Sudah tiga hari terakhir, lima desa dan jalan raya nasional di Jombang, Jawa Timur, terendam banjir terkait tanggul jebol di Sungai Afvour Besuk dan Sungai Afvour Brawijaya.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS – Sebanyak lima desa dan jalan raya nasional di Jombang, Jawa Timur, masih direndam banjir sejak tiga hari terakhir. Dipicu jebolnya tanggul Sungai Afvour Besuk dan Sungai Afvour Brawijaya, lebih kurang 1.200 warga kini terpaksa mengungsi.
Lima desa yang terendam banjir itu adalah Brangkal, Gondang Manis, Banjarsari, Pucangsimo, dan Bandar Kedungmulyo. Semuanya di Kecamatan Bandar Kedungmulyo. Ketinggian air di daerah itu bervariasi, antara 20-300 sentimeter. Sedikitnya 5.500 orang terdampak banjir kali ini.
Banjir juga meredam jalan raya nasional dengan ketinggian air hingga sekitar 70 cm. Karena sulit dilintasi kendaraan, mobil, bus, dan truk dari dan ke Mojokerto disarankan melewati Tol Trans-Jawa.
Akibat kejadian ini, lebih kurang 1.200 orang mengungsi. Mereka tinggal di lokasi pengungsian di Brangkal dan Gondang Manis. Kebutuhan makanan pengungsi dipusatkan di dapur umum Kantor Kecamatan Bandar Kedungmulyo.
“Kami telah berkoordinasi dengan Balai Besar Wilayah Sungai Brantas untuk mempercepat penanganan tanggul jebol sehingga banjir bisa segera diatasi,” kata Wakil Bupati Jombang Sumrambah, Sabtu (6/2/2021).
Mengutip data SmartPB pada laman resmi https://web.bpbd.jatimprov.go.id/, sejak awal tahun, Jombang dilanda sembilan kali banjir serta banjir bandang dan sekali tanah longsor. Bencana di Jombang terkait erat dengan daya tampung sungai, sampah, tanggul jebol, hingga lahan kritis.
Selain Jombang, 15 daerah lain di Jatim juga tercatat terendam banjir di awal tahun ini. Beberapa diantaranya adalah Kota dan Kabupaten Pasuruan, Situbondo, Banyuwangi, Jember, Lumajang, serta Kota dan Kabupaten Blitar. Sedangkan empat daerah lainnya diterjang longsor yaitu Batu, Kota dan Kabupaten Malang, dan Bondowoso.
Dari SmartPB juga diketahui 97 kejadian bencana hidrometeorologi. Sebanyak 32 kejadian diantaranya adalah banjir, tanah longsor (30), angin kencang dan puting beliung (28), serta pohon tumbang (7). “Di musim hujan, bencana yang mendominasi ialah hidrometeorologi,” kata Pelaksana Tugas Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim Yanuar Rachmadi.
Akan tetapi, bencana di Jatim tidak semata-mata dipicu musim hujan. Keberadaan 1,5 juta hektar lahan kritis akibat alih fungsi, aktivitas pertambangan tanpa rehabilitasi, dan penebangan ilegal, harus segera diperbaki. Saat kemarau, bencana kekeringan dan kebakaran juga kerap terjadi.
“Manusia harus bertanggungjawab membantu pemulihan atau keseimbangan alam,” kata pakar kebencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Amien Widodo.
Akan tetapi, Amien mengatakan, rehabilitasi lahan kritis mustahil terwujud dalam waktu singkat. Setelah ditanam, pohon harus dirawat hingga setidaknya tiga hingga empat tahun.
Pemulihan lingkungan yang baik, kata Amien, bakal mendukung tanah memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan air ideal. Tanah ibarat busa yang menyerap air selama musim hujan. Saat jenuh, secara alami, tanah akan memunculkan mata air.
Kemunculan air tidak berhenti sampai tanah menemukan keseimbangan dengan tingkat kejenuhannya. Oleh karena itu, saat kemarau, tanah jenuh selama musim hujan bisa jadi terus mengeluarkan air.
Seharusnya, menurut Amien, pandangan seperti itu dipahami masyarakat dan aparatur negara dalam menyikapi bencana alam. Saat ini, musim hujan sudah berlangsung sehingga nyaris tiada waktu lagi untuk mewujudkan program antisipasi terhadap ancaman longsor dan banjir.
"Yang bisa ditempuh kini ialah meningkatkan kewaspadaan dan kesigapan. Namun, program rehabilitasi lahan kritis harus segera dijalankan meski amat sibuk menghadapi bencana,” katanya.