Setahun Pascabanjir Bandang, Kota Batu Bersiap Hadapi Potensi Bencana
Setelah banjir bandang menelan tujuh korban jiwa pada 4 November 2021, Kota Batu kini bersiap menghadapi bencana di musim hujan kali ini.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
BATU, KOMPAS — Setahun pascabanjir bandang yang menerjang beberapa desa di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, pembangunan kembali rumah warga terdampak bencana sudah selesai. Begitu pula revitalisasi alur sungai di titik yang tahun lalu menjadi daerah terdampak bencana sudah diperlebar.
Kini, memasuki musim hujan, Pemerintah Kota Batu kembali bersiap menghadapi potensi bencana hidrometeorologi. Kesiapan itu, antara lain, dilakukan melalui pemetaan potensi bencana, penyusuran alur sungai, dan penyiapan delapan kluster penanganan bencana.
Banjir bandang menerjang Batu pada 4 November 2021, mengakibatkan 7 orang meninggal, 36 rumah terdampak (9 di antaranya hanyut), serta sejumlah kebun, kendaraan, dan ternak ikut terdampak. Banjir menerjang Desa Bulukerto, Sidomulyo, Sumberbrantas, Bumiaji, Tulungrejo, dan Punten.
Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko, Kamis (3/11/2022), mengatakan, banjir bandang setahun lalu menjadi pembelajaran berharga. Pihaknya berharap ke depan tidak ada lagi hal serupa. Oleh karena itu, pemerintah daerah melakukan evaluasi dan berupaya mengantisipasi guna mengurangi potensi bencana.
”Jelang musim hujan kali ini, pemkot sudah siapkan mulai dari menyusuri sungai. Memang masih ada kayu yang jatuh ke sungai. Kami kemarin berkoordinasi dengan institusi lain agar kayu-kayu itu ditangani biar tidak menghambat aliran air,” ujarnya seusai apel siaga bencana Refleksi Satu Tahun Banjir Bandang di Balai Kota Among Tani.
Usai apel dilanjutkan dengan diskusi kelompok terfokus (FGD) dan sosialisasi penanggulangan bencana dengan menghadirkan narasumber, antara lain, Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan, Ketua Dewan Penasihat Ikatan Ahli Bencana Indonesia (IABI) Syamsul Maarif, dan Ketua IABI Harkunti P Rahayu.
Selain itu, ada Subkoordinator Pemetaan dan Pemodelan Gerakan Tanah, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Yohandi Kristiawan; akademisi Teknik Sipil Politeknik Negeri Jakarta, Putera Agung M Agung; serta aktivis Saber Pungli, Doddy EW.
Revitalisasi alur sungai
Menurut Dewanti, penanganan bencana di Kota Batu dilakukan lintas sektor. Revitalisasi alur sungai, misalnya, dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bersama Balai Besar Wilayah Sungai. Sementara terkait dengan batang kayu dan lingkungan di hulu menjadi kewenangan Perhutani.
”Tugas pemkot merelokasi dan membangun rumah yang rusak dan itu sudah selesai. Semua anggaran bukan dari APBD, melainkan bantuan masyarakat murni, aparatur sipil negara, dan pengusaha. Kita belikan dua bidang tanah (untuk relokasi). Yang lain membangun di lahan sendiri yang tidak berisiko,” ucapnya tanpa menyebut total nilai dana yang dipakai untuk membangun kembali rumah korban terdampak.
Syamsul Maarif mengatakan, tahapan penanganan bencana meliputi siaga darurat, tanggap darurat, dan transisi ke pemulihan. Berdasarkan pengalaman sebelumnya serta informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kemungkinan bencana yang akan terjadi bisa diketahui. Dari situ, Pemkot Batu bisa membuat rencana kontingensi lalu dilakukan latihan penanganan.
”Sekarang bulan November. Kepala BMKG sudah menyampaikan (soal potensi hujan), tergantung penilaian wali kota apakah sekarang sudah waktunya siaga darurat atau belum. Sebab, dengan mengatakan itu, anggaran dan lainnya segera dipersiapkan,” katanya.
Menjelang musim hujan, ajak kawan-kawan pencinta alam (misalnya) cek kondisi hulu supaya tidak ada yang membendung aliran air. Kalau masih ada, bongkar. (Lilik Kurniawan)
Sementara itu, dalam FGD, Lilik Kurniawan menyampaikan agar pihak terkait bisa mengenali dan melihat apa yang menjadi penyebab utama bencana di Batu. Pemkot dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu juga mesti luwes merangkul perguruan tinggi, pakar, lembaga nonpemerintah, hingga perusahaan swasta untuk bersama-sama terlibat menangani bencana.
”Banjir bandang tahun lalu dipicu oleh energi besar di hulu. Mungkin ada bendungan alam atau yang dibuat masyarakat yang menahan aliran air (sehingga timbul air bah). Kalau menjelang musim hujan, ajak kawan-kawan pencinta alam (misalnya) cek kondisi hulu supaya tidak ada yang membendung aliran air. Kalau masih ada, bongkar,” ujarnya.
Menurut dia, 95 persen bencana hidrometeorologi di Indonesia terjadi akibat campur tangan manusia. Salah satunya kawasan hulu yang mestinya menjadi hutan lindung dibabat, diubah menjadi kawasan pertanian semusim yang penanamannya tidak memenuhi kaidah.