Titik panas di Sumatera Selatan pada April 2023 meningkat dibandingkan dengan tiga bulan sebelumnya. Peningkatan ini menjadi pertanda risiko kebakaran lahan, terutama di kawasan yang rawan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Titik panas di Sumatera Selatan pada April 2023 meningkat dibandingkan dengan tiga bulan sebelumnya. Peningkatan itu menjadi pertanda bahwa risiko kebakaran lahan, terutama di kawasan rawan, meningkat. Sejumlah langkah mitigasi sudah disiapkan, termasuk memperingatkan warga dan perusahaan perkebunan untuk lebih waspada dalam beraktivitas.
Hal itu disampaikan Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel Ansori, Selasa (9/5/2023). Dia menuturkan, jumlah titik panas pada April 2023 tercatat sebesar 200 titik. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan catatan titik panas dalam tiga bulan terakhir.
Pada bulan Januari 2023, jumlah titik panas di Sumsel sebanyak 54 titik. Selanjutnya, pada Februari 2023, jumlah titik panas sebanyak 43 titik dan pada Maret 2023, titik panas terpantau sejumlah 91 titik. ”Kenaikan titik panas pada April ini cukup signifikan,” ujar Ansori.
Dalam delapan tahun terakhir, kenaikan titik panas memang selalu terjadi mulai April dan mencapai puncaknya pada Agustus dan September. Peningkatan ini dipengaruhi oleh kondisi cuaca yang lebih kering dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.
Apalagi, berdasarkan prediksi BMKG, pada Mei 2023, diprakirakan Sumsel sudah memasuki musim kemarau. ”Meski demikian, masih ada kelembaban di sejumlah daerah di Sumsel lantaran beberapa kali masih terjadi hujan,” ujar Ansori.
Ansori menyampaikan, kondisi ini menjadi peringatan bagi para semua pemangku kepentingan, baik masyarakat, pemerintah, perusahaan perkebunan, maupun pihak terkait lainnya untuk mewaspadai potensi kebakaran lahan. Sejumlah upaya mitigasi telah dilakukan, seperti memastikan semua pihak lebih waspada dengan mempersiapkan alat pemadam kebakaran dan mengeluarkan maklumat larangan bakar.
Ini menjadi peringatan bagi para semua pemangku kepentingan untuk mewaspadai potensi kebakaran lahan.
Selain itu, ujar Ansori, pihaknya sudah berkoordinasi dengan pihak terkait untuk melakukan pelatihan pada petugas/tim pemadam kebakaran, termasuk TNI/Polri, serta menetapkan status siaga darurat karhutla di sejumlah daerah rawan. ”Dengan langkah ini, diharapkan risiko kebakaran lahan bisa berkurang,” ujarnya.
Di Sumsel terdapat 10 daerah yang masuk sebagai daerah rawan karhutla. Namun, ada empat daerah yang perlu mendapat perhatian lebih karena memiliki lahan gambut yang cukup luas, yakni Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Musi Banyuasin, dan Muara Enim. ”Jika lahan gambut sudah terbakar, akan sulit untuk dipadamkan,” ucapnya.
Sebelumnya Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengatakan, pemicu terjadinya kebakaran lahan akibat cuaca dan aktivitas masyarakat. ”Biasanya kebakaran lahan terjadi di daerah yang lahannya tidak terkelola,” ujar Herman.
Karena itu, ia mengajak masyarakat untuk mengelola lahan dan mengubahnya menjadi lahan pertanian, terutama komoditas tanaman pangan. Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan meningkatkan pendapatan dari nilai ekonomi yang diperoleh, langkah ini juga akan mengurangi risiko kebakaran lahan.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Yuliusman mengatakan, kebakaran lahan tidak hanya terjadi akibat cuaca, tetapi juga merupakan akumulasi dari lalainya pemangku kepentingan dalam menjalankan regulasi. Banyak alih fungsi lahan, termasuk kawasan gambut dari tanaman heterogen menjadi homogen.
Kondisi ini membuat lahan gambut yang seharusnya menjadi tempat penyimpanan air akhirnya harus kering kerontang saat musim kemarau terjadi. Kondisi inilah yang menjadi penyebab karhutla hampir terjadi setiap tahun.
”Izin (konsesi) terus saja diberikan tanpa memperhatikan ekosistem lingkungan,” ujarnya. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya ketegasan pemerintah pada perusahaan yang lalai dalam menjaga kawasan konsesinya dari kebakaran lahan,” ucapnya.