desa tersebut dibentuk relawan yang bertugas mendata kaum rentan dan membantu evakuasi saat terjadi bencana.
”Kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas dan warga lansia, sudah terpetakan di mana saja posisinya sehingga saat terjadi bencana mudah dievakuasi,” kata Rizal.
Penguatan kesiapsiagaan mutlak harus dilakukan mengingat Banda Aceh separuh wilayahnya masuk dalam zona rawan tsunami. Pengalaman tsunami 2004 telah mengajarkan warga dan pemerintah di kota itu untuk lebih siap menghadapi tsunami yang bisa hadir kapan saja.
Daerah seperti Kecamatan Syiah Kuala dan Meuraxa pernah luluh dihantam tsunami, tetapi kini kembali ramai. Warga tetap kembali ke pesisir karena mata pencaharian mereka sebagai nelayan.
Di Banda Aceh terdapat empat gedung penyelamatan yang mampu menampung masing-masing 1.000 orang. Namun, tidak semua daerah pesisir memiliki gedung penyelamatan. Banda Aceh dan Aceh Besar juga memiliki sirine peringatan tsunami yang difungsikan saat terjadi bencana.
”Warga sudah sadar jika terjadi gempa dan potensi tsunami harus segera menjauh dari laut. Kami terus melakukan sosialisasi dan simulasi,” kata Rizal.
Seorang warga Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, Latif (51), mengatakan, tidak trauma meski pernah menjadi korban tsunami. Kini dia kembali tinggal di Alue Naga, desa yang nyaris hilang dihantam tsunami 2004.
Latif dan warga Alue Naga telah dilatih cara mitigasi bencana tsunami. Letak rumahnya hanya 300 meter dari bibir pantai. ”Kalau terjadi gempa, saya tunggu informasi dari BMKG. Kalau ada potensi tsunami, saya segera menjauh dari pantai,” kata Latif.
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias pernah mengeluarkan cetak biru pembangunan setelah tsunami. Salah satu poin penting adalah melarang pendirian bangunan pada jarak 500 meter dari pantai. Kala itu hal ini diprotes korban karena mereka tidak mau meninggalkan tanah kelahirannya. Alhasil, permukiman di zona rawan tetap dibangun.
Syamsidik, peneliti Pusat Studi Tsunami dan Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, mengatakan, periode emas mengosongkan zona rawan telah berlalu. Saat itu pemerintah gagal menahan korban untuk kembali ke kawasan bekas tsunami.
Pada 2014, Syamsidik meneliti faktor migrasi penduduk ke zona bekas tsunami. Beberapa faktor dominan adalah harga sewa lahan/rumah murah, dekat dengan tempat kerja, memiliki tanah warisan, dan selamat dari tsunami 2004. Artinya, faktor ekonomi dan sosial jadi alasan warga nekat tinggal di zona rawan tsunami.
”Yang harus diperkuat saat ini pendidikan kebencanaan dan kesiapsiagaan,” kata Syamsidik.
Banjir rob
Selain gempa dan tsunami, Banda Aceh juga rawan banjir rob dan genangan. Namun, pemerintah telah melakukan penanganan dengan membenahi drainase secara besar-besaran. Pada 2014, melalui bantuan Pemerintah Perancis, drainase di Banda Aceh dibenahi.
Rizal mengatakan, dulu Banda Aceh sering mengalami banjir genangan dalam jangka waktu yang lama, tetapi kini surut lebih cepat. ”Tetapi kalau hujan dan beradu dengan air laut pasang agak sedikit lama surut,” kata Rizal.
Yang harus diperkuat saat ini pendidikan kebencanaan dan kesiapsiagaan. (Syamsidik)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala pada rentang 2016-2019, Banda Aceh mengalami kenaikan permukaan air laut 7 milimeter per tahun. Dengan demikian, kawasan seluas 675 hektar atau 11 persen dari total lahan Banda Aceh berpotensi terdampak banjir rob dalam 100 tahun mendatang. Sebagian kawasan yang bakal tergenang adalah permukiman yang berada di pesisir pantai.
Beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan Pemkot Banda Aceh, kata Syamsidik, adalah mempertahankan daerah sabuk hijau, laguna, dan membangun infrastruktur jalan di pesisir lebih tinggi daripada kondisi sekarang.
Syamsidik juga menyarankan agar daerah sabuk hijau atau mangrove ditanami kembali agar menjadi peredam tsunami dan rob.
Pakar bencana hidrometeorologi dari Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, Profesor Azmeri, mengatakan, tiga penyebab banjir di Banda Aceh, yaitu hujan, pasang purnama, dan infrastruktur tidak bekerja maksimal.
Pada pertengahan tahun 2020, Banda Aceh pernah dilanda hujan dengan intensitas mencapai 150 milimeter per hari. Untuk wilayah perkotaan, ini tergolong tinggi. Padahal, intensitas hujan normal 20-50 milimeter per hari.
Pascadilanda hujan lebat selama beberapa hari, pasar dan jalan utama di Banda Aceh tergenang air. Namun, karena pemkot telah membenahi drainase, banjir hanya berlangsung dua hari kemudian surut kembali.