Banjir dan Karhutla ”Tamu Rutin” Bumi Sriwijaya, Palembang
Banjir di Palembang disebabkan oleh dua hal krusial, yakni tidak optimalnya saluran air akibat topografi wilayah dan pembangunan yang serampangan.
Banjir dan bencana asap kebakaran hutan terus mengintai Palembang, Sumatera Selatan. Kerusakan lingkungan dan tata kota yang belum memitigasi bencana membuat bencana seakan tidak pernah hilang bahkan menjadi ”tamu rutin” yang setiap tahun terus mendatangi ”Bumi Sriwijaya”. Implementasi regulasi yang tegas dan jelas perlu diperkuat untuk menekan risiko bencana yang terjadi di Palembang.
Setiap menjelang akhir tahun hingga awal tahun, warga Palembang waswas akan datangnya banjir yang merendam kota. Banjir parah terakhir terjadi setidaknya pada Oktober 2022 dan Desember 2021.
Pada Desember 2021, banjir merendam beberapa kecamatan, seperti Kemuning, Sukarame, dan Kalidoni. Bahkan, ketinggian air bisa mencapai 1 meter. Selain permukiman warga, banjir juga merendam jalan utama, seperti Jalan R Soekamto, Jalan Kapt A Rivai, Jalan Tasik, dan Jalan Basuki Rahmat, Simpang Lima DPRD Sumsel.
Saat itu, dua orang tewas. Satu korban terseret arus deras banjir saat menuntun sepeda motornya di genangan banjir. Tubuh korban masuk ke gorong-gorong di kawasan Jalan MP Mangkunegara. Satunya korban lagi tersetrum listrik di kawasan yang terendam air sedalam 50 sentimeter di wilayah Kecamatan Sukarami, Palembang,
Baca juga: Banjir di Palembang Telan Dua Korban Jiwa
Pada Oktober 2022, banjir terjadi di beberapa kawasan, seperti di kawasan Sekip, Kawasan Celentang, Jalan R Soekamto, Kawasan 8 Ilir, Simpang Polda Sumsel, dan beberapa kawasan lainnya. Ketinggian air mencapai 70 cm. Salah satu titik banjir, yakni di Jalan R Soekamto, bahkan membuat arus lalu lintas tersendat hingga dua jam.
Wakil Wali Kota Palembang Fitrianti Agustinda mengatakan, banjir di Palembang disebabkan oleh dua hal krusial, yakni tidak optimalnya saluran air (drainase) akibat topografi wilayah dan pembangunan yang serampangan. Pemerintah sudah melakukan beragam cara untuk mengantisipasi bencana banjir yang terjadi di Palembang, seperti memperlebar saluran air, termasuk membongkar bangunan yang menutup saluran air.
Dalam catatannya, setidaknya ada 300 bangunan semi permanen yang sudah dibongkar akibat dibangun di atas saluran air. Selain itu, pihaknya juga rutin membersihkan anak-anak sungai karena sampah bisa menjadi penghambat aliran sungai.
Terkait keberadaan rawa, Fitri menuturkan, pihaknya berupaya untuk mencegah adanya rawa konservasi yang dialihfungsikan. Namun, terkait adanya penimbunan, pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena itu terkait kebutuhan tempat tinggal seiring semakin banyaknya penduduk di Palembang.
Meski demikian, kolam retensi terus dibangun. Terakhir sudah ada 46 kolam retensi yang tersedia. Dengan pembangunan ini diharapkan dapat mengurangi titik banjir di Palembang. Sebelum adanya intervensi, ujar Fitrianti, ada 33 titik banjir di Palembang. Namun, kini jumlahnya berkurang menjadi 20 titik banjir.
Fitrianti menegaskan, pihaknya akan terus memantau dan memberikan peringatan bagi ruko atau perumahan yang membandel. ”Jika tidak ada perubahan, kami akan mengkaji lagi izinnya. Kalau perlu, kami cabut saja izinnya,” katanya.
Ketegasan inilah yang dituntut oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel. Kepala Divisi Hukum dan HAM Walhi Sumsel Yusri Arafat menyebut, banjir yang terjadi di Palembang tidak lain disebabkan oleh kelalaian pemerintah dalam menjalankan Peraturan Daerah kota Palembang Nomor 15 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palembang Tahun 2012-2032.
Hal ini ditandai dengan tidak terjaganya keberadaan ruang terbuka hijau, yakni sebesar 30 persen dari luas wilayah Kota Palembang dan mengembalikan fungsi rawa konservasi seluas 2.106,13 hektar sebagai pengendali banjir. Selain itu, menyediakan kolam retensi yang cukup sebagai fungsi pengendali banjir.
Sebagian besar lahan rawa digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti membangun perumahan. Akibatnya, wilayah tangkapan air pun berkurang. Yusri berharap pemerintah bisa tegas menegakkan RTRW yang sudah ditetapkan.
Selain itu, pemerintah juga harus memiliki komitmen untuk menyediakan anggaran untuk membangun infrastruktur penanganan banjir di Kota Palembang. Komitmen dari sejumlah pihak perlu diperkuat utamanya untuk menjaga kelestarian alam agar bencana itu tidak lagi berkunjung.
Kawasan hulu
Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatera Selatan Ansori menuturkan, banjir di kawasan hilir seperti di Palembang, penyebabnya tidak lain adalah curah hujan yang tinggi, tersumbatnya saluran air, dan pasang surut Sungai Musi.
Namun, apa yang terjadi di Palembang tidak terlepas dari situasi di hulu. Setidaknya ada tiga bencana yang kerap terjadi di Sumatera Selatan, yakni banjir, longsor, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Penyebab utama dari munculnya ketiga bencana tersebut tidak lain karena kerusakan lingkungan dan idak diterapkannya regulasi secara benar di lapangan.
Jika melihat tren setiap tahun, bencana banjir dan longsor di Sumsel biasanya terjadi pada rentang waktu November sampai dengan April di saat hujan mengguyur. Adapun ketika musim kemarau tiba, bencana asap akibat karhutla yang rentan membayangi. Asap dari daerah lain itu terbang dibawa angin ke Palembang. Musim kemarau di Sumsel biasanya dimulai pada awal Mei dan mencapai puncaknya pada Agustus-September.
Berdasarkan catatan BPBD Sumsel, jumlah bencana di Sumsel sepanjang tahun 2022 berjumlah 147 bencana dengan rincian bencana kebakaran (rumah) mencapai 52 kali kejadian, banjir 43 kali, puting beliung 30 kali, longsor 17 kali, dan banjir bandang 1 kali.
Baca juga: Palembang, Kota Sungai yang Gamang Hadapi Banjir
Kejadian itu menelan 10 korban jiwa dan merendam ribuan rumah. Terjangan banjir dan longsor juga merusak sarana infrastruktur seperti jembatan, sekolah, dan sarana umum lainnya.
Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2021. Saat itu, bencana tercatat 154 bencana dengan rincian 22 kali banjir, 98 kali kebakaran, 21 kali bencana puting beliung, 6 kali banjir bandang, dan 7 kali tanah longsor. ”Adapun jumlah korban meninggal mencapai 14 jiwa,” ujarnya.
Ansori berpendapat, bencana ekologis yang terjadi di Sumsel merupakan akumulasi dari kerusakan lingkungan yang terjadi di sejumlah daerah. ”Hutan kian kritis membuat daya tangkap air kian berkurang. Inilah yang menyebabkan longsor dan banjir rutin terjadi hampir setiap tahun,” ujarnya.
Dampak karhutla
Adapun bencana karhutla, ujar Ansori, juga hampir terjadi setiap tahun dengan intensitas yang berbeda. Dalam dua tahun terakhir, kondisi karhutla di Sumsel tidak terlalu masif seperti tahun 2015 dan 2019. Penyebabnya karena Sumsel mengalami kemarau basah.
”Hanya saja untuk tahun ini, kita perlu waspada lantaran saat ini Sumsel masuk dalam kondisi kemarau normal atau sama seperti tahun 2019,” ujar Ansori.
Baca juga: Titik Panas di Sumsel Meningkat Signifikan
Berkaca pada tren kebakaran hutan dan lahan di Sumsel, titik panas (hotspot) biasanya akan lebih banyak terjadi pada saat kemarau panjang. Terlihat pada tahun 2015, sebaran titik panas mencapai 27.043 titik dengan luas lahan terbakar sekitar 750.000 hektar. Berlanjut pada 2019, sebaran titik panas berjumlah 17.391 titik dengan luas lahan terbakar mencapai 329.485 hektar.
Di Sumsel, ada 10 daerah yang rawan terjadi karhutla. Empat daerah itu, yakni Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Banyuasin, Musi Banyuasin, perlu menjadi perhatian lantaran memiliki areal gambut yang cukup luas. ”Apabila kawasan itu terbakar, secanggih apa pun peralatan yang dikerahkan akan sulit untuk memadamkan api,” ujar Ansori. Ketika kawasan itu terbakar, asapnya dipastikan akan masuk ke Palembang.
Catatan harian Kompas, kasus kabut asap yang menyelimuti Palembang terjadi hampir setiap tahun terutama di rentang tahun 2015 dan 2019. Kabut asap tersebut biasanya terjadi pada periode Agustus sampai September. Kabut bercampur asap akan sangat terlihat pekat pada pagi dan sore hari. Saat itu, jarak pandang di bawah 1 km.
Kondisi ini, ujar Ansori, bisa mengganggu aktivitas pelayaran di sungai, termasuk penerbangan di Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. Gangguan lalu lintas juga kerap terjadi di sejumlah ruas tol dan di jalan arteri, terutama di Jalan Tol Palembang-Indralaya dan di ruas jalan lintas timur yang menghubungkan Kabupaten Ogan Ilir dengan Palembang.
Tidak hanya menggangu aktivitas lalu lintas darat, udara dan sungai, kabut asap juga menyebabkan sejumlah warga Palembang mengalami gangguan pernapasan. ”Di saat kabut asap terjadi, warga yang terkena ISPA pasti akan meningkat,” ungkapnya.
Karena itu, Ansori berpendapat, pencegahan kebakaran lahan lebih penting daripada penanggulangan. Hal ini karena ketika bencana itu terjadi akan banyak warga yang dirugikan, tidak hanya materi tetapi imateriil, bahkan bisa menelan korban.
Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Yuliusman mengatakan, banjir yang terjadi di Sumsel adalah dampak dari tindakan ilegal di kawasan hulu, seperti perambahan hutan dan alih fungsi lahan. ”Di hulu banyak galian C, berupa tambang kerikil, tanah, hingga tambang batubara,” ungkapnya.
Hal ini diperparah dengan pembangunan yang serampangan di kawasan hilir, khususnya di perkotaan dataran rendah seperti di Palembang. Di ibu kota Sumsel itu, terjadi penimbunan rawa untuk pembangunan permukiman tanpa memperhatikan rencana tata ruang wilayah yang sudah ditetapkan.
Menurut dia, perlu ada keberpihakan dari pemerintah untuk tegas dalam menerapkan aturan. Jangan karena alasan investasi, semua hal dilegalkan, termasuk merusak lingkungan. Kondisi ini tentu akan merugikan masyarakat.
Ia pun meminta agar pemerintah tidak dengan mudah memberikan izin terutama di kawasan gambut yang menjadi tempat penyimpanan air. Dirinya menemukan banyak izin hutan tanaman industri atau tanaman perkebunan yang diberikan di atas kawasan gambut.
Jangan karena alasan investasi, semua hal dilegalkan, termasuk merusak lingkungan. (Yuliusman)
Kondisi ini membuat kebakaran lahan sangat rentan terjadi. Karena itu, tidak ada cara lain adalah menghentikan pemberian izin untuk perusahaan yang dalam aktivitasnya berpotensi merusak lingkungan.
Sebelumnya, pemerhati lingkungan dari Universitas Islam Negeri Raden Fatah, Palembang, Yenrizal, berharap segala musibah yang terjadi di Sumsel bisa menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk mulai menghargai lingkungan. Menghentikan segala aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan dan mulai melakukan pemulihan vegetasi di kawasan hulu.
Dari sinilah peran akademisi harus dikedepankan, misalnya dengan melakukan penelitian jenis tanaman apa saja yang bisa digunakan untuk menahan laju air. ”Diharapkan tanaman yang diberikan adalah yang memang bernilai ekonomi sehingga masyarakat memiliki pekerjaan alternatif yang juga dapat berperan untuk menjaga lingkungan,” ujarnya.
Di sisi lain, ia berharap agar masyarakat yang memang tinggal di kawasan rawan bencana adaptif dalam melakukan pembangunan. Jika memang berada di kawasan rawan banjir, jangan membuat rumah tapak tetapi, tetapi buatlah rumah panggung sehingga ketika terjadi luapan sungai mereka masih bisa tetap tinggal atau bertahan sampai banjir surut.