Berbagi Ruang dengan Air hingga Adaptasi
Ke depan pembangunan perlu lebih bijak, antara lain berbagi ruang dengan air hingga adaptasi kearifan lokal dalam menghadapi bencana.
Usai Ibu Kota Negara ditetapkan di Pulau Kalimantan, cepat atau lambat kota-kota di pulau ini akan ikut berkembang. Pontianak salah satunya. Ibu kota Kalimantan ini diprediksi akan lebih berkembang. Namun, di sisi lain, ada hal yang perlu diwaspadai, yakni kesiapan tata kota, termasuk mitigasi bencana.
Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, salah satu wilayah di Kalbar yang rawan genangan. Jika hujan dalam beberapa jam dibarengi pasang air laut, wilayah itu lebih mudah tergenang. Dalam kondisi seperti itu, sejumlah wilayah di Kota Pontianak biasanya digenangi air berkisar 3-20 sentimeter, bahkan ada yang masuk ke rumah.
Apalagi, Kota Pontianak terletak di muara Sungai Kapuas. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar Nikodemus Ale, Selasa (9/5/2023), mengatakan, dampak eksploitasi hutan dan sungai di perhuluan Kalbar juga berimbas ke Kota Pontianak yang terletak di muara Sungai Kapuas.
”Kondisi seperti itu terjadi sejak sebelum IKN dinyatakan pindah ke Kalimantan. Ketika ke depan populasi tumbuh di suatu daerah, maka memerlukan ruang untuk segala aktivitas, apakah sudah diantisipasi pemerintah?” ujarnya.
Selain rawan genangan, Kota Pontianak juga termasuk yang rawan kabut asap karena kebakaran lahan gambut. Jika tidak hujan dalam seminggu, lahan gambut di beberapa wilayah kota rawan muncul titik api.
Baca juga: Kota Pontianak Antisipasi Potensi Kebakaran Lahan
Pengajar Hidrologi Lingkungan di Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kiki P Utomo, menuturkan, perpindahan penduduk dari desa ke kota sesuatu yang pasti terjadi dan trennya seperti itu. Apalagi ketika ada momentum pemindahan pusat ibu kota negara ke Kalimantan tidak menutup kemungkinan pertumbuhannya akan cepat.
Perkembangan kota terkadang bisa sejalan dengan yang dibayangkan, tetapi bisa juga tidak terduga. Misalnya, tiba-tiba ada entitas bisnis ingin berinvestasi di Pontianak karena dinilai cocok, maka ini akan memicu hal-hal lain yang tidak dibayangkan.
Kota-kota di Kalimantan hendaknya segera menyusun rencana penanganan lingkungan, termasuk rencana penataan kota dengan adanya IKN di Kalimantan. Frekuansi dan ukuran bencana tidak terlepas dari pertumbuhan suatu wilayah baik penduduk dan aktivitasnya.
Baca juga: Pembangunan IKN Tak akan Berhenti
Genangan yang kerap terjadi di Pontianak di satu sisi bagian alamiah dari kotanya karena posisi geografis Pontianak di muara Sungai Kapuas. Airnya akan meluap. Kota tumbuh di sepanjang Sungai Kapuas masih berbagi ruang dengan air.
Namun, dengan masuknya penduduk dan pertumbuhan di dalam kota semakin padat, akhirnya keseimbangan berubah. Ruang untuk air menjadi berkurang. Ini menyebabkan perubahan keseimbangan. Maka, perlu pembangunan lebih bijak. Atur bangunan dan infrastruktur agar air tetap memiliki ruang.
”Dari sekarang harus sudah dipikirkan bagaimana ke depan supaya bisa berbagi ruang dengan air. Jadi, adaptasi dan memikirkan ruang untuk air hendaknya sudah dilakukan dari perencanaan kebijakan, misalnya dengan menyediakan ruang terbuka hijau,” tuturnya.
Selain itu, kalau parit lebar akan lebih baik. Namun, tidak bisa dikembalikan lagi seperti dulu. Yang realistis pertahankan parit yang sudah ada, jangan sampai berkurang lagi lebarnya serta jangan terisi dengan sampah.
Baca juga: Genangan Rob di Pontianak Perlu Diwaspadai
Pengajar di Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura dan pengamat tata kota, Mira Lubis, menuturkan, dari cerita orang-orang dulu parit di Kota Pontianak besar, lebar, dan semua saling terkoneksi bisa menjalankan fungsi drainase dengan baik. Ada fungsi transportasi air juga dulunya.
”Sekarang banyak parit yang ditutup atau ditimbun sehingga tidak terkoneksi dengan baik,” ujarnya.
Terkait gambut, gambut banyak tersebar di pinggiran Kota Pontianak, khususnya di Pontianak Utara. Kemudian makin banyak perumahan yang dibangun di kawasan pinggiran Kota Pontianak. Bahkan, ada yang sudah lintas administrasi di wilayah Kabupaten Kubu Raya.
Otomatis terjadi konversi dari lahan pertanian, perkebunan, dan lahan hutan menjadi kawasan perumahan. Dengan demikian, kondisi kelestarian lahan gambut cukup terancam konversi lahan.
Bagaimana kesiapan masyarakat menghadapi bencana juga penting. Para ahli iklim telah memperingatkan dengan adanya perubahan iklim global, pemanasan global, kenaikan muka air laut, bencana alam akan semakin sering terjadi dan sifatnya global. Dengan demikian, fenomena ini harus dihadapi ke depan. Bencana bukan hanya banjir, bisa kebakaran hutan dan lahan.
Adaptasi kearifan lokal
Bencana harus dihadapi dengan membangun ketahanan. Menurut Mira, kearifan lokal bisa jadi pelajaran. Selama ini masyarakat Kota Pontianak sudah biasa hidup di tepi sungai dan ada banjir musiman. Mira menganjurkan agar mengadopsi arsitektur rumah panggung ke bentuk arsitektur yang modern, tetapi tetap bisa berfungsi sebagai antisipasi terhadap banjir genangan.
”Jadi bagaimana kita perlu menggali kearifan yang sudah ada, sejarah-sejarah yang terlupakan di kota kita. Kemudian, baru mencari praktik terbaik di tempat lain. Jadi jangan hanya copy paste dari tempat lain,” tuturnya.
Ketika terjadi bencana hendaknya dijadikan momentum menjadi lebih baik dari sebelumnya dengan cara menjadikan pembelajaran agar lebih baik.
Konsep kota yang ekologis juga perlu diterapkan dengan membangun tanpa merusak alam. Kemudian yang perlu ditata adalah transportasi berkelanjutan. Upaya-upaya seperti itu bisa dibangun gerakan dari rumah bahkan dari individu kesadaran membangun ketahanan individu secara kolektif hingga akhirnya bisa membangun ketahanan kota.
Mira menambahkan, perlu pula apresiasi terhadap inisiatif dari warga. Jika diakumulasi bisa menjadi langkah nyata dalam upaya menciptakan kota lebih berkelanjutan dan responsif terhadap kemungkinan bencana yang akan terjadi.
Ahmad Sofian, pegiat literasi dan penulis buku Pontianak Heritage, menuturkan, posisi Kota Pontianak di muara Sungai Kapuas yang rawan tergenang sudah disadari setidaknya pada masa kolonial Belanda. Oleh sebab itu, pada masa itu dibangun parit-parit sebagai sirkulasi air.
Salah satu peta penting melihat Kota Pontianak ada di peta 1830-an. Kota Pontianak pada masa kolonial terbagi dua. Pertama kota kolonial yang menjadi pusat pemerintahan dan pusat aktivitas dari pemerintah kolonial. Kemudain kota tradisional di Pontianak Timur dan Pontianak Utara, tepian Sungai Kapuas.
Sekarang ada luapan di mana-mana ketika hujan lebat karena tidak memberikan ruang pada air sebagaimana mestinya.
Di kota kolonial, mereka mengolah yang disebut tanah 1.000 yang menjadi pusat kantor, pemerintahan, dan pertahanan Hindia-Belanda. Yang masuk tanah 1.000 kala itu, kini sebagian Pontianak Tenggara, sebagian besar Pontianak Barat, dan sebagian Pontianak Kota. Di sekelilingnya dibangun parit sebagai lalu lintas air.
”Selain itu, untuk fungsi transportasi dan keamanan juga mempertimbangkan pasang-surut. Pada saat itu sudah disadari bahwa Pontianak rawan tergenang. Ketika katup air dibuka dapat membersihkan kotoran. Bibit penyakit hilang dengan sirkulasi pasang-surut,” tuturnya.
Dalam perkembangannya, orientasi pembangunan berubah dari sungai ke darat tahun 1970-an atau 1980-an. Perubahan orientasi itu berdampak pada wajah kota. Wajah paritnya juga demikian. Parit lebih mengecil.
Baca juga: Seribu Parit Pontianak
Dari sisi adaptasi kearifan lokal mengantisipasi luapan air, bangunan-bangunan lama berbentuk rumah-rumah panggung. Perkembangan zaman di beberapa tempat ketinggian bangunan justru berkurang, bahkan menjadi pondasi yang sama rata dengan tanah maka kini rumah rawan terkena genangan.
Baca juga: Lanting, Panggung Kehidupan di Kapuas
Ke depan, Pontianak perlu cetak biru yang jelas dan ditaati bersama. Hendaknya kembali lagi bagaimana kearifan lokal yang menghormati alam, misalnya keberadaan parit. Bagaimana memperluas parit dan sistem drainase agar terkoneksi dengan baik.
”Memberi ruang sebagaimana mestinya kepada air untuk bergerak. Sekarang ada luapan di mana-mana ketika hujan lebat karena tidak memberikan ruang pada air sebagaimana mestinya. Bagaimana kebijakan ke depan melihat kodrat Pontianak yang berada di rawa. Jalan darat perlu, tetapi parit juga diperlukan secara lingkungan,” tuturnya lagi.
Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono menuturkan, yang paling berdampak secara signifikan dengan pemindahan IKN yaitu kota-kota yang bersebelahan dengan IKN, misalnya Penajam, Balikpapan, dan Samarinda. Hal itu sudah terlihat dari penerbangan sangat banyak, belum lagi pegawai-pegawai pindah.
”Tapi kalau Pontianak, jauh. Namun, secara auranya kita dapatkan sehingga tetap gembira di Kalimantan ada IKN,” ujar Edi.
Edi menuturkan, pihaknya selalu memperhitungkan perluasan pengembangan wilayah kota terutama terhadap bencana banjir dan degradasi lingkungan, misalnya limbah dan sebagainya. Setiap pembangunan, ada analisis dampak lingkungan.
Pontianak didesain idealnya untuk jumlah penduduk di bawah 1 juta orang. Sekarang sudah hampir 700.000 orang dengan aktivitas dari daerah lain setiap harinya sudah 800.000-900.000 orang yang beraktivitas di Pontianak.
Edi menuturkan, parit primer juga tetap dipertahankan. Panjang saluran primer di Pontianak hampir 200 kilometer, jumlahnya ada sekitar 36 parit primer. Saluran sekunder panjangnya hampir 100 km. Saluran-saluran tersebut dipelihara dan dikoneksikan. Sungai Kapuas juga tetap harus dipertahankan kedalamannya dan itu tanggung jawab pusat. Penanganannya juga perlu lintas wilayah.
Potret perhuluan
Potret bencana alam sejatinya tergambar di perhuluan Kalbar. Daerah perhuluan Kalbar rawan bencana kebakaran lahan dan banjir. Banjir terutama beberapa tahun terakhir semakin sering terjadi di kabupaten-kabupaten perhuluan. Potret keparahan bencana alam salah satunya tergambar pada Oktober tahun lalu. Delapan kabupaten di Kalbar dilanda banjir. Ribuan warga mengungsi. Sebagian warga merasakan dampak banjir kian tahun kian parah.
Banjir pernah memutus transportasi jalur Trans-Kalimantan di Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang menuju Kalimantan Tengah. Jalur tersebut terendam banjir sekitar 1 meter pada Oktober lalu. Puluhan truk angkutan dan kendaraan umum tertahan beberapa hari karena tidak bisa melintas sehingga menimbulkan tambahan biaya perjalanan.
Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Kalbar, secara umum, di Kalbar selama Januari-Desember 2022 terjadi 55 bencana yang terdiri dari banjir, puting beliung, dan tanah longsor. Kejadian terbanyak adalah banjir, yakni 39 kejadian. Setelah itu, buting beliung 10 kejadian, dan tanah longsor 6 kejadian. Kejadian banjir mendominasi di kabupaten-kabupaten di kalbar.
Baca juga: 52.337 Warga Terdampak Banjir di Kalbar
Dalam data BPBD Provinsi Kalbar tersebut juga dikemukakan, dampak bencana selama tahun 2022 adalah 5 orang meninggal serta ratusan ribu orang mengungsi dan menderita. Kerusakan fisik akibat bencana meliputi rumah rusak ,rumah terendam banjir, bangunan fasilitas umum rusak, fasilitas pendidikan, fasilitas peribadatan, dan fasilitas kesehatan yang banyak terendam banjir. Di antara korban jiwa tersebut, yang paling banyak disebabkan bencana banjir.
Melihat kejadian bencana tersebut, maka perlu upaya konkret. Salah satunya adalah dengan melakukan upaya penataan ruang yang memperhatikan risiko dan kerawanan bencana. Dalam pelaksanaannya, penataan ruang harus benar-benar ditegakkan agar daerah-daerah rawan bencana tidak berkembang menjadi permukiman warga.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar dalam beberapa kesempatan menyatakan, banjir yang terjadi tidak semata karena cuaca, tetapi juga karena adanya degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan terjadi karena alih fungsi lahan untuk usaha berbasis ekstraktif.
Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Nikodemus Ale mengatakan, degradasi lingkungan terjadi sejak lama. Hal itu bisa dilihat dari kondisi tata ruang Kalbar. Jika dilihat di atas kertas dari luas administratif sekitar 14 juta hektar, sekitar 8 juta ha di antaranya diperuntukan sebagai kawasan nonproduksi, dan sekitar 6 juta ha diperuntukan sebagai kawasan produksi, yakni konsesi perkebunan, pertambangan, hutan tanaman industri, dan lain sebagainya.
Kenyataannya, setidaknya tahun 2018-2019, area yang diperuntukkan sebagai perkebunan sudah 5 juta ha, hutan tanaman industri sudah 2 juta ha lebih, pertambangan sekitar 3 juta ha. Artinya, ada lahan nonproduksi yang digunakan untuk produksi.
Belum lagi kondisi sungai di Kalbar yang kritis. Daerah aliran sungai banyak yang dibebani oleh aktivitas investasi berbasis ekstraktif. Pertambangan emas tanpa izin juga mengakibatkan pendangkalan sungai.
”Program pembangunan ke depan jangan mengabaikan isu lingkungan agar kondisi tidak bertambah parah,” ungkapnya.
Ketua Satgas Informasi BPBD Provinsi Kalimantan Barat Daniel menuturkan, ada beberapa rencana program dan penanggulangan bencana ke depan, yaitu pelayanan informasi rawan bencana provinsi. Kemudian, pelayanan pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap bencana. Selain itu, pelayanan penyelamatan dan evakuasi korban bencana. Yang terakhir, pelayanan pemulihan korban bencana.