”Sihir” Ibu Kota bagi Pendatang Muda
Mereka seolah tersihir dengan pendapatan di kota yang lebih tinggi dibandingkan di desa. Padahal, tinggal di kota tidak seindah yang dibayangkan para kaum urban.
Ibu kota Jakarta masih menjadi magnet bagi pencari kerja dari sejumlah daerah, terutama mereka yang berusia muda. Para pendatang muda seolah tersihir dengan kemungkinan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan ketika harus bekerja di desa. Padahal, kehidupan di Ibu Kota tak selalu seindah yang dibayangkan. Selain itu, sudah saatnya ada perhatian untuk desa dengan memunculkan pertumbuhan ekonomi baru dan berkelanjutan.
Kamis (27/4/2023) sore, bus antarkota antarprovinsi hilir mudik di Terminal Kalideres, Jakarta Barat. Sambil menenteng kardus di tangan kanannya, sementara tangan kiri memegang gawai, Irwan Hidayat (25) memesan ojek daring yang akan mengantarkannya ke Cengkareng, Jakarta Barat.
Menurut rencana, pemuda asal Pangandaran, Jawa Barat, ini akan bekerja sebagai pelayan di rumah makan Sunda di Cengkareng dengan upah Rp 2 juta per bulan. ”Diajak teman kerja di rumah makan di Jakarta. Daripada di kampung susah cari kerja, kebanyakan kerjaannya berat,” ujar laki-laki lulusan SMP itu.
Sebelum ke Jakarta, dia sempat bekerja sebagai pembuat tahu di Cirebon, Jawa Barat. Pekerjaan dengan upah sekitar Rp 1 juta itu hanya dilakoninya sebentar. Keinginan memperoleh gaji yang lebih tinggi membuatnya meninggalkan pekerjaan itu dan merantau ke Ibu Kota.
Bagi Irwan, bekerja di Pangandaran terasa berat karena jenis pekerjaan yang tersedia di antaranya nelayan dan kuli pemikul kayu. Sementara bekerja di Jakarta tak seberat itu. Selain itu, upah dan tempat tinggal yang disediakan tempatnya bekerja di rumah makan sudah cukup untuk meringankan beban. Setiap bulan, jejaka yang dulu bercita-cita jadi PNS itu bisa menyisihkan Rp 500.000-Rp 700.000 untuk orangtua.
Di tempat lain di depan jajaran kantin Terminal Kalideres, Ratna Dewi (31) tengah menunggu angkutan kota. Perempuan asal Pandeglang, Banten, ini bersama kedua anaknya nekat merantau ke Jakarta setelah suaminya meninggal enam bulan lalu.
”Di kampung sudah tidak ada yang menafkahi, pekerjaan pun sulit karena tempat tinggal saya lokasinya di pedalaman. Kalau tidak ke Jakarta, nasib saya dan anak-anak tidak keruan karena hanya mengandalkan jualan kelapa saja,” ucap perempuan lulusan sekolah dasar itu.
Dengan modal jujur, Ratna yakin dapat bertahan hidup di Jakarta. Ia pun telah menjual berbagai barang berharganya, seperti emas, untuk biaya hidup di Jakarta sebelum mendapat pekerjaan. Dua hari sebelum berangkat ke Jakarta, teman sekampungnya sempat menawarkan pekerjaan sebagai buruh cuci. Namun, ia masih mempertimbangkan pekerjaan tersebut.
Baca juga : Kota Besar Masih Jadi Daya Tarik bagi Pendatang
Keputusan merantau ke Jakarta turut ditempuh Yani Aprilia (22), yang baru saja lulus dan wisuda empat bulan lalu di salah satu politeknik di Kebumen, Jawa Tengah. Hingga kini, dia belum mendapatkan pekerjaan meskipun sudah melamar di banyak perusahaan.
Sebagai anak kedua dari empat bersaudara, Yani ikut bertanggung jawab membantu meringankan perekonomian keluarga karena ayahnya sudah meninggal dan kakaknya sudah menikah. Sementara ibunya seorang ibu rumah tangga dan kedua adiknya masih SMP dan SMA sehingga masih butuh biaya.
”Saya ikut kakak dulu saja jaga toko sementara sambil lamar pekerjaan. Kalau diam saja di kampung tidak akan membantu apa-apa. Biar lebih produktif, siapa tahu ada tawaran kerja lain nantinya,” ujar Yani yang berbekal ijazah D-3 akuntansi saat ditemui di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta memprediksi jumlah pendatang baru yang masuk ke Ibu Kota seusai Lebaran 2023 mencapai 37.000 orang. Prediksi ini merujuk data jumlah kedatangan warga baru pada Lebaran 2022 yang mencapai 30.661 orang.
Imbauan
Pengkaji budaya populer dari Pascasarjana Universitas Pasundan, Idi Subandy Ibrahim, mengungkapkan, momen Lebaran menjadi kesempatan untuk melakukan urbanisasi. Selain itu juga menjadi ajang rutin membawa keluarga dari desa ke kota untuk mengubah nasib keluarga.
”Ketika seseorang berhasil membawa keluarganya ke dalam kehidupan yang lebih baik, Ibu Kota seakan memiliki sihir. Televisi dan media sosial turut menampilkan kemajuan Ibu Kota dan menyihir orang tentang harapan masyarakat daerah,” ujarnya.
Idi mengatakan, media memberikan pengaruh, harapan, dan memikat masyarakat desa untuk menemukan kebahagiaan di Ibu Kota. Oleh karena itu, dibutuhkan kampanye perihal kerasnya kehidupan di kota. ”Hanya orang berpendidikan dan punya keahlian yang kemungkinan bisa tinggal di kota. Kalau tidak, akan menumpuk di slum area (permukiman kumuh),” ucapnya.
Urbanisasi, kata Idi, juga dapat meningkatkan frustrasi karena kehidupan kota tidak sesuai dengan harapan sebab masyarakat kota cenderung individualis, impersonal, egois. Masyarakat desa tidak selalu siap dengan hal itu.
Idi menilai. pemerintah tidak cukup hanya memberi imbauan untuk tidak membawa keluarga yang tak memiliki keterampilan. Pemerintah perlu mengidentifikasi kelompok masyarakat yang masuk ke kota. Selain itu, mengidentifikasi secara komprehensif daerah penyuplai urbanisasi karena tidak semua orang melakukan urbanisasi dengan alasan yang sama.
Pemerintah mempunyai alat dan perangkat yang cukup untuk melakukan itu. Identifikasi tidak bisa dilakukan parsial karena akan terus berulang. ”Ketika kaum urban sampai di kota, peraturan melapor di tingkat RT dan RW hanya basa-basi saja karena tidak bisa dilarang dan tidak berefek. Beban kehidupan dan sosial baru dirasakan Jakarta ketika ingin menatanya. Seharusnya sudah dari puluhan tahun lalu bisa diantisipasi,” kata Idi.
Mitigasi
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira berpendapat, urbanisasi pasca-Lebaran terjadi karena ada ”kue ekonomi” yang ditawarkan di kota besar. Sementara di perdesaan, masyarakat masih bergantung pada sektor pertanian dan perkebunan yang semakin lama kurang diminati calon pekerja usia muda.
Selama pekerjaan di kota tersedia, urbanisasi tidak menjadi persoalan. Namun, pengangguran di perkotaan juga cukup tinggi. Ini akan menambah anggaran perlindungan sosial di kota besar serta menambah angka kriminalitas dan kemiskinan.
Untuk memitigasi urbanisasi yang semakin meningkat, pembangunan di desa harus lebih masif dengan memunculkan ekonomi baru. Potensi wisata di desa, seperti sektor perhotelan dan jasa penunjang pariwisata, perlu dibangun. ”Pemerintah daerah seharusnya memfasilitasi dan membawa investasi yang lebih besar lagi karena pertumbuhan ekonomi di perdesaan harus lebih tinggi dan berkelanjutan dibandingkan di kota-kota besar,” ujar Bhima.
Baca juga : Jakarta Perketat Syarat Pendatang Baru Tinggal di Ibu Kota
Menurut dia, perlu ada pelatihan kerja untuk mendorong rasio wirausaha. Saat ini rasio wirausaha masih sangat kecil, sekitar 4 persen dari total penduduk Indonesia. Upaya meningkatkan rasio kewirausahaan di desa harus didukung dengan berbagai program pendampingan dan pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Nantinya, akan banyak warga masyarakat yang membuka usaha di perdesaan tanpa harus menggantungkan mata pencarian di kota besar.
Saat ini, kata Bhima, program pelatihan sudah terlalu banyak sehingga memunculkan replikasi. Kaitan antarprogram di daerah pun belum optimal. Selain itu, ada juga program dari tanggung jawab sosial perusahaan BUMN. ”Harusnya ada integrasi, pelatihan, permodalan sampai menghasilkan produk dan diserap oleh pemerintah daerah,” ucapnya.
Ia menambahkan, perlu ada edukasi dari tokoh masyarakat di desa bahwa tinggal di kota tidak seindah yang dibayangkan karena tingkat stres, polusi udara, dan biaya hidup tinggi meskipun bisa mendapatkan gaji lebih besar.
”Harga hunian tidak terjangkau, kaum urban kerja di Jakarta rumahnya di pinggiran Jakarta. Tidak seindah itu bekerja di kota-kota besar, ada banyak risikonya. Belum tentu hasil yang didapatkan setara dengan potensi yang bisa berkembang di desa,” tutur Bhima.