Kawasan hulu dan hilir Sungai Brantas sama-sama memerlukan perhatian semua pihak.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI / DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
Kiprah Bengawan Brantas yang jelas-jelas menghidupi jutaan orang selama berabad-abad tak lantas membebaskan sungai ini dari ancaman kerusakan lingkungan, terutama yang disebabkan pencemaran sampah dan limbah. Gerakan penyelamatan digaungkan berbagai kalangan di sepanjang daerah aliran dari hulu hingga hilir.
Rumini (58), warga Dusun Manisrenggo, Desa Godangmanis, Jombang, Februari lalu, terpaksa mengungsi ke balai desa karena kebanjiran. Air sudah setinggi 1 meter di rumahnya. Dengan membawa baju ganti seadanya, ia bergabung dengan tetangganya yang lebih dulu mengungsi. ”Tadi malam masih selutut, tapi tadi pagi naik lagi. Semua (barang) saya tinggal, hanya bawa seadanya,” kata Rumini seperti dikutip Kompas.com.
Banjir Jombang pada Februari lalu tergolong besar. Banjir dipicu jebolnya tanggul Sungai Afvour Besuk dan Sungai Afvour Brawijaya yang menjadi bagian aliran sungai Brantas. Lebih kurang 1.200 warga terpaksa mengungsi. Lima desa dan jalan raya nasional di Jombang terendam banjir berhari-hari.
Tercatat sudah sembilan kali banjir, banjir bandang, dan sekali tanah longsor di Jombang sejak 2021. Bencana ini terkait erat dengan daya tampung sungai, sampah, tanggul jebol, dan lahan kritis.
Persoalan lahan kritis, sampah, dan sebagainya memang sudah terjadi sejak di hulu. Perusahaan Umum Jasa Tirta I mendata tutupan lahan di hulu Daerah Aliran Sungai Brantas di Jawa Timur tersisa 20 persen dari luas wilayah hulu yang mencapai 2.050 kilometer persegi. ”Dari data 2008-2010 yang dipantau sampai dua tahun terakhir, saat kemarau tutupan lahan hanya sekitar seperlima,” kata Direktur Umum Perum Jasa Tirta Raymond Valiant Ruritan, Jumat (22/5/2021).
Sisanya, menurut Raymond, terbagi-bagi. Ada yang berupa permukiman, lahan terbuka, dan lainnya. Kondisi ini tentu berpengaruh terhadap daerah tangkapan air. Air hujan yang turun langsung memicu terjadinya erosi. Erosi membawa tanah dan lumpur ke aliran sungai yang akhirnya mengendap di bendungan.
”Di Bendungan Sengguruh, 90 persen tampungannya sudah terisi sedimen. Sedangkan di Bendungan Sutami (Karangkates), Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, yang ada di hilir, sekitar 40 persen tampungannya juga sudah terisi sedimen,” ucapnya.
Beberapa tahun terakhir, di Desa Sumberbantas acap terjadi luberan lumpur ke badan jalan saat hujan deras tiba. Angin kencang yang membawa debu dari lahan pertanian juga terjadi dua kali pada tahun 2019 lalu.
Di bagian hilir, persoalan tak kalah besar. Timbunan sampah liar masih jamak ditemukan di berbagai titik sepanjang daerah aliran Brantas beserta puluhan anak sungainya. Berulang kali dibersihkan, timbunan itu datang lagi dan lagi. Terbanyak, sampah produk sekali pakai, seperti plastik kresek, plastik kemasan makanan minuman, dan popok bayi.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) Prigi Arisandi memprediksi 1,2 juta popok di buang ke sungai setiap hari. Perhitungan itu didasarkan pada data BPS Jatim 2013 yang menyatakan terdapat 750.000 anak batita di daerah aliran Sungai Brantas.
Popok sekali pakai ini butuh waktu 400 tahun terurai dan mengandung bahan kimia beracun, seperti klorin, dioksin, dan tributyltin yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Selain popok, sampah rumah tangga, terutama plastik sekali pakai serta kemasan makanan dan minuman, juga banyak ditemukan di sungai. Volumenya diprediksi mencapai puluhan ton per hari.
Perbaikan
Upaya pemulihan kondisi sungai sejauh ini telah dilakukan. Namun, masih berskala kecil dan belum menyeluruh. Di Desa Selorejo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, misalnya, warga menanam kayu produktif di lahan kas desa. Begitu pula di daerah Tumpang, di anak Sungai Bango yang masuk ke Sungai Brantas, masyarakat berupaya mengonservasi dengan melakukan penghijauan.
Langkah serupa ada di kawasan Bumiaji. Di tempat ini penanaman hingga pembersihan sungai dilakukan berkala. Perum Jasa Tirta juga melakukan konservasi di hulu Brantas bersama komunitas masyarakat. Upaya ini dilakukan dari bawah ke atas (bottom up), baik di Kabupaten Malang maupun Batu.
Di hilir, upaya membebaskan Brantas dari popok bayi sekali pakai sudah rutin digelar di sekitar bantaran sungai. Brigade Evakuasi Popok (BEP) bentukan Ecoton juga rutin menyusuri aliran sungai dan membersihkan popok.
Upaya penyelamatan lingkungan Brantas juga dilakukan kalangan akademisi dan mahasiswa dari 16 perguruan tinggi negeri se-Jatim dengan menggelar kuliah krja nyata (KKN). Program KKN Brantas Tuntas itu berlangsung selama 2019-2020 melibatkan 5.000 mahasiswa membersihkan dan mengedukasi masyarakat sepanjang daerah aliran sungai agar menjaga Brantas. Namun sejak pandemi, program ini berhenti.
Ketua Yayasan Pengembangan Usaha Strategis dan Advokasi Pelestarian Alam (Pusaka)—lembaga pemerhati lingkungan—Bambang Parianom, menilai, meski sudah ada upaya perbaikan, belum ada langkah konservasi yang strategis di hulu DAS Brantas. Masyarakat masih tergoda kepentingan ekonomi. Di sisi lain, kesadaran di wilayah hilir untuk menjaga sungai juga belum sepenuhnya timbul.
Koordinator Telisik Komunitas Mikroplastik Mahasiswa Biologi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Ulfi Hidayatul Husna meminta Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menyusun peraturan daerah tentang larangan penggunaan sampah plastik sekali pakai. Kondisi sampah plastik yang mencemari sungai sudah mengkhawatirkan karena mengontaminasi air dan biota di dalamnya.
Upaya kerja sama dari hulu hingga hilir mutlak diperlukan untuk melindungi Brantas dari ancaman yang kita timbulkan sendiri. Brantas telah memberi kehidupan dan sepatutnya memelihara keberlanjutannya.