Langkah Mitigasi Kota Batu Antisipasi Bencana di Hulu Sungai Brantas
Kota Batu, Jawa Timur, yang berada di hulu Sungai Brantas, mempunyai beragam potensi bencana. Sejumlah langkah mitigasi bencana pun disiapkan untuk mengurangi risiko bencana.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
Berada di wilayah hulu Sungai Brantas, Kota Batu di Jawa Timur memiliki beragam poteni bencana, mulai dari tanah longsor, banjir, hingga angin kencang. Sejumlah langkah mitigasi bencana pun disiapkan Pemerintah Kota Batu untuk mengurangi bencana.
Sepanjang tahun 2022, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu mencatat adanya 203 kejadian bencana. Dari jumlah tersebut, sebanyak 111 kejadian di antaranya merupakan tanah longsor, 23 kejadian angin kencang, 27 kali banjir, 16 peristiwa pohon tumbang, 11 kebakaran, 2 pergerakan tanah, 1 puting beliung, 3 jalan ambles, dan 3 dinding roboh.
Jumlah bencana di Kota Batu itu cenderung meningkat dalam empat tahun terakhir. Sebelumnya, pada tahun 2019 terdapat 98 kejadian bencana di Kota Batu, tahun 2020 ada 114 kejadian, dan tahun 2021 ada 154 kejadian.
Kepala BPBD Kota Batu Agung Sedayu, Senin (8/5/2023), memaparkan, penanganan bencana dilakukan dalam tiga fase, yakni prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana. Dalam tiga fase itu, semua elemen masyarakat diharapkan bisa berperan aktif mengurangi risiko bencana.
”Jadi, selama ini masih ada anggapan kalau tidak ada bencana itu kami nganggur. Sebenarnya tidak seperti itu. Sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sekarang kami fokus pada kesiapsiagaan berupa pengurangan risiko berbasis masyarakat,” ujarnya.
Menurut Agung, BPBD Kota Batu sudah melakukan pemetaan guna memahami potensi bencana yang ada di wilayah hulu Sungai Brantas. Lembaga itu juga sudah melakukan kajian indeks risiko bencana dan menyusun rencana penanggulangan bencana selama lima tahun ke depan.
Berdasarkan hasil pemetaan itu, ada beberapa jenis bencana yang berpotensi terjadi di Kota Batu, yakni longsor, banjir, gempa bumi, serta erupsi Gunung Arjuno-Welirang.
Agung menyebut, kontur tanah yang bergunung-gunung membuat Batu rentan terhadap bencana hidrometeorologi. Posisi Batu juga vital karena di sinilah titik nol Sungai Brantas yang melewati belasan kabupaten/kota di Jawa Timur berada, tepatnya di Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji.
Data BPBD Kota Batu menyatakan, wilayah yang memiliki kerawanan ancaman longsor tinggi ada 4.719,6 hektar, meliputi Desa Oro-oro Ombo, Songgokerto, Sumberejo, dan Temas (Kecamatan Batu), serta Giripurno, Gunungsari, Punten, Sumberbrantas, Sumbergondo, dan Tulungrejo (Kecamatan Bumiaji). Sedangkan kerawanan sedang 7.492,06 hektar dan kerawanan rendah 7.705 hektar.
Adapun kerawanan banjir ada 474,2 hektar, meliputi rawan tinggi 294,4 hektar, rawan sedang 170,8 hektar, dan rawan rendah 9,01 hektar. Untuk daerah rawan angin ada 19.916,6 hektar, terdiri dari 3.405,5 hektar rawan tinggi, 16.436,2 hektar rawan sedang, dan 74,8 hektar rawan sedang.
”Kerentanan sudah kita ukur, kapasitas juga sudah kita ukur. Kota Batu masuk kategori tingkat bencana sedang. Yang lebih tinggi malah Kabupaten Malang karena ada pengaruh tsunami. Batu tidak ada tsunami. Dari 514 kota/kabupaten, kami masuk urutan ke 360,” kata Agung.
Ada beberapa jenis bencana yang berpotensi terjadi di Kota Baru, yakni longsor, banjir, gempa bumi, serta erupsi Gunung Arjuno-Welirang.
Banjir bandang
Agung mengakui, salah satu bencana yang menonjol di Kota Batu dalam beberapa tahun belakangan adalah banjir bandang yang terjadi pada 4 November 2021. Tujuh orang tewas dalam peristiwa itu serta puluhan rumah rusak dan terendam lumpur.
Daerah terdampak banjir bandang itu meliputi Desa Sumberbrantas, Bulukerto, Tulungrejo, Sumbergondo, Giripurno, dan Punten. Desa Bulukerto menjadi daerah paling terdampak sehingga beberapa rumah warga harus direlokasi ke tempat yang lebih aman. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga merevitalisasi Kali Sambong yang menjadi tempat terjadinya banjir bandang.
Menurut Agung, banjir bandang tersebut luput dari perkiraan. Bencana itu melalui alur Kali Sambong yang hanya berair di musim hujan. Debit air sungai itu biasanya juga tidak besar. Berdasarkan kesaksian warga, selama 50 tahun terakhir tak pernah terjadi bencana di alur sungai itu. Banjir bandang yang merusak justru pernah tercatat terjadi di alur Sungai Brantas.
”Makanya, saat itu, kami antisipasi. Rencana kontijensi sudah kami buat juga di alur Sungai Brantas. Apel lapangan sampai reboisasi dilakukan. Namun, sepekan kemudian terjadi banjir bandang di alur sungai yang lain,” katanya.
Hujan deras dan munculnya bendungan alami di alur sungai di bagian hulu menjadi pemicu banjir bandang di Kali Sambong. Apalagi, pada tahun 2019 terjadi kebakaran lahan di lereng Gunung Arjuno yang membuat vegetasi di kawasan Perhutani itu mati.
Vegetasi mati di tanah dengan kemiringan terjal itu kemudian gampang longsor dan menjadi bendung alam saat hujan deras tiba. Padahal, lokasinya sulit diakses sehingga apa yang terjadi di bagian hulu sulit dimonitor dengan jalur darat.
”Itu yang luput dari pemantauan kami. Sekarang kami ambil pelajaran, kalau ada kebakaran hutan, akan kami antisipasi di musim hujan berikutnya,” ungkap Agung. Kayu-kayu di alur yang berpotensi membendung aliran itu sudah dibersihkan pascabencana.
Alih fungsi
Agung menambahkan, masalah lain yang perlu perhatian adalah alih fungsi lahan. Proses alih fungsi itu menyebabkan kawasan yang dulunya banyak memiliki tegakan pohon berubah menjadi lahan-lahan pertanian semusim dan minim tegakan.
Dampaknya, muncul bentuk bencana yang tidak terjadi sebelumnya, seperti badai pasir di Desa Sumberbrantas pada 2019 dan 2020 serta banjir lumpur yang menutup jalur utama Batu-Mojokerto pada 2021.
Alih fungsi lahan dan minimnya tutupan di hulu daerah aliran sungai (DAS) Brantas pernah diakui Perum Jasa Tirta 1. Menurut Jasa Tirta luas tutupan lahan di kawasan itu tersisa 20 persen dari luas hulu yang mencapai 2.050 kilometer persegi. Kondisi ini dinilai akan berpengaruh terhadap tangkapan air dan erosi (Kompas, 25 Mei 2021).
Sebagai gambaran, erosi mengakibatkan 90 persen tampungan di Bendungan Sengguruh di Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, terisi sedimen. Sementara Bendungan Sutami di Kecamatan Sumberpucung terisi 40 persen.
Kepala Pusat Studi Kebumian dan Kebencanaan Universitas Brawijaya Adi Susilo mengatakan, masalah alih fungsi lahan itu tidak bisa ditangani sendiri oleh Pemerintah Kota Batu. Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan pemerintah pusat juga harus terlibat.
Adi menyebut, alih fungsi lahan bisa memicu terjadinya banjir bandang. Sebab, lahan pertanian terbuka tidak bisa menyerap air hujan sehingga air mengalir menjadi limpasan permukaan.
”Hal itu mesti diwaspadai dan penanganannya jangan dibebankan ke Pemerintah Kota Batu sendiri, tapi juga provinsi dan pusat. Berilah insentif untuk warga di hulu agar tidak bergantung sepenuhnya kepada pertanian yang merusak hutan. Sebab, rentetan dampaknya itu bisa banjir, longsor, dan mengganggu mata air,” ucapnya.