Transformasi Perkotaan Menghadapi Perubahan Iklim
Pada tahun 2035, proporsi penduduk dunia mayoritas akan bermukim di wilayah perkotaan. Fenomena ini berekses pada tingginya emisi karbon yang berpotensi meningkatkan ancaman bencana di kawasan urban.
Dampak perubahan iklim terus meluas hingga ke seantero permukaan Bumi. Tantangan masyarakat terutama yang bermukim di perkotaan kian besar dengan kompleksitas pola konsumsi yang menghasilkan emisi karbon. Apabila persoalan konsumsi ini dapat ditekan, emisi karbon dapat ditekan hingga dua kali lebih rendah pada 2050 nanti.
Sebaliknya, bila permasalah emisi karbon itu sulit tertangani, akan berdampak pada perubahan iklim yang memicu sejumlah kejadian bencana. Penambahan frekuensi kejadian bencana ini menimbulkan risiko besar bagi masyarakat terutama yang menghuni wilayah perkotaan. Berbagai penurunan kualitas lingkungan tempat tinggal harus dihadapi golongan urban tersebut.
PBB memprediksi bahwa proses urbanisasi terus berlangsung dengan cepat. Hingga tahun 2025, diperkirakan sedikitnya 58 persen atau 4,8 miliar penduduk dunia menempati wilayah kota. Angka ini bertambah 10 persen di tahun 2050 sehingga proporsi penduduk kota mencapai hampir 70 persen atau 6,7 miliar orang.
Peralihan penduduk dari desa ke kota tersebut terjadi di seluruh kontinen di Bumi. Pada tahun 2035, serentak di seluruh kontinen di dunia proporsi penduduk perkotaan akan jauh lebih banyak dari wilayah lainnya. Fenomen ini berdampak pada tingginya tekanan terhadap lingkungan. Salah satunya berupa emisi karbon di wilayah perkotaan yang berimbas pada tingginya ancaman bencana di kawasan urban.
Saat ini tercatat ada ratusan kota dengan penduduk lebih dari 3 juta jiwa. Oleh karena itu, perubahan iklim berpotensi besar meningkatkan permasalahan perkotaan dari tahun ke tahun. Frekuensi kejadian cuaca ekstrem makin sering terjadi. Misalnya, seperti gelombang panas, hujan ekstrem, hingga banjir dan gangguan akses ke air bersih.
Meskipun memiliki tingkat ancaman bencana yang besar, wilayah perkotaan umumnya juga memiliki kemampuan daya tangkal yang tinggi. Kualitas sumberdaya manusia, kemampuan finansial, perkembangan infrastruktur, dan aplikasi teknologi untuk mendorong perbaikan kualitas lingkungan. Salah satunya untuk melakukan mitigasi ancaman dari perubahan iklim global.
Baca juga: Hari Populasi Sedunia: Ledakan Penduduk dan Degradasi Lingkungan
Sebuah studi yang rilis dalam laporan ”The Future of Urban Consumption in a 1.5 Celcius World” (2021) menunjukkan peran besar wilayah perkotaan terhadap penanganan perubahan iklim. Dari sisi emisi karbon saja, seluruh wilayah perkotaan menyumbang sedikitnya 10 persen dari emisi karbon global. Studi ini dilakukan di 96 kota besar di dunia, termasuk Jakarta. Pendekatan yang digunakan adalah enam pola konsumsi penduduk, yaitu pakaian/tekstil, makanan dan minuman, industri penerbangan, pembangunan infrastruktur, kendaraan bermotor, dan teknologi.
Setidaknya dengan mengatur atau mengendalikan keenam konsumsi tersebut secara lebih ramah lingkungan, maka akan berdampak besar bagi lingkungan. Wilayah perkotaan potensial menjadi pemimpin perubahan besar dalam penanganan perubahan iklim. Ada sejumlah target penurunan emisi yang dapat dicapai dengan inovasi dan adaptasi penduduk melalui pola-pola konsumsi masyarakat perkotaan.
Perubahan pola konsumsi masyarakat itu akan membawa manfaat yang jauh lebih luas. Baik bagi penduduk, wilayah kota, maupunn skala yang lebih luas dalam konteks penanganan perubahan iklim. Tak hanya itu, individu, bisnis, dan sektor pemerintahan juga akan memperoleh keuntungan jika perubahan tersebut dilakukan dengan benar.
Intervensi emisi karbon
Apabila penduduk perkotaan mampu melakukan inovasi yang mampu meningkatkan konsumsi, tetapi tetap ramah lingkungan, emisi karbon yang tereduksi diperkirakan sangat besar. Berdasarkan data proyeksi 2017 hingga 2030, penurunan emisi yang dapat ditekan diperkirakan mencapai 29 persen. Bila reduksi itu terus dilakukan hingga 2050, persentase emisi karbon dapat dikurangi hingga 49,5 persen. Pengurangan emisi ini berasal dari pengelolaan konsumsi yang bersumber dari pakaian/tekstil, makanan dan minuman, industri penerbangan, pembangunan infrastruktur, kendaraan bermotor, dan pengembangan teknologi.
Dari ke-6 pola konsumsi perkotaan itu, transformasi pertama dapat dimulai dari sektor pakaian atau tekstil yang diproyeksikan mampu menekan emisi hingga 66 persen pada 2050 nanti. Artinya, konsumsi pakaian sangat memungkinkan untuk dikendalikan. Dua sumber emisi karbon terbesar produksi pakaian adalah konsumsi energi listrik dan pemenuhan kebutuhan bahan dari ternak, seperti kain wol.
Oleh karena itu, ada dua cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan konsumsi pakaian, yaitu mengurangi jumlah pembelian pakaian dan pembuangan pakaian. Proses pengurangan konsumsi pakaian dimulai dari tahun 2030 dengan batasan beli 8 buah per tahun. Selanjutnya, ditekan hingga sisa 3 buah per tahun pada 2050.
Dari sisi pembuangan pakaian, setiap individu perlu mempertahankan tiga per empat dari total pakaian saat ini. Artinya, hanya 25 persen yang akan dibuang hingga tiga dekade mendatang. Pola penggunaan pakaian berulang penting, apalagi dikombinasi dengan pembatasan beli baju baru.
Baca juga: Merancang Ulang Adaptasi dan Mitigasi Krisis Iklim
Konsumsi kedua adalah makanan dan minuman yang emisinya didominasi dari proses penyediaan bahan baku melalui pertanian dan peternakan. Artinya, besaran emisi karbon dari pola konsumsi makanan dan minuman ditentukan pula dari kebutuhan pangan harian masyarakat.
Ada dua kunci utama untuk mengendalikan konsumsi makanan dan minuman. Terdiri dari pengurangan konsumsi daging dan produk turunannya, serta mengurangi sampah makanan dan minuman. Agar target pengendalian emisi karbon perkotaan tercapai, konsumsi daging dan produk turunannya harus berhenti di tahun 2050. Selain itu, sampah makanan harus ditekan hingga 75 persen dari rerata saat ini.
Konsumsi ketiga yang harus dikendalikan adalah pola penerbangan. Diproyeksikan emisi karbon dari penerbangan turun 55 persen di tahun 2050 apabila setiap orang hanya melakukan perjalanan maksimal 1.500 kilometer (setara jarak Jakarta ke Makassar) setiap tiga tahun. Cara berikutnya adalah menggunakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
Konsumsi berikutnya adalah pembangunan infrastruktur yang meliputi perumahan dan fasilitas umum, seperti jembatan, jalan, dan gedung-gedung lainnya. Basis pengurangan emisi ini dilakukan dengan pemilihan bahan material bangunan yang akan dipergunakan. Cara ini mampu menekan emisi karbon hingga 44 persen.
Pola konsumsi kelima adalah kendaraan bermotor yang menyumbang 16 persen emisi perkotaan. Kepemilikan kendaraan harus mencapai nihil pada tahun 2050. Artinya, apabila memiliki kendaraan, usia penggunaannya perlu dimaksimalkan hingga batas waktu tertentu. Usia pemakaian barang yang panjang juga berlaku untuk menekan keluaran emisi karbon. Tentu saja, harus disertai dengan teknologi andal yang sesuai dengan perkembangan zaman dan juga efisiensi mesin yang minim emisi karbon.
Kenyataan pahit
Langkah-langkah pengendalian emisi karbon di wilayah perkotaan tersebut memang terbilang tidak sederhana. Salah satunya karena beragamnya pola konsumsi setiap masyarakat kota. Hanya saja, kompleksitasnya penanganan di kawasan urban itu tidak ada artinya dibandingkan risiko yang akan dihadapi penduduk kota karena ancaman pemanasan global.
Perlu menjadi peringatan bagi setiap individu bahwa pola iklim dan kejadian-kejadian bencana yang muncul di wilayah kota tidak hanya dipengaruhi pemanasan suhu secara global semata. Ada pengaruh lainnya, yaitu sistem iklim mikro atau disebut Urban Heat Island.
Saat tren pemanasan terus berlanjut karena emisi karbon belum terkendali, maka diperkirakan ada 1,6 miliar orang yang terdampak cuaca ekstrem. Dari sisi kewilayahan, ada 970 kota yang dilanda cuaca ekstrem tersebut. Hal ini akan berimbas pada meningkatkan kemiskinan karena besarnya pengeluaran untuk hidup nyaman dan sehat.
Baca juga: Generasi Muda Adaptif Menyikapi Krisis Iklim
Kenyataan pahit lainnya adalah kelangkaan sumber daya air dan pangan. Tercatat sedikitnya 500 kota yang akan kesulitan memenuhi kebutuhan akan air warganya. Lebih parah lagi, keterbatasan pangan akan melanda sekitar 1.600 kota di seluruh dunia yang dihuni oleh sekitar 2,5 miliar jiwa.
Permasalahan lain yang tidak kalah pelik adalah kenaikan muka air laut yang diperparah dengan penurunan muka tanah di wilayah pesisir perkotaan. Dampaknya sangat luas, mulai dari kerusakan habitat kepesisiran, berkurangnya pendapatan nelayan, hingga intrusi air laut yang menurunkan kualitas air bersih.
Di tengah risiko besar karena perubahan iklim, sejumlah kota telah bertransformasi untuk lebih adaptif dengan kondisi saat ini dan mendatang. Kota Paris telah memulainya dengan pembangunan sistem penghangat wilayah kota sejak 1927 sehingga mampu mencapai efisiensi energi hingga 35 persen.
Kota-kota lain yang juga memulai transformasi melalui perencanaan pembangunan berbasis pengurangan emisi karbon. Di antaranya adalah Bangkok di Thailand, Cape Town di Afrika Selatan, Sao Paolo di Brasil, Chicago di Amerika Serikat, serta Jakarta dan Semarang di Indonesia. Setiap kota memiliki karakteristik tersendiri dalam memilih pola pembangunannya.
Mempertimbangkan besarnya risiko wilayah kota karena perubahan iklim, maka besarnya dampak di tahun-tahun ke depan adalah hasil dari keseriusan mitigasi dan adaptasi iklim saat ini. Oleh karena itu, langkah mitigasi itu tidak hanya terbatas pada kiprah pemerintah semata, tetapi juga keterlibatan setiap individu untuk ambil peran dalam menekan emisi karbon melalui pengendalian pola konsumsi. (LITBANG KOMPAS)